Sebagian orang sangat terobsesi membongkar koridor pembatas gaya hidup (life style) demi mencari kebebasan. Sebagian yang lain berusaha menggerogoti undang-undang kehidupan demi orientasi serupa. Adapula yang menjauhkan diri dari intervensi norma, bahkan menendang berbagai aturan, agar bisa terbebas lepas tanpa batas.
Mereka terlalu memuja dan mendewa-dewakan hedonisme dan kebebasan, seakan-akan itu semua telah mengambil alih dan menggantikan posisi Tuhan yang telah menciptakan mereka. Dengan merancang sendiri dan menerapkan faham demokrasi yang telah diupayakan sejak beberapa tahun yang silam oleh Abraham Lincoln; bebas berorasi, berpendapat, bersuara, menghujat, mengkudeta, menghegemoni dan dihegemoni; siapapun, kapanpun dan di manapun. Yang akhirnya, faham inipun juga diterima dan digunakan oleh negara kita.
Mereka juga mendoktrin semua orang dengan adanya faham perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang selalu dijunjung tinggi sebagai sarana yang dapat menjustifikasi dan melegitimasi sepak terjangnya dalam bentuk apapun. Berbagai faham yang mereka bentuk sedemikian rupa. Hingga menyerupai sebuah ‘aturan’, padahal semua itu adalah tipudaya yang menyebabkan undang-undang itu sendiri tidak memiliki kekuatan apapun untuk mengatur prilaku dan cara hidup mereka yang bebas. Inilah semestinya yang harus kita sadari.
Tapi mengapa dunia selalu saja seakan-akan masih dirasa terlalu sempit bagi mereka, hingga upaya hedonisme selalu disuarakan dengan semarak tiada henti. Kebebasan sepertinya masih dirasa kurang bebas. Entah kosa kata apalagi yang akan mereka gunakan agar takrif makna ‘bebas’ dari sudut pandang etimologi dan terminologinya bisa bermakna lebih dari sekedar sebuah kebebasan setelah ‘freedoom‘.
Sungguh tak sepadan jika dikomparasikan dengan berbagai bentuk aturan yang terdapat di dalam Islam apalagi jika kita menilik lebih jauh sebuah status kesantrian. Sebuah status yang dipilih oleh sebagian generasi muslim, dengan berbagai aturan agama dan pesantren yang membatasi ekspresi dalam gerak-geriknya. yang cenderung mempersempit ruang gerak, memperkecil langkah, membatasi area dengan ‘garis batas’ Tuhan, berupa aturan-aturan agama yang bersumber dari al-Quran dan Hadits. Sebagi peraturan yang akan mengatur langkah demi keselamatan mereka.
Mungkin selayang pandang kehidupan santri bagi mereka dinilai ‘terkekang’ dan ajaran Islam dianggap over protective. Sejatinya, santri juga menemukan kebebasan dalam ikatan tersebut, tentu dalam bentuk kebebasan yang berbeda. Yang jelas, besar kemungkinan mereka akan bebas dari berbagai godaan; kemaksiatan, kenistaan, pergaulan buruk hingga ‘bebas dari sebuah kebebasan’ yang tak lain adalah program unggulan syetan.
Maka tak salah jika penulis novel best seller Negeri Lima Menara A. Fuadi, mengatakan; “Kehidupan kaum santri bak berada dalam ikatan, yang mana dalam waktu tertentu ikatan tersebut akan diulur dan ditarik.”. Sesuai ada dan tidaknya ancaman kebebasan, berdasarkan ajaran Islam yang telah terpatri di dalam jiwanya.
Pada intinya, eratnya ikatan status santri tidaklah membuat mereka gerah dan haus bak berada di padang gersang yang kering kerontang, justru bagaikan oase meski berada di tengah gurun yang tak bertepi. Santri tidak haus akan kebebasan. Mereka juga merasakan kebebasan dengan memanfaatkan eratnya ikatan aturan agama dan pesantren. Namun dengan bentuk kebebasan dalam dimensi yang berbeda.[]
/Maktabati