BeritaUnggulan

Jelaskan Toleransi Ala Rasulullah, Syekh Mukhtar Juga Ijazahkan Hadis Musalsal bil-Awwaliyah

Bertempat di masjid Jamik Sidogiri, Pondok Pesantren Sidogiri menerima kunjungan Syekh Mukhtar bin Hasyim bin Ghalib bin Jamil yang ditemani oleh Habib Ridho BSA, Pasuruan, dan Lora Ismael Amin Kholily, Bangkalan, beserta rombongan, Sabtu (23/12).

Hadir menyambut kedatangan ulama Yaman ini, Mas. H. Ahmad Sa’dulloh bin Abdul Alim, Bendahara Umum PPS, Ust. Saifullah Muhyiddin, Ketua II PPS, dan segenap keluarga Pondok Pesantren Sidogiri. Kunjungan ini dikemas dalam bingkai daurah ilmiah dengan mengusung tema, “Reaktualisasi Toleransi Rasulullah”.

Dalam pembukaannya ulama kelahiran Ta’nis, Yaman Utara ini menyampaikan hadis Musalsal bil-Awwaliyah yang riwayatnya dinilai oleh ulama bersambung ke Imam Sufyan bin Uyainah, dan kemudian beliau mengijazahkannya kepada semua santri yang hadir. “Hadis ini mempunyai banyak faidah. Hadis ini merupakan hadis pertama kali yang dibacakan seorang syekh kepada muridnya, padahal hadis yang musalsal itu jumlahnya ada empat ratus, tetapi hadis ini yang dipilih. Alasan yang lebih istimewa adalah agar hal yang pertama kali didengar oleh murid adalah rahmat, kasih sayang kepada sesama makhluk,” jelas ulama kelahiran 1987 M ini.

Setelah menampilkan hadis-hadis dan kisah-kisah ulama yang menjelaskan toleransi, beliau menjelaskan bahwa Ahlusunah Waljamaah sepakat bahwa nur Muhammad adalah rahmat, “Penyebutan Nabi Muhammad Saw dengan kalimat ‘Rahmat’ dalam al-Quran bukan dengan sighat isim fail memiliki makna mubalaghah. Oleh karena itu, sifat yang sangat menonjol dari beliau adalah sifat rahmah, yang lebih menarik lagi adalah penggunaan i’rob rafa’ dalam lafaz ‘Yarhamukum‘, ini menunjukkan bahwa Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada penduduk bumi secara mutlak tanpa syarat, meskipun orang jahat. Beda halnya ketika nanti dibaca jazm,” jelasnya.

Pada akhir daurah, beliau memberikan kesimpulan bahwa toleransi bukan berarti kita tidak perlu membela kebenaran. “Toleransi bukan berarti kita tidak mau menegakkan kebenaran dan bukan berarti kita harus mengikuti pendapat orang yang menyalahi kebenaran, tetapi toleransi adalah kita tetap melaksanakan menegakkan kebenaran, tetapi dengan aturan dan adab-adab yang berlaku. Jadikanlah Imam Taqiyuddin as-Subki yang saya ceritakan tadi sebagai teladan dalam tema yang sedang kita bicarakan,” pungkasnya.

Penulis: Muhammad Faqih
Editor: Muhammad Ilyas

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *