Oleh : Muizzullah*
NU adalah rumah besar kita, rumah besar Ahlusunah wal-Jamaah. Kita harus menjaga keutuhan dan kesatuanya dengan tetap bersatu dan tidak bercerai-berai. Bukan hanya lini orang awam saja, tapi lini para ulama-umara yang memegang estafet kepemimpinan dalam tubuh NU juga harus menjaga persatuan. Di antaranya dengan menjaga lisan agar tidak mengeluarkan ucapan yang senonoh, kontroversial, atau bahkan yang fatal alias salah total. Yang terakhir ini (ucapan fatal alias salah total) sungguh miris dan aneh jika dilakukan tokoh-tokohNU, apalagi jika menjadi pengurus tertinggi.
Yang di atas adalah antisipasi adanya perpecahan. Namun, sekarang, apabila ucapan atau pekerjaan yang masih kontroversial ini terjadi, maka sikap seperti apa agar tidak tumbuh percikan perpecahan? Ya, di antara caranya harus menjaga hati. Dengan selalu husnuzhan (prasangka baik), tidak mengedepankan su’uzhan (prasangka buruk). Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali berkomentar, “Husnuzhan yan salah lebih baik dari pada su’uzhan yang benar”. Hal ini jika masih imma wa imma, imma salah wa imma benar. Setelah tips husnuzhan ini dikerjakan, maka langsung klarifikasi adalah prioritas utama.
Selain itu, Ust. Achyat Ahmad, direktur Annajah Center Sidogiri (ACS) dan guru senior Pondok Pesantren Sidogiri pernah menulis di majalah SidogiriMedia edisi ke 136, dalam rubrik Editorial, bahwa modal utama bagi setiap individu untuk menjaga persatuan atas nama umat Islam dan menghindari perpecahan, adalah membekali diri dengan ilmu dan keinsyafan. Ilmu dibutuhkan agar kita mengetahui mana hakikat kebenaran da kebatilan, serta bisa memilah dan memilih jalan terbaik di antara rumitnya silang pendapat dalam perbedaan. Sedang keinsyafan dibutuhkan agar kita bisa bijak menyikap keadaan, tidak fanatik buta, bisa memahami pendapat saudara sesama Muslim, dan tetap mengedepankan kepentingan agama dibanding ego pribadi dan golongan.
Namun, apabila yang dilakukan itu ternyata salah maka kita harus mengingatkannya dengan cara yang professional, tidak berlebihan, santun, juga penuh tatakrama. Dalam buku “Sidogiri Menolak Pemikiran KH, Said Aqil Siroj”, KH, Ahmad Nawawi bin Abdul Djalil menyampaikan dalam sambutannya, “Memang sudah selayaknya buku, dibantah dengan buku”. Menurut perspektif penulis, ini menunjukkan bahwa dalam meluruskan kesalahan memang harus tidak berlebihan.
Semua penjelasan di atas tentu baik sekali apabila diaplikasikan oleh ulama-umara NU, yang belakangan ini sering berpendapat kontroversial atau bahkan salah. Sebab, mereka adalah milik kita, kita harus menjaganya bersama. Kalau salah, ya, harus diingatkan. Bukan malah dibiarkan.
Akhiran, seperti kata pepatah, اَلْإِتِّحَادُ قَوِيُّ” ”, bersatu itu kuat. Maka bersatulah, jangan cerai-berai. Hadapi masalah dengan bijak dan penuh perasaan. Ingatlah, bahwa setiap menuju sesuatu terutama kesuksesan, pasti ada tantangannya. Laksana jalan, tidak selamanya lurus.
*Redaksi Mading Madinah