Apakah politik itu jelek? Tentu saja tidak! Lantaran politik adalah siasat bernegara, untuk memegang “pucuk” wewenang. Sedangkan wewenang sendiri, adalah seseuatu yang pokok untuk mengendalikan masyarakat. Mulai dari mengajak kebaikan, hingga menumpas keburukan. Lebih tepatnya istilah amar makruf nahi mungkar. Lalu, siapakah yang berani mengatakan bahwa amar maknuf nahi mungkar tidak wajib?
Amar makruf nahi mungkar tanpa wewenang, bagaikan tempe tanpa kedelai. Sebab, wewenang adalah kekuasaan untuk merubah. Sedangkan amar makruf nahi mungkar adalah upaya perubahan.
Jika santri dihalangi untuk berpolitik, kemudian yang memegang kendali sepenuhnya adalah orang bejat, mana mungkin “calon ulama” itu bisa menuangkan pemikirannya? Sebab, mereka sudah kehilangan wewenang, sedangkan yang menguasainya adalah orang yang minim akan ilmu agama. Maka jangan salahkan jika hal-hal kotor kian menodai negara; harapan untuk meraih baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr kian pupus.
Itulah mengapa saya membuat judul, Santri Wajib Berpolitik. Lâ yamîlu yumnatan walâ yusratan cukup sebagai dalil santri mengenai politik. Tidak terlalu anti, tidak juga gila politik. Sebelumnya tertera kalimat—atau dalam bahasa arab, kalam—wa yattabi’ sunnatar-Rasûl al-Amîn, menapak tilasi jalan Nabi SAW, adalah langkah santri hakiki. Jika satu saja buku biografi Nabi Muhammad SAW—atau kalau malas membaca buku sejarah, novelnya saja—hatam, niscaya kita tahu bahwa beliau berpolitik. Baik dalam peperangan, kenegaraan, pendidikan, hingga perekonomian.
Jika sudah tahu, lantas ngapain tidak mau. Bukankah dalam sabda beliau tertera, “Fa man raghiba ‘an sunnatî, falaysa minnî”, siapa orang membenci sunnahku, maka dia bukan golonganku. Na’ûdzu bil-Lâh!
Memang mayoritas politikus bersifat “tikus”. Tapi itu tidak semua. Pedoman santri tidak condong kanan-kiri fî kulli hâl (termasuk saat menggeluti politik) harus dijaga.
Terlintas dibenak saya, yang sedang berdiri di negeri yang salbut, “Andai tidak ada santri yang berpolitik, mungkin saja terjadi sepuluh kalilipatnya kehancuran ini!” Sebab, sebagai mana yang sudah maklum, “Jika sesuatu diurusi selain ahlinya, fantadzir as-sâ’ah, tinggal tunggu hancurnya.”
Untuk itu, kepada yang “agak sufi”, tak apalah tidak menggeluti politik. Tapi—minimal—tidak mengganggu—apalagi sampai menjatuhkan—santri yang berjihad dengan cara memasuki politik.
Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net