Artikel

Islam vs HAM; Upaya Pembenturan yang Tidak Perlu

Demokrasi Barat membuka pintu kebebasan sebebas-bebasnya, hingga nyaris tanpa batas. Dan, Islam, jelas merupakan agama kebebasan, tapi dalam makna yang benar. Islam memberikan batas-batas yang luhur untuk mendidik kebebasan. Inilah yang ditentang dengan keras oleh para penyeru demokrasi.

Kalimat di atas ditulis oleh Abdul Akhir Hammad al-Ghunaimi, seorang cendekiawan Muslim Mesir, dalam makalahnya yang berjudul Qadhiyatul-Hurriyât. Kalimat ini, setidaknya, mewakili secara umum mengenai pandangan Islam dan pandangan Barat mengenai hak paling asasi dari manusia, yaitu kebebasan. Pernyataan al-Ghunaimi itu merupakan pernyataan yang proporsional dalam memandang Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM). Al-Ghunaimi menjaga diri untuk tidak membenturkan, tapi juga sangat tidak ingin menyamakan.

Selain al-Ghunaimi, entah berapa banyak orang—dari kalangan pemikir sampai seniman, dari kalangan aktivis sampai pekerja hiburan, dari kalangan Muslim atau non Muslim—yang berbicara mengenai ajaran Islam vis a vis Hak Asasi Manusia (HAM); antara yang berupaya mengkompromikan dan yang gigih membentur-benturkan. Dua kecenderungan ini sama-sama bertolak dari kepentingan untuk menggiring opini: yang satu ingin bertarung dan yang satu ingin bersahabat. Dua kecenderungan ini, jelasnya, sama-sama merupakan tantangan berat.

Kecenderungan untuk membenturkan Islam dan HAM, sedikit banyak, akan melahirkan pencitraan yang kurang bersahabat terhadap Islam. Kalimat “Islam melanggar HAM” merupakan kata-kata pencitraan yang tidak adil dan sangat tidak sedap untuk didengar. Dikatakan tidak adil karena tidak pernah terdengar orang yang menyatakan bahwa “HAM melanggar Islam.”, padahal ajaran Islam lahir terlebih dahulu daripada HAM. Islam juga menerapkan ajaran kepada pemeluknya yang sudah mengucapkan janji setia kepada Islam ketika ia mengucapkan Kalimat Syahadat. Jika ada pemeluknya yang melanggar komitmen tersebut, maka Islam jelas berhak menjatuhkan hukuman kepadanya sebagai konsekwensi atas komitmennya itu. Ini merupakan sesuatu yang sangat rasional dan sangat lazim diterapkan dalam komunitas apapun, tapi anehnya, dalam konteks syariat Islam selalu saja dipersoalkan.

Sementara itu, kecenderungan untuk mengompromikan Islam dan HAM, sedikit banyak, telah dan akan melahirkan pikiran-pikiran yang cenderung liberal dalam memandang ajaran-ajaran agama. Ini tidak kalah berbahaya. Akan sangat banyak ajaran agama yang harus dipangkas gara-gara keinginan untuk menyesuaikannya dengan opini HAM dunia. Padahal, bagaimanapun, ajaran agama dan rumusan HAM lahir dari latar belakang yang berbeda dan memiliki tujuan akhir yang juga berbeda, maka produknya juga jelas memiliki perbedaan, meski dalam banyak hal memiliki kesamaan.

Ad-Dharûriyât al-Khams atau lima pedoman pokok yang menjadi landasan dari syariat Islam merupakan konsep yang seringkali didengungkan sebagai pintu masuk penyetaraan Syariat Islam dengan HAM. Lima landasan itu adalah: (1) menjaga keyakinan beragama; (2) menjaga keselamatan jiwa; (3) menjaga keselamatan akal pikiran; (4) menjaga kekayaan materi; (5) menjaga kelangsungan berketurunan. Ada yang menyebutkan enam dengan tambahan poin: menjaga nama baik dan kehormatan.

Secara harfiah, lima atau enam landasan ini merupakan pintu lebar untuk mengompromikan Islam dan HAM. Namun, jika ditelusuri lebih detail, maka sebetulnya sangat banyak hal-hal yang berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan rumusan HAM yang dibuat oleh PBB ataupun undang-undang HAM yang dibuat oleh masing-masing negara.

Maka, jika ditanya: apa Islam menjaga kebebasan beragama? Tentu, jawabannya adalah “Ya, Islam tidak pernah memaksakan keyakinan kepada orang lain.”. Namun, jika ditanya: apakah kebebasan beragama dalam Islam sama dengan kebebasan beragama dalam rumusan HAM?”, maka jawabannya “Tidak.” Islam tidak akan mengganggu, apalagi menghalangi, orang-orang non Muslim yang hidup di negara Islam untuk menjalankan keyakinan agama mereka. Yang dilakukan Islam adalah menghalangi pemeluknya untuk menjalankan keyakinan yang bertentangan dengan Islam. Jika, ada pemeluknya yang murtad, maka Islam akan menetapkan hukuman mati jika ia tidak mau bertobat. Dan, dalam hal ini, persoalannya sudah bukan lagi pemaksaan keyakinan, tapi hukuman terhadap pelanggaran berat atas komitmen Kalimat Syahadat, dan bagian dari misi menjaga keyakinan beragama bagi pemeluk agama Islam.

Jika ditanya apakah Islam menolak diskriminasi gender dan diskriminasi ras, maka jawabannya “Ya, Islam sama sekali tidak pernah memuliakan atau merendahkan manusia berdasarkan gender dan/atau ras.” Tapi, bila ditanya, “Apakah ada perbedaan aturan antara laki-laki dan perempuan; antara orang merdeka dan budak; atau bahkan antara Quraisy dan bukan Quraisy.”, maka, jawabannya “Ada perbedaan aturan dalam beberapa hal saja. Dan, beberapa perbedaan aturan itu ditetapkan karena untuk menjaga keseimbangan, kebaikan dan kemaslahatan bersama.”

Pertanyaan dan jawaban semacam di atas bisa diterapkan dalam persoalan-persolan yang lain, mulai dari urusan-urusan besar yang melibatkan hajat orang banyak seperti politik, ekonomi, budaya, kesenian, sampai urusan-urusan terkecil sekalipun, seperti urusan rumah tangga dan hubungan suami-istri. Islam datang dengan membawa nilai-nilai moral yang lengkap dan menjamah segala segi kehidupan umat manusia.

Dalam ajaran-ajaran moral yang lengkap itu, Islam menjamin kebebasan dan kesetaraan, namun sangat perlu diingat bahwa kebebasan itu serba terbatas dan kesetaraan itu tidak mutlak. Dan, memang tak ada satupun otoritas di dunia ini yang memahami kebebasan dan kesetaraan secara mutlak. Pasti ada pakem dan batas-batas tertentu. Batas-batas itulah yang berbeda antara satu otoritas dengan otoritas yang lain, tergantung apa arah yang dituju oleh otoritas dimaksud. Omong kosong jika ada otoritas di dunia ini yang merasa menjamin kebebasan dan kesetaraan secara mutlak. Sekali lagi, omong kosong.

Begitu juga Islam, jaminan kebebasan dan kesetaraan itu diikat dengan batas-batas yang sesuai dengan tujuan Islam. Mengenai perbedaan keyakinan, Islam memperlakukan kafir dzimmi dan mu’âhad dengan baik. Dalam kondisi perang sekalipun, Islam melarang mengganggu pemeluk agama lain yang sedang menjalankan keyakinan mereka di biara. Namun, Islam tegas menyatakan bahwa keyakinan mereka sesat dan Islam senantiasa melakukan upaya-upaya agar mereka meninggalkan kesesatan itu.

Mengenai kesetaraan, Rasulullah  bersabda pada saat Haji Wada’: “Hai umat manusia, Tuhan kalian satu, moyang kalian juga satu. Ingatlah, tak ada kemuliaan bagi Arab atas non Arab, juga bagi non Arab atas Arab; (tidak ada kemuliaan) bagi yang merah atas yang hitam, juga bagi yang hitam atas yang merah, kecuali dengan takwa…” (HR Ahmad). Namun, Islam menerapkan beberapa aturan yang berbeda untuk lelaki dan perempuan, antara orang merdeka dan budak, bahkan antara Quraisy dan bukan Quraisy. Batas-batas ini terkait erat dengan puncak yang dituju oleh Islam dalam membawa umat manusia.

Walhasil, Islam dan HAM sama dalam banyak hal, tapi juga berbeda atau bahkan bertolak belakang dalam banyak hal yang lain. Maka, pertanyaan-pertanyaan semisal “Apakah Islam menghormati HAM?”, “Apakah Islam demokratis?” atau “Apakah Islam anti kekerasan?” betul-betul merupakan pertanyaan yang menjebak, dan tidak bisa dijawab dengan singkat dan tergesa-gesa.

Penulis: Ahmad Dairobi (Redaktur Senior Buletin SIDOGIRI)

 

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *