Ketika aku kecil dan menjadi muridnya/ Dialah di mataku orang terbesar dan terpintar/ Ketika aku besar dan menjadi pintar/ Kulihat dia begitu kecil dan lugu/ Aku menghargainya dulu/ Karena tak tahu harga guru/ Ataukah kini aku tak tahu/ Menghargai guru?
Itulah teks dari puisinya Gus Mus, seorang penyair pesantren, yang berjudul Guruku. Saya sangat kagum saat membaca puisi itu, seakan beliau mengupas problematika yang sering terjadi pada abad XX ini.
Puisi itu menceritakan siswa yang tak menghargai gurunya di kala ia sukses. Seakan ia sudah lebih pintar dan alim dari pada gurunya. Ia telah lupa dengan peran gurunya. Ia tidak menyadari bahwa yang menaruh pondasi ilmu adalah gurunya. Apalagi guru langgarnya (Ghuruh Tholang—Madura).
Guru langgaran sering ditelantarkan oleh para alumninya. Padahal tidak semua guru bisa mengajar seseorang yang masih nol, sebagai mana guru langgaran. Ia menyangka mengajar Alif, Ba’, Ta’ lebih mudah dari pada mengajar baca kitab ‘gundul’. Ia menyangka bahwa mengajar 1+1=2 lebih mudah dari mengajar Aljabar. Tapi faktanya tidak seperti itu, bahkan sebaliknya.
Bila suatu saat—di hati kita—terjadi perang antar peran guru langgar VS peran dosen, maka hati-hatilah dalam memilih. Kita tidak boleh memilah dan memilih peran dari berbagai peran guru. Kita harus ingat semua peran tersebut, jangan sampai terlupakan satupun darinya.
Saya jadi teringat suatu tragedi yang pernah diderita Indonesia. Konon, KH Abdurrahman Wahid ad-Dakhil (yang masyhur dengan julukan Gus Dur) pernah dihujat dan dicaci-maki oleh berbagai pihak, bahkan oleh para kiai. Tapi KH Nawawie bin Abd. Jalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, malah membagikan surat edaran yang berisikan intruksi kepada semua santri, alumni dan simpatisan Sidogiri agar tidak ikut-ikutan mencaci-maki. Alasannya sangat senderhana. Yakni, peran kakeknya Gus Dur, Syaikh Hasyim ‘Asy’ari dalam mendidik KH Cholil Nawawie, salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
Sebegitu besarnya masyayikh Sidogiri dalam mengingat peran. Karena dengan mengabadikan peran seorang guru, maka perpecahan pun tidak akan terjadi. Ingat, ending dari perpecahan hanyalah kehancuran. Coba kita buka kembali lembaran sejarah, penyebab hancurnya dinasti Abbasyiah—suatu dinasti umat Islam terbesar pada masa itu—tidak disebabkan dinasti kafir, bahkan disebabkan dinasti-dinasti Islam yang terpecah dari dinasti Abbasyiah. Sejarah itu tidak jauh berbeda dengan kehancuran Andalusia, kehancuran dinasti Utsmaniyyah—satu-satunya dinasti yang pernah menguasai tiga benua—dan banyak lagi kisah yang tidak jauh berbeda dengan sejarah dinasti Abbasyiah.
Terakhir dari saya, hargai peran seseorang jangan sampai perangi peran seseorang. Wassalam!
Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net