Membaca tak lepas dari sebuah buku. Aktifitas yang bagi sebagian orang ‘membosankan’ ini kian hari kian terkikis saja. Orang-orang lebih stylis menenteng iPhone 5 dengan jeroan iOS 6-nya. Apalagi ‘wabah’ facebookholik yang membuat orang-orang lama-lama menlis status mellow plus alay. Perpustakaan kini mulai sepi dan kehilangan ruhnya. Melihat anomali magnetic ini, perpustakaan sidogiri hadir.
Laporan: Isomuddin Rusydi
Mulanya Perpustakaan Sidogiri terletak di jantung komlpeks pesantren sidogiri. Saat ini, Perpustakaan Sidogiri pindah lokasi di Selatan Sungai. Gedung lantai dua dengan dominasi warna putih itu tampak ramai setiap pagi, siang, sore, maupun malam. Atmosfer keilmuan begitu kental di dalamnya.
Awalnya di tahun 1973 M Perpustakaan Sidogiri hanya sebuah ruang sederhana dengan satu rak koleksi. Itupun yang membaca hanya oleh guru dan beberapa santri saja. Baru setelah al-maghfurlah KH. Cholil Nawawie mewakafkan kitab-kitabnya Perpustakaan Sidogiri mengalami transformsi.
Tahap demi tahap perkembangan perpustakan semakin meningkat. Manfaatnya juga mulai dirasakan bagi perkembangan santri hingga pada tahun 1425-1426 H Perpustakaan Sidogiri dijadikan program prioritas pesantren.
Seiring berjalannya waktu kini perpustakaan hadir dengan ribuan koleksi baik kitab maupun buku. Bahkan pengembangan perpustakaan berbasis digital terus ditingkatkan. Halaqah, seminar, serta pealtihan-pealatihan terus digalakkan oleh pengurus. Peningkatan SDM terus dimaksimalkan. Hingga akhirnya jadilah perpustakaan sidogiri seperti sekarang yang hadir ditengah-tengah kita.
Kita bisa melihat geliat keilmuan di gedung megah itu sejak pagi hingga larut malam. Beberapa santri hilir mudik dengan membawa kitab. Juga sekelompok santri terlihat mengadakan halaqah kecil-kecilan diruang-ruang. Musyawarah dan diskusi hingga program-program stingkat kuliyah Syariah rutin diadakan di Perpustakaan ini.
Pengembangan jurnalistik juga diperhatikan oleh Perpustakaan yang oleh KH. Hasyim Muzadi diklaim sebagai Perpustakan dengan koleksi kitab terlengkap se-Asia Tenggara. Terbukti dengan hadirnya Mading Maktabati dan Matabaca juga jurnal Maktabatuna dengan segmentasi beragam ikut meramaikan geliat kebangkitan pers di Pondok Pesantren Sidogiri.
Secara primordial, Perpustakaan Sidogiri tidak hannya memenuhi suplemen otak saja. Lebih dari itu part of soul secara tak langsung juga menjadi perhatian. Lambat laun kacamata berfikir santri akan pentingnya sebuah pengetahuan bagi hati semakin jelas titik juntungnya. Kesadaran akan Iqra’-Nya menjadi semacam hembusan angina Firdaus ke titik paling dasar di bawah kesadaran manusia. Melihat geliat keilmuan santri semakin ‘memanas’, Perpustakaan menjadi program prioritas keempat Perpustakaan Sidogiri dengan budget anggaran hingga puluhan juta rupiah.[]
Terus semangat mengembangkan perpustakaannya