Artikel

Politik Islam atau Islam Politik!?

Oleh: Abdurrohim Arief * Kita mengenal Islam sebagai agama yang universal. Islam merupakan fenomena yang sangat kaya sekaligus kompleks. Tidak ada satu tindakkan-pun yang terlepas dari sorotan kacamata Islam. Spektrum Syariat Islam sangatlah luas. Ia memiliki kandungan dimensi yang meliputi segala aspek kehidupan. Islam hadir sebagai way of life (aturan main) yang mengatur setiap hubungan manusia, mulai dari yang bersifat vertical-horizontal hingga horizontal-exprensial sebagai sistem sosial antar makhluk. Termasuk dalam kategori kedua adalah, bagaimana Islam menangani urusan negara demi terciptanya kondisi yang stabil dan harmonis. Islam sangatlah memperhatikan sistem politik ketatanegaraan. Negara merupakan elemen yang sangat urgen (penting) ditinjau dari posisinya sebagai penopang tegaknya sendi-sendi syariat. Tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama akan berada dalam garis kritis. Namun bila negara berjalan sendiri tanpa wahyu pasti akan menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Untuk itu, agama dan negara merupakan dua hal yang benar-benar berkelindan dan tidak dapat dipisahkan. Agama adalah dasar, sedangkan penguasaan negara hadir sebagai penjaga. Segala yang tidak memiliki dasar akan hancur dan segala yang tidak memiliki penjaga akan sia-sia. Keterikatan dua elemen ini (agama dan negara) dalam prospektif Islam dikenal sebagai simbiosis-mutualistik. Dalam simbiosis-mutualistik agama dan negara merupakan dua institusi yang saling berhubungan dan membutuhkan. Terbentuknya masyarakat religius hanya bisa raih jika ada lembaga yang disebut negara, sedangkan negara tidak diperbolehkan berjalan tanpa adanya kontrol dari agama. Sebab bila hal itu dibiarkan, akan terjadi banyak tindak amoral dan kekacauan. Maka, subtansi pemerintahan atau negara dalam konsep perpolitikan Islam adalah sebagai pengganti fungsi Shohibus Syar’i (Nabi Muhammad r) untuk menjaga agama dan mengatur dunia. Negara sangat berperan penting sebagai mobilisator seluruh elemen masyarakat agar berperilaku sesuai dengan tuntutan syariat dalam kemaslahatan ukhrawi mereka, sekaligus kemaslahatan duniawi yang bertolak pada ukhrawi. Di sini seorang pemimpin dan rakyat tidak berhak untuk membuat aturan sendiri, karena semuanya harus diadopsi dari Kitâbullâh dan Sunnatu-Rasûlillâh. Bentuk Negara Islam Paradigma di atas dalam Islam kita kenal dengan istilah Khilafah, Imamah, Daulah Islamiyah dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut pada dasarnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengatur sistem pemerintahan. Islam tidak terikat oleh simbol-simbol tertentu  dalam perpolitikkannya. Asalkan substansi negara telah sesuai dengan prinsip di atas, maka seperti apapun bentuknya, posisinya tetap sebagai Negara Islam yang diridai. Sistem pemeritahan Islam memiliki karakteristik khusus dan mudah untuk dikenali. Secara general sistem pemerintahan Islam merupakan sebuah sistem yang betul-betul berbeda dengan bentuk pemeritahan apapun yang telah ada. Perbedaan ini dipengaruhi oleh prinsip-prinsip pokok yang dijadikan dasar setiap negara dalam menata pemerintahaanya. Dalam pemerintahan Islam, al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber utama undang-undang kebijakan pemerintah. Karenanya, Negara bisa disebut dengan Negara Islam apabila konstitusinya mengunakan konsep Islam dan ideologinya juga berlandaskan ideologi Islam. Apabila suatu Negara dapat konsis dengan Syariat Islam, namun wadah kenegaraanya tidak lagi mengunakan istilah-istilah di atas, bahkan menyesuaikan dengan tuntutan alam moderen, maka negara tersebut tetap berstatus sebagai Negara Islam. Secara faktual juga dapat disebut dengan istilah Khilafah atau Imamah. Konsis di sini bukan berarti negara tersebut telah merealisasikan seluruh perundang-undangan agama Islam. Karena untuk mencapai sektor tersebut masih butuh proses panjang dalam meniti langkah ke depan. Yang terpenting adalah berkomitmen untuk merealisasikan hukum-hukum Islam sebagai Rahmatan li al-Âlamîn dan terus melangkah ke depan. Pandangan ini tentunya bertolak dengan wacana politik Islam radikal, semisal kelompok yang berpandangan bahwa politik Islam hanya berkonotasi pada istilah tertentu. Konsep Perpolitikan Islam Pada dasarnya Islam tidak meletakkan sistem perpolitikan negara secara detail. Namun bukan berarti Islam abstain dalam urusan ini. Islam telah membicarakan sistem ketatanegaraan secara global dan telah meletakkan prinsip-prinsip politik secara umum. Masalah politik dan pengaturan negara adalah urusan duniawi yang akan terus berkembang. Oleh kerena itu politik merupakan urusan ijtihad umat Islam. Hal ini agar umat Islam tidak terikat oleh teknis-teknis baku yang kaku, yang kemudian melahirkan ketidak-cocokkan dengan perkembangan yang terus terjadi. Ini turut menjadi bukti bahwa Islam adalah Syariat yang fleksibel dan dinamis. Ia memberikan kesempatan bagi akal manusia untuk berfikir hingga dapat menciptakan sendiri sistem politik yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam urusan politik, yang diperlukan adalah cara-cara yang dapat mengantarkan manusia pada kehidupan yang maslahah dan menjauhkan mereka dari kerusakan. Kemaslahatan merupakan faktor terpenting dalam laju perpolitikan Islam. Untuk itu konsep yang paling tepat dalam politik Islam ialah; la siyasata illa mâ wâfaqasy-syar’a (dasar dari politik ialah bagaimana kesesuaian dengan syara’) yakni yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil qath’i agama, bukan la siyasata illa ma nathaqa bihi asy-syar’u (yang diucapkan oleh syara’) karena syara’ tidak menjelaskan urusan politik secara detail. Syara’ hanya meletakkan kaidah-kaidah umum dalam mengatur kehidupan berenegara sebagai landasan dalam berpolitik, semisal; tasharruful-imâm manûthun bil-mashlahah, ri’âyatul-mashâlih al-mursalah, al-masyaqqah tajlibut-taisîr, daf’ul-mafsadah muqaddamun alâ jalbi maslahah, al-akhdzu bi akhaffid-dhararain, ad-dharar yuzâl dan lain sebaginya. Kaidah-kaidah ini merupakan embrio terciptanya situasi politik yang kondusif, hingga terealisasinya tugas pokok sebagai fungsi pengganti Shâhibus-Syari’ah.    Apabila paradigma berpolitik belandaskan pada konsep kedua, maka yang terjadi adalah fungsi Syari’at akan tereduksi, rigid dan tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Universalitas Islam akan pupus diterpa masa serta stagnan dihadapan problematika yang terus berkembang. Memang betul adanya konsep lâ siyâsata illâ mâ nathaqa bihisy-syar’u, namun kita telah menyaksikan bahwa Syara’ tidak meletakkan dasar politik secara detail. Sehingga apabila terus dipaksakan, tentu sangat bertolak belakang dengan fleksibelitas Syariat. Namun terkadang paradigma ini sengaja digulirkan oleh kelompok tertentu (radikalis) untuk meraih simpati publik demi kepentingan politiknya. Hal ini telah tercermin pada beberapa kelompok Islam yang selalu menggembor-gemborkan berdirinya kembali sistem Khilafah tanpa memahami terlebih dulu dasar-dasar perpolitikan Islam. Sejatinya, mereka hanya menggunakan Islam sebagai kendaraan politik. Di sini, sebutan yang tepat bagi mereka adalah Islam politik bukan politik Islam. *Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Sidogiri. Kini bertempat tinggal di Malang.

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *