Sudah maklum, kalau lidah itu tidak bertulang. Pemiliknya bisa saja dengan mudah menggunakan semau hatinya tanpa ada kesulitan sedikitpun. Bahkan, pada saat tertentu lidah itu bisa menjadi lebih tajam daripada pedang yang selalu diasah setiap hari. Dengan lidah kita bisa menyampaikan maksud hati dengan mudah dan dengan lidah pula kita gampang terjebak pada perbuatan yang diharamkan, seperti ghibah atau menggunjing.
Imam Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmid-Dîn menjelaskan panjang lebar masalah ghibah. Menurutnya ghibah atau menggunjing adalah membicarakan seseorang yang tidak ada tentang hal yang tidak disukainya seandainya ia mendengar. Rasulullah menjelaskan yang dimaksud dengan ghibah dalam sebuah Hadisnya, “
Tahukah kalian, apa ghibah itu?“ Mereka menjawab, “Allah dan Rasulnya yang lebih mengetahui.” Nabi Bersabda, “Kamu menyebut saudaramu dengan hal yang tidak disukainya.” Ditanyakan, “Bagaimana jika apa yang aku katakan itu ada pada diri saudara itu?” Nabi menjawab, “Jika apa yang kamu katakan itu ada pada dirinya maka sungguh kamu telah menggunjing, dan jika tidak ada pada dirinya maka sungguh kamu telah menyebutkan hal yang dusta tentang dirinya.” (HR. Muslim).
Di dalam al-Qur’an Allah mengumpamakan orang yang menggunjig sebagai orang yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati atau dengan kata lain memakan bangkai saudaranya. “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (al-Hujurât [49]: 12 ).
Imam al-Qurthubi dalam al-Jâmi’ li Ahâkâmil–
Qur’ân menyebutkan bahwa Allah mengumpamakan ghibah dengan memakan mayat sebab mayat tidak mengetahui tubuhnya dimakan, seperti halnya orang yang digunjing tidak mengetahui gunjingan tentang dirinya. Ibn Abbas t mengatakan, “Allah membuat perumpamaan ini untuk ghibah, sebab memakan tubuh mayat hukumnya haram dan menjijikkan. Begitu pula ghibah, hukumnya haram dan menjijikkan bagi manusia.”
Menggunjing termasuk pekerjaan yang sangat dilarang dalam Islam kecuali ada penyebab yang memperbolehkannya. Ghibah bisa terjadi karena didorong beberapa faktor, seperti berkumpul dengan orang-orang yang suka menggunjing, iri dengki, sombong, mengejek dan kurangnya ilmu agama pada dirinya.
Menurut Imam Ghazali, tindakan yang harus diambil untuk mencegah lisan dari ghibah adalah dengan selalu mengingat azab yang akan ditimpakan oleh Allah pada pelakunya dan dengan mengingat aib yang ada pada diri kita sendiri kemudian berusaha untuk memperbaikinya. Apabila kita tidak senang ketika kejelekan kita dibicarakan begitu pula dengan orang lain.
Menggunjing yang Diperbolehkan
Imam Ghazali menyebutkan bahwa menggunjing diperbolehkan hanya dalam enam masalah.
Pertama, mengadukan kezaliman. Seseorang yang dizalimi boleh mengadu kepada penguasa atau hakim untuk memperoleh keadilan dari pihak yang menzaliminya. Nabi bersabda dalam sebuah Hadis yang muttafaq alaih dari Abu Hurairah, “Sungguh orang yang benar berhak mengadukan tuntutannya.”
Kedua, meminta pertolongan untuk mencegah kemungkaran dan mengarahkan orang yang bermaksiat pada kebenaran. Ia boleh berkata, “Fulan telah bertindak begini, maka cegahlah!” Namun apabila tujuannya bukan demikian, maka hukum pengaduannya haram.
Ketiga, memohon fatwa. Seperti berkata pada hakim, “F
ulan telah menzalimiku. Apakah hal itu boleh dilakukannya?” Demikian diperbolehkan seperti yang telah dilakukan oleh Hindun binti Utbah ketika mengadukan perlakuan suaminya yang pelit kepada Nabi dan Nabi tidak menegurnya.
Keempat, mengingatkan orang Islam dari bahaya. Hal ini bisa terjadi dalam beberapa kasus. Seperti mengkritik perawi Hadis, saksi, atau penulis. Ini diperbolehkan bahkan hukumnya wajib karena dalam rangka menjaga syariat.
Kelima, ketika ada orang yang memamerkan kemaksiatannya tanpa ada rasa malu dan biasa saja dicela, maka boleh menyebutkan tindakannya itu.
Keenam, menyebut identitas. Ketika seorang terkenal dengan julukan jelek dari aibnya, maka boleh menyebutkan identitas dengan julukan tersebut. Namun hukumnya haram apabila m
enyebutkan julukannya dengan bertujuan meremehkan. Bila mungkin, menyebutkan identitas selain julukannya.
Tanpa ada keenam penyebab-penyebab ini, maka ghibah hukumnya haram. Dan pelakunya wajib secepatnya menyesali dan bertaubat atas ghibah yang dilakukan agar ia terbebas dari ancaman Allah. Kemudian meminta pembebasan (istihlal) dari orang yang digunjing untuk memaafkannya.
Referensi: Ihyâ’ Ulûmid–Dîn.