Media sosial tidak hanya memudahkan kita untuk menyebar kebaikan yang menginspirasi, tapi juga memudahkan kita untuk menyebar hal buruk, bagi diri sendiri atau orang lain. Kita temukan ragam kalam hikmah, tapi juga macam-macam maksiat diumbar di beranda medsos, seperti kencan sambil pegangan, joget ria mengumbar aurat, serta menayangkan pengakuan dosa yang telah dilakukan, tanpa merasa bersalah, bahkan cenderung bangga.
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, menegaskan bahwa mengumbar maksiat termasuk dosa yang tidak pernah diampuni oleh Allah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قال : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ. (رواه البخاري و مسلم)
Rasulullah bersabda, “Semua umatku diampuni kecuali para mujahir. Sesungguhnya termasuk ketidakpedulian ialah melakukan (amal buruk) di malam hari lalu di pagi hari, menceritakan perbuatan buruk tersebut, padahal Allah sudah menutupi aibnya dan dia sendiri menyingkapnya” (HR. Al-Bukhari & Muslim).
Syekh Mulla Ali al-Qari dalam kitab Mirqatul-Mafatih-nya, mendefinisikan Al-Mujahir sebagai orang yang menampilkan kemaksiatan di khalayak setelah aib itu ditutupi oleh Allah.
Tambahan alasan dikemukakan oleh Syekh Abdurrauf al-Munawi, karena Allah telah memberi nikmat pada hamba-Nya, salah satunya menutupi aib keburukan yang dilakukan. Jika kemudian aib itu diumbar ke mana-mana, berarti telah mengufuri nikmat yg diberikan Allah.
Bahkan, dalam kitab Bariqah Mahmudiyah (3/137) disebutkan bahwa dosa kecil bisa berubah menjadi dosa besar dengan beberapa sebab. Di antaranya, menceritakan kepada orang lain dan berpotensi mendorong orang lain melakukan dosa.
Imam Ghazali menyatakan, mengumbar aib kepada orang lain dengan tujuan pelecehan, penghinaan, dan kesombongan sebagai tindakan tercela. Pernyataan tercela dimaksud oleh Imam an-Nawawi diarahkan pada hukum makruh karena tidak ada unsur maslahat sama sekali.
Kendati demikian, an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar-nya menyebut, apabila tujuannya bertanya, minta fatwa hukum, minta solusi dan arahan agar tidak mengulangi lagi, atau konsultasi terkait sebab muasal di balik maksiat yang dilakukan, maka hal itu diperbolehkan.
Selanjutnya, jika pelaku maksiat sudah terlanjur mengumbar ke publik, sikap kita tidak baik menutup-nutupinya lagi. Justru dianjurkan untuk semakin ditampilkan atau dilaporkan ke pihak yang berwenang, sepanjang tidak menimbulkan mudharat lain. Hanya menyebutkan aib yang diumbar, tanpa menyinggung pelaku dan aib yang lain, sebagaimana dikutip dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
وَأَمَّا الْمُجَاهِرُ وَالْمُتَهَتِّكُ فَيُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يُسْتَرَ عَلَيْهِ، بَل يُظْهَرُ حَالُهُ لِلنَّاسِ حَتَّى يَتَوَقَّوْهُ، أَوْ يَرْفَعُهُ لِوَلِيِّ الأَْمْرِ حَتَّى يُقِيمَ عَلَيْهِ وَاجِبَهُ مِنْ حَدٍّ أَوْ تَعْزِيرٍ، مَا لَمْ يَخْشَ مَفْسَدَةً، لأَِنَّ السَّتْرَ عَلَيْهِ يُطْمِعُهُ فِي مَزِيدٍ مِنَ الأَْذَى وَالْفَسَادِ قَال النَّوَوِيُّ: مَنْ جَاهَرَ بِفِسْقِهِ أَوْ بِدْعَتِهِ جَازَ ذِكْرُهُ بِمَا جَاهَرَ بِهِ دُونَ مَنْ لَمْ يُجَاهِرْ بِهِ
“Adapun pengumbar maksiat, dianjurkan untuk tidak ditutup-tutupi lagi. Justru ditampilkan keadaannya tersebut hingga masyarakat berhati-hati, atau dilaporkan ke pemerintah hingga bisa ditindaklanjuti dengan hukuman had atau takzir, selagi tidak dikhawatirkan timbul mafsadah, karena jika ditutupi maka berpotensi semakin liar. Imam an-Nawawi mengatakan bahwa penyebar kefasikan atau bidah, boleh disinggung maksiat yang disebarkan bukan pelakunya.”
Imam Ibnu Hajar al-Haitami juga menyinggung masalah ini dalam kitab az-Zawajir Aniqtirafil-Kabair:
قَالَ الْأَذْرَعِيُّ: وَفِي أَذْكَارِ النَّوَوِيِّ مِمَّا يُبَاحُ مِنْ الْغِيبَةِ أَنْ يَكُونَ مُجَاهِرًا بِفِسْقِهِ أَوْ بِدْعَتِهِ كَالْمُجَاهَرَةِ بِشُرْبِ الْخَمْرِ وَمُصَادَرَةِ النَّاسِ وَأَخْذِ الْمَكْسِ وَجِبَايَةِ الْأَمْوَالِ ظُلْمًا، فَيَجُوزُ ذِكْرُهُ بِمَا تَجَاهَرَ بِهِ وَيَحْرُمُ ذِكْرُهُ بِغَيْرِهِ مِنْ الْعُيُوبِ.
“Al-Adzra‘i berkata: “Dalam kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi disebutkan bahwa di antara bentuk ghibah yang diperbolehkan adalah menyebut seseorang yang terang-terangan dalam kefasikannya atau dalam bid’ahnya — seperti terang-terangan meminum khamar, merampas hak orang, memungut pajak yang tidak sah, dan menarik harta secara zalim. Maka boleh menyebutkannya sesuai dengan apa yang ia tampakkan secara terang-terangan, tetapi haram menyebutkannya dengan selain itu dari aib-aib yang tidak ia tampakkan.”
Dengan kata lain, menyebut keburukan seseorang yang dilakukan secara terang-terangan bisa dibolehkan dalam konteks tertentu, misalnya untuk memperingatkan atau menjelaskan kebenaran. Namun, menyebut aib yang tersembunyi tetap diharamkan, karena termasuk ghibah yang tercela.
Oleh karena itu, makruh bagi pelaku maksiat mengumbar kemaksiatannya sendiri kecuali berpotensi mendorong orang lain bermaksiat, yang bisa naik ke tingkat haram. Sementara bagi kita, boleh menyinggung aib seorang, sepanjang maksiat yang telah diumbar, tetapi tetap haram menyinggung aib-aib lain yang diprivasi.
Penulis: Imam Rohimi
Editor: A. Kholil