Dalam khazanah pesantren, nama K.H. Hasani Nawawie Sidogiri lekat dengan sosok sufi yang bersahaja. Di antara sekian banyak sifat mulia yang dimilikinya, kezuhudan merupakan ciri paling mencolok dan mengakar dalam kehidupannya sehari-hari. Beliau tidak hanya mengajarkan makna zuhud melalui lisan, tetapi menjelmakannya dalam setiap sikap dan pilihan hidupnya.
Zuhud, dalam pengertian para ulama, bukan berarti meninggalkan dunia secara total, melainkan menggunakannya secukupnya tanpa terikat padanya. Hal inilah yang tergambar jelas pada Kiai Hasani. Hidup di tengah keberlimpahan fasilitas pesantren, beliau justru memilih jalur sederhana. Pakaian beliau sangat biasa, makan dengan menu seadanya, dan enggan menonjolkan diri dalam pergaulan umum.
Kiai Hasani juga menjauh dari gemerlap panggung dan popularitas. Beliau sering menghindar ketika diminta mengisi forum-forum besar, dan lebih memilih mengajar serta mendoakan santri dari balik tirai kesunyian. Dalam pandangan beliau, amal yang tersembunyi lebih bernilai di sisi Allah daripada amal yang dipuji manusia. Bahkan banyak orang baru mengetahui kedalaman ilmunya setelah beliau wafat—pada 13 Rabiul Awal 1422 H bertepatan dengan 5 Juni 2001—melalui catatan-catatan peninggalannya yang penuh hikmah.
Kezuhudan beliau tidak menjadikannya apatis, justru membentuk kekuatan spiritual luar biasa. Beliau bisa berdiplomasi dengan penjajah tanpa gentar, menolak dunia dengan ikhlas, namun tetap mencintai tanah air dengan cara yang benar. Inilah bentuk zuhud yang utuh—bukan pelarian dari tanggung jawab, tapi cara hidup yang jernih, terfokus pada Allah, namun tetap hadir bagi umat.
Dalam era yang serba sibuk dan penuh pencitraan, keteladanan K.H. Hasani Nawawie menjadi oase yang menyejukkan. Zuhud beliau bukan nostalgia masa lalu, tapi pelajaran penting bagi siapa saja yang ingin menata hati di tengah hiruk-pikuk dunia. Di balik kesederhanaannya, tersimpan kekuatan jiwa yang tak lekang oleh zaman.