Di saat dunia mulai terbalik sulit rasanya menemukan seseorang yang betul-betul dan bersungguh-sungguh meniti relnya sendiri. Sulit menemukan seseorang yang betul-betul paham pada dirinya sendiri. Sulit menemukan seseorang yang benar-benar eksistensialis. Bukankah Allah menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini sesuai dengan pasangannya. Padanannya.
Aneh sekali bila ada manusia berbadan serigala. Sebaliknya dia tidak dianggap manusia atau pun serigala malah jadi serigala jadi-jadian, pesugihan atau arajha dalam bahasa Madura. Atau bagaimana jadinya bila ada harimau berkepala manusia. Tentu dia menjadi bulan-bulanan masyarakat. Apalagi tikus jadi-jadian. Tidak cocok itu membawa petaka.
Setiap manusia lahir dengan apa yang diistilahkan oleh Ary Ginanjar Agustian sebagai God Spot. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali mereka ingin/merubah keadaannya sendiri, begitulah disebutkan dalam al-Quran. Lagi, manusia itu lahir ke dunia dalam keadaan bersih dari hal-hal yang tidak baik kecuali orangtuanya ingin mereka menjadi Yahudi, Nasrani, atau semacamnya. Begitulah Baginda Nabi menasehati kita.
Kemudian bila kita menjadi manusia yang beda dan menyimpang bagaimana dengan fitrahnya. Siapa yang salah? Entah. Bisa saja dari pergaulan. Bisa saja dari bahan bacaan. Bisa saja dari sekolahan. Bisa saja dari tulisan. Semua berpotensi mengubah kita.
Tidak salah bila ada pepatah seperti ini, teman sebangkumu adala orang yang menentukan masa depanmu. Hal itu karena kita dianjurkan untuk berhati-hati dalam bergaul. Anak-anak, istri, ibu, ayah bisa saja menjadi sumber fitnah bila kita lalai dengan apa yang kita lakukan. Dan tentu saja fitnah tidak hanya bersumber dari kita dan masyarakat. Fitnah di sini dalam arti sangat luas, bukan fitnah yang selama ini kita kenal.
Bagaimana dengan bacaaan? Tentu untuk yang satu lebih banyak lagi. Banyak mahasiswa atau bahkan dosennya ‘bertingkah’ di luar kodrat kedosenannya dan kemahasiswaanya karena bacaannya. Dan ternyata segala sesuatu di dunia ini berpotensi mengubah kita. Karena manusia cenderung meniru dari apa yang dia lihat, dengar, dan raba.[Maktabati]