Memang, pesantren telah mengambil bagian yang teramat besar dalam membangun negeri ini. Tentu, bisa dikatakan, negeri ini tak akan menjadi seperti ini jika tanpa kehadiran pesantren. Boleh jadi Indonesia akan maju tanpa pesantren, tapi kemajuan yang dicapai mungkin kemajuan ala Amerika hari ini, atau barangkali tidak jauh-jauh: kemajuan ala Singapura hari ini.
Tentu, siapa yang tak tahu kalau Amerika atau Singapura adalah negara maju? Semua orang tahu itu. Tapi adakah kemajuan seperti itu yang dikehendaki? Tentu tidak juga. Kemajuan yang dicapai hanya kemajuan semu. Hanya pada bidang teknologi dan informasi. Selebihnya, budaya, agama, etika, sama sekali tak ada kemajuan. Kehidupan masyarakat yang serba free sama sekali bukan kemajuan yang dikehendaki di Indonesia.
Namun, dengan pergeseran nilai-nilai yang terjadi sedemikian cepatnya, tentu pesantren juga tak boleh duduk santai. Sebab jika demikian, pesantren dan kaum santri akan tertinggal, mau atau tidak. Cepatnya arus teknologi dan informasi telah mengubah apapun dalam waktu singkat, menjadi lebih Barat. Bahkan nilai-nilai Islami yang pada masa lalu – hingga masa kini – ditanamkan pesantren telah mulai luntur, dan kita kini malah keteteran untuk melakukan tambal sulam, bendung sana bendung sini, yang dalam sekejap bendungan yang kita buat kembali runtuh.
Alhasil, di sini pesantren dituntut untuk lebih jreng lagi, dalam menangkap makna keadaan sekaligus bagaimana caranya mengatasi keadaan itu. Maka, langkah pesantren untuk ikut ambil bagian di tengah-tengah arus teknologi informasi adalah niscaya, kendati kita tahu bahwa untuk sementara langkah ini tidak ngefek jika harus melawan arus utama. Tapi setidaknya, dengan demikian pesantren telah melakukan sesuatu, bisa mewarnai, serta telah menyguhkan menu berbeda untuk orang-orang yang sedang dahaga. Karena bagaimanapun juga, teknologi dan informasi yang unlimited seperti sekarang ini, adalah laksana pedang bermata dua bagi pesantren. Maju kena mundur kena. Jika tak mau ambil bagian di bidang ini, maka pesantren hanya akan menjadi objek dan target, tanpa bisa melakukan apa-apa.
Begitu pula halnya di bidang keilmuan. Tentu, alasan utama pesantren itu ada adalah untuk membangun keagamaan dan keilmuan yang kokoh. Namun, melihat akrobat ilmiah kelompok-kelompok di luar pesantren yang demikian hebat, maka pesantren dituntut untuk tidak sekadar mengambil bagian di bidang ini secara statis. Lebih dari itu, kita mesti tampil meramaikan pasar ilmu pengetahuan yang sedang dibanjiri barang-barang impor, baik dari industri liberalisme, Syiah, Hizbut-Tahrir, Wahhabi, dan sempalan-sempalan semacamnya. Jadi, pesantren harus memperkuat lini intelektual mereka agar bisa bersaing di ranah ini.
Pada sektor sosial-kemasyarakatan dan ekonomi pun juga demikian. Dari maraknya upaya rekrutmen yang dilakukan kelompok Syiah akhir-akhir ini, hingga cerita klise bagaimana orang-orang Kristen melancarkan kristenisasi, setidaknya terjadi karena memang ada celah di situ: lemahnya ikatan sosial-kemasyarakatan ditambah dengan lemahnya ekonomi masyarakat itu sendiri. Nah, karena masyarakat akar rumput yang semula menjadi basis pesantren seakan tak terurus, maka orang-orang Syiah mengambil bagian di sana. Mereka mengayomi masyarakat dengan amat santun sekaligus membangun pusat-pusat bantuan sosial, sehingga dengan langkah yang seperti itu, umat Muslim awam akan dengan senang hati masuk ke dalam kelompok itu bahkan tanpa diminta sekalipun.
Itulah sebabnya mengapa pesantren-pesantren kini mestinya harus lebih ngejreng!