“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. al-Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.”
(QS. Yâsîn[36]:69).
“Dan al-Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”
(QS. Al-Hâqâh[69]:41).
Al-Quran bukan kitab sastra—dan kita wajib meyakini itu—melainkan al-Quran adalah kitab petunjuk yang sarat akan sastra. Sastra yang sangat indah bagi yang memiliki bashîrah.
Terbukti, banyak penyair kaget saat mendengarkan bahasa al-Quran. Lantaran di dalamnya terkandung banyak seni sastra yang tak pernah ketinggalan zaman, bahkan zamanlah yang tertinggal jauh pada al-Quran.
Jika kekuatan metafora dalam puisi menjadi barometer keindahan, al-Quran pun tidak melupakannya. Surah At-Takwîr ayat 18 berbunyi, “Demi subuh bila bernafas.” (QS At-Takwîr[81]:18) Imam Suyuthi mengapresiasi (baca: mengartikan) ayat tersebut seraya mengatakan, “Bernafas itu hembusan sedikit demi sedikit, begitupula dengan keluarnya cahaya dari ufuk timur pada waktu fajar menyingsing perlahan.”
Selain metafora, al-Quran sering menerapkan metode figuratif (atau yang lebih dikenal dengan istilah majaz). Di antaranya dalam surah Al-Qâri’ah ayat 9, “Maka ibunya adalah hâwiyah.” (QS Al-Qâri’ah[101]:9). Al-Quran melambangkan asuhan dengan seorang ibu. Dengan kata lain, pengasuh bagi orang buruk adalah neraka Hawiyah.
Kiasan pun sesekali kita jumpai. “Istrimu-istrimu adalah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah temmpat bercocok tanammu itu bagai mana saja kamu kehendaki” (QS Al-Baqarah[2]:223). Ayat itulah di antaranya. Kata “bersanggama” oleh al-Quran dikiaskan dengan “cocok tanam”, agar lebih aman didengar.
Sajatinya, tulisan ini hanya sebutir embun dari luasnya samudera al-Quran. Karena sudah jelas, dari zaman “Alif”, al-Quran tak pernah—dan mustahil—tertandingi.
Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net