Artikel

Bid’ah Hasanah dari Masa ke Masa

Definisi Bid’ah
Imam Izzuddin bin Abdissalam, ulama syafi’iyah, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (2/48) sebagai berikut, “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah saw.” Definisi senada juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi. Beliau berkata, “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah saw”. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat,3/22).

Pembagian Bid’ah
Moyoritas ulama Ahlussunnah wal Jamaah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah madzmûmah (bid’ah yang tercela). Dalam hal ini, Imam asy-Syafi’i –mujtahid besar dan pendiri mazhab syafi’iyah–, berkata, “Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, suatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, atau Ijma’ dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (al-Baihaqi, Manaqib asy-Syafi’i,1/469).
Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât (3/22) juga membagi bid’ah pada dua bagian. Berliau berkata, “Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabîhah (jelek)”.
Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua, juga dilegitimasi dan dibenarkan oleh Syekh Ibnu Taimiyah, rujukan paling otoritatif kalangan Wahabi. Beliau berujar, “Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Imam Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sebagian sahabat Rasulullah saw. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah berdasarkan perkataan Umar ra, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. (Syekh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 20/163).
Dari komentar tokoh-tokoh terkemuka di atas, dapat kita tarik benang lurus bahwa esensi bid’ah hasanah itu tidak dapat dipungkiri wujudnya. Tersebab, semua kalangan dan ulama-ulama terkemuka mengakui adanya. Bahkan, bid’ah hasanah sudah ada semenjak masa Rasulullah saw, masa shahabat dan terus berlanjut sampai pada generasi selanjutnya.

Bid’ah Hasanah pada Masa Rasulullah saw

1.      Hadis Shahabat Mua’dz bin Jabal
Abdurrahman bin Abi Laila berkata, “Pada masa Rasulullah saw seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat jamaah bersama mereka. Pada suatau hari Mua’dz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, tetapi Mua’dz langsung masuk ke dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah saw selesai shalat, maka Mua’dz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah saw selesai shalat mereka melaporkan perbuatan Mua’dz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab, “Mua’dz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” (HR. Imam Ahmad dan Abi Dawud).
Hadis ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, senyampang sesuai dengan tuntunan syarak. Buktinya, Nabi sendiri tidak menegur Mua’dz bin Jabal, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mua’dz sesuai dengan kaidah berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.

2.     Hadis Ali bin Abi Thalib ra
Sayidina Ali  ra berkata, “Abu Bakar ra bila membaca al-Qur’an dengan suara lirih. Sedangkan Umar ra dengan suara keras. Dan Ammar bila membaca al-Qur’an bercampur surah ini dengan surah itu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi saw. sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar ra, “Mengapa kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab, “Allah dapat mendengar suaraku walaupun lirih”. Lalu bertanya kepada Umar ra, “Mengapa kamu membaca dengan suara keras?” Umar menjawab, “Aku mengusir setan dan menghilangkan kantuk”. Lalu beliau bertanya kepada Ammar ra, “Mengapa kamu mencampur surah ini dengan surah itu?” Ammar menjawab, “Apakah engkau pernah mendengarku mencampurnya dengan sesuatu selain al-Qur’an?” Nabi menjawab, “Tidak”. Lalu beliau bersabda, “Semuanya baik”. (HR Ahmad).
Hadis ini menunjukkan bolehnya membuat bidah hasanah dalam agama. Ketiga shahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing-masing, sehingga shahabat yang lain melaporkan cara ibadah mereka yang berbeda-beda itu, dan ternyata Rasulullah saw membenarkan dan menilai semuanya baik serta tidak ada yang buruk. Dari sini dapat disimpulkan, tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan Rasulullah saw pasti buruk dan keliru.

Bid’ah Hasanah pada Masa Shahabat ra

1.      Penghimpunan al-Qur’an dalam Mushaf
Sayidina Umar ra mendatangi Khalifah Abu Bakar ra dan berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah saw, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para penghafal al-Qur’an, bagaimana kalau Anda menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf?” Khalifah menjawab, “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw?” Umar berkata, “Demi Allah, ini baik”. Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhinya ia menerima uluslan Umar. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit ra, dan menyampaikan rencana mereka kepada Zaid.  Ia menjawab, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw?” Keduanya menjawab, “Demi Allah, ini baik”. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah swt melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangakan dada Abu Bakar dan Umar ra dalam rencana ini”. (HR. Al-Bukhari).

2.     Shalat Tarawih
Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata, “Suatu malam pada bulan Ramadan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada yang menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar ra berkata, “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka kepada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya aku ke masjid lagi bersama Umar, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan itu, Umar ra berkata, “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Tetapi, menunaikan shalat di akhir malam lebih bair daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan shalat tarawih di awal malam”. (HR al-Bukhari).
Kedua Hadis di atas menunjukkan bolehnya berkreasi dan membuat hal-hal baru yang belum pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Rasulullah saw tidak pernah memerintahkan para shahabatnya untuk menghimpun al-Qur’an dalam mushaf dan shalat tarawih berjamaah. Akan tetapi, shahabat melakukan hal itu karena melihat ada maslahat yang lebih besar, serta untuk menolak mudarrat yang lebih besar pula.

Bid’ah Hasanah Pasca Generasi Shahabat

1.      Pemberian Titik dalam Penulisan Mushaf
Mulai masa Rasulullah saw sampai pada masa shahabat dan bahkan sampai al-Qur’an dihimpun dalam satu mushaf pada masa Sayidina Utsman, penulisan mushaf al-Qur’an tanpa pemberian titik terhadap huruf-hurufnya semisal ba’, ta’ dan sebagainya. Pemberian titik pada mushaf al-Qur’an baru dimulai oleh seorang ulama tabiin, Yahya bin Ya’mur (w 100 H/19 M). Al-Imam Ibnu Abi Dawud al-Sijistani meriwayatkan, “Harun bin Musa berkata, “Orang pertama kali memberi titik pada mushaf al-Qur’an adalah Yahya bin Ya’mur”. (al-Mashahif, 158).
Setelah Yahya bin Ya’mur memberi titik pada Mushaf, para ulama tidak ada yang mentangnya, meskipun Nabi saw belum pernah memerintahkan pemberian titik pada Mushaf.

2.     Bid’ah Hasana Imam Ahmad bin Hanbal
Salah satu ulama mujtahid yang mengakui bid’ah hasanah adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Adalah mendoakan gurunya dalam shalat, bid’ah hasanah yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz al-Baihaqi meriwayatkan, “Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya mendoakan Imam as-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris as-Syafi’i.” (Manaqib al-Imam as-Syafi’i, 2/254).
Tentu, apa yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, para shahabat dan tabiin. Akan tetapi, Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun.
Dari analisis historis di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
pertama, konsep bid’ah hasanah yang diikuti oleh kaum Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dari Hadis-Hadis shahih, perilaku para shahabat dan pradigma pemikiran ulama salaf.
Kedua, tidak semua bid’ah itu pasti jelek atau sesat sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian kalangan. Karena, kreasi (membuat hal baru) dalam agama itu boleh dilakukan, asalkan terdapat maslahat dan tidak menyalahi qanûn asy-syar’i.
Ketiga,
 hal tersebut menunjukkan bahwa agama Islam itu dinamis, tidak stagnan dan statis. Sebab, yang menjadi standar dalam penetapan hukum dalam syariat Islam adalah maslahat. Sayid Alawi al-Maliki mengatakan, “Mungkin saja makna yang tidak diunggulkan saat ini (al-ma’na al-marjuh), suatu saat mesti diunggulkan, karena ada tuntutan maslahat.”  Wallahu A’lam.

Penulis: Nadi el-Madani, santri Sidogiri peminat Kajian Keislaman

 

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *