Berdasarkan peninjauan tindak langkahnya, adalah orang yang berpegang teguh pada al-Quran dan mengikuti sunah Rasul r. dan teguh pendirian. Ini adalah arti dengan bersandar sejarah dan kenyataan yang tidak dapat diganti dan diubah selama-lamanya. Allah yang Maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyatannya.
Itulah rumusan yang dikemukakan oleh Hadratusyaikh K. Hasani Nawawie. Pendefinisan santri tersebut tidak terpaku pada arti secara leksikal. Namun, santri dalam konteks ini dipahami sebagai orang setia dan teguh terhadap ajaran syara’ dalam keadaan bagaimanapun, oleh siapapun, dan dengan apapun predikat santri tidak akan tertukar. Keteguhan dalam berpedoman pada syariat ini merupakan hidayah dari Allah I yang akan mengantarkannya pada kebahagian sejati dunia dan akhirat.
Ada pula yang mendefinisikan santri dalam konteks kelembagaan pendidikan Islam yaitu seorang yang datang dari suatu darerah tertentu untuk menuntut ilmu agama kepada sorang kiai atau tokoh agama Islam. Dari konteks ini kita menemukan benang merah tentang berdirinya suatu institusi Islam yang dinamakan pesantren, yaitu lembaga pendidikan Islam tradisional yang di dalamnya ada santri, kiyai, pengajian kitab-kitab Islam klasik, dan masjid. Semua elemen keterbangunan pesatren tersebut merupakan corak pendidikan Islam tradisional khas Nusantara dengan kiai sebagai titik sentralnya. (Zamakhsyari Dhofier, 1984)
Tentu dua definisi di atas berangkat dari perspektif berbeda, definisi pertama berangkat dari esensi dan hakikat dari seorang santri terlepas dari konteks kelembagaan yang mengikatnya. Sebaliknya definisi yang kedua lebih kepada pemahaman kelembagaan yang membuat sosok santri itu ada.
Secara empiris, santri identik dengan orang yang berkecimpung dalam mempelajari agama. Tidak hanya itu, pengamalan terhadap apa yang mereka pelajari menjadikannya status yang dimiliki sepanjang masa. Karena hal yang membentuk jati diri santri bukanlah lembaga yang menampungnya, melainkan keteguhan dalam menjalani ajaran-ajaran syariat Islam yang berpedoman pada al-Quran dan Sunah Rasul yang menyebabkan santri terbentuk secara hakiki. Pesantren sebagai lembaga yang selama ini menjadi tempat santri belajar ilmu agama Islam hanya menciptakan status sosial akan santri secara dzati. Jadi santri secara esensi terbentuk dari pengamalan al-Quran dan as-Sunah dan secara sosial terbentuk dari pesantren.
Dalam kaitannya dengan konteks kesejarahan nasional, santri dan Indonesia sejak kolonialisme bercokol di negeri ini mempunyai hubungan yang sangat erat. Mulai zaman Walisongo hingga awal abad ke-19, mereka tidak pernah absen dalam berjuang meraih kemerdekaan. Tentu saja perjuangan mereka tidak menafikan kelompok yang non-santri lain yang juga berjuang dengan keras.
Menanggapi pernyataan skeptis Fajar Riza Ulhaq, direktur Maarif Institute, sebagimana dimuat dalam laman berita bbc.com edisi Indonesia 22 Oktober 2015, yang mengatakan bahwa penetapan Hari Santri yang disahkan oleh Presiden Jokowi hanya untuk memenuhi janji politiknya saja saat berkunjung salah satu pesantren di Jawa Timur pada Juni 2014 silam. Dengan demikian akan menimbulkan kebingungan dalam mengartikan santri, termasuk NU yang identik dengan pesantren. Imbasnya, menurut Fajar, dikhawatirkan umat Islam akan terkotak-kotak hingga memunculkan kebanggaan pada kelompok-kelompok tertentu.
Tentu saja kekhawatiran tersebut tidak beralasan jika menilik sejarah yang mencatat perjuangan santri dan ulama tanpa membedakan kelompok atau ormas lain. Dalam konteks ke-Indonesaan, justru Hari Santri dapat menumbuhkan rasa nasionalisme mengingat kemerdekaan Indonesia tidak akan dicapai kecuali dengan semangat jihad yang dikobarkan para ulama. Perjuangan santri dan ulama dalam meraih kemerdekaan RI merupakan cita-cita bersama sejak ratusan tahun silam. Maka dari itu, seyogianya Hari Santri dijadikan momen bersejarah untuk menghargai perjuangan ulama dan santri dalam menegakkan kedaulatan RI demi menggapai cita-cita bersama, bukan sebaliknya, menjadikan moment ini sebagai media pecah-belah. Selamat Hari Santri.
=======
Oleh: IsomRusydi*