Artikel

Mengabdi Dengan Sepenuh Hati

Sumber: https://www.pexels.com/search/%20leader/

Mengabdi Dengan Sepenuh Hati

…..

‘Pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi kaumnya’, begitulah Nabi menggambarkan amanah seorang pemimpin. Seorang pemimpin bukan hanya bertugas memantau dari kejauhan dan duduk berpangku tangan di meja kebesarannya. Tugas seorang pemimpin amatlah besar, berusaha menjaga kestabilan organisasi yang sedang ia emban merupakan secuil dari beberapa beban berat dipundaknya. Bayangkan jika seorang pemimpin beranggotakan dua orang personel maka kesejahteraan dua orang tersebut sudah pasti berada dalam genggamannya dalam me-manage organisasi. Bagaimana andaikan ia menjabat sebagai kepala negara dengan jumlah jutaan rakyat?, sungguh amatlah besar tanggungan pemimpin.

Dulu, khalifah Abu Bakar As-Shiddiq masih berpikir dua kali untuk menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat islam kala itu. Padahal beliau merupakan sahabat yang paling di cintai oleh Nabi Muhammad Saw dan sahabat yang tidak diragukan lagi kredibelitasnya?. Lalu pantaskah generasi berikutnya berlomba-lomba untuk memperebutkan kursi jabatan pemimpin, sedangkan jauh sekali tingkatan kita dengan beliau?. Bahkan beberapa hari setelah beliau resmi jadi Khalifah, Khalifah Abu Bakar berteriak mengharap agar jabatan yang sedang ia pikul di cabut saja. Namun sahabat Umar bin Khaththab menepisnya. Mengkukuhkan supaya khalifah Abu Bakar tetap berada dalam posisinya.

Lalu apa yang menjadi beban Khalifah Abu Bakar sehingga beliau enggan sama sekali menjadi seorang Khalifah?. Beliau sangat khawatir tidak sanggup menjalankan tugas sebagaimana Nabi memikulnya. Pesan-pesan Nabi mengenai tugas pemimpin amatlah berat rasanya bagi Sahabat Abu Bakar ini. Sebab pemimpin menurut Nabi adalah pemimpin di dunia dan akhirat. Beban seorang pemimpin bukan cuma di dunia saja melainkan akan tetap di pertanyakan nanti dihadapan Allah Swt kelak nanti di akhirat. Tetapi apakah kita harus phobia untuk jadi pemimpin?, dan membiarkan umat terus berjalan dalam kegelapan tanpa ada yang mengayomi?. Sepertinya terlalu berisiko meninggalkan umat tanpa pemimpin.

Maka sudah seharusnya salah satu dari umat yang memiliki skil maju sebagai pemimpin. Memang sangat tidak mungkin kita mencontoh teladan Nabi Muhammad sebagai pemimpin ideal dengan sempurna. Tapi sekalipun kita tidak bisa meniru Nabi secara total, masih memungkinkan bagi kita mencontoh secuil saja dari teladan Nabi sebagai pemimpin.

Masalahnya kedudukan ini sekarang menjadi semacam ajang perlombaan. Semua merasa bahwa dirinya mampu mengayomi umat. Padahal dibalik itu semua tersimpan dalam hati kotornya untuk mengusai segalanya. Godaan akan kekuasaan selalu menjadi penghias utama yang memancing hawa nafsu agar maju mencalonkan diri sebagai kandidat pemimpin terpilih. Andaikan kepemimpinan diartikan dengan khidmah, saya rasa tidak ada yang mau melangkah maju sebagai pemimpin.

Semua tahu bahwa sangat sulit untuk jadi pemimpin yang benar-benar amanah. Karena memang manusia tidak pernah lepas dari keteledoran. Sehingga perasaan jadi bimbang antara maju jadi pemimpin atau diam saja membiarkan umat dalam keterpurukan. Sebuah kaidah menyatakan ‘Mencegah terjadinya kerusakan lebih diutamakan dari pada memilih kemaslahatan’. Dengan demikian dapat kita simpulkan di akhir tulisan ini bahwa maju sebagai pemimpin lebih baik dari pada diam melihat umat dalam kehancuran.[]

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *