ArtikelKajian Tafsir

Kriteria dan Ketentuan bagi Orang yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿ ١٨٤﴾‏

“Orang yang sakit di antara kalian atau musafir, (jika tidak puasa) diwajibkan qada beberapa hari. Sementara orang yang keberatan berpuasa, wajib memberi makanan pada orang miskin sebagai fidyah. Jika ingin berbuat baik, itu lebih baik dan puasa juga lebih baik jika kamu mengetahuinya ” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)

Secara garis besar, ayat di atas menjelaskan keringanan (rukhshah) untuk tidak puasa di bulan Ramadan, dikarenakan sakit, bepergian, atau ketidakmampuan disebabkan beberapa faktor seperti hamil, menyusui, dan tua renta. (KasyifatusSaja fi Syarh SafinatunNaja, hal: 124).

Meskipun sama-sama mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, beberapa ketentuan berlaku untuk ketiga kondisi. Sakit, misalnya, tidak semua jenis sakit yang diperbolehkan tidak berpuasa. Setidaknya, ada tiga klasifikasi. Pertama, sakit yang diasumsikan sampai ke taraf diperbolehkan tayamum. Dalam hal ini, penderitanya boleh tidak puasa dan makruh berpuasa. Kedua, sakit yang diduga kuat atau diyakini bisa berbahaya. Sakit seperti ini, haram bagi penderitanya untuk berpuasa. Ketiga, sakit ringan seperti sekedar pusing dan semacamnya. Sakit seperti ini, mengharuskan penderitanya tetap puasa kecuali bertambah parah jika tetap puasa (Kasyifatus-Saja fi Syarah Safinatun-Naja, hal. 124).

Untuk rukhshah tidak puasa karena bepergian dapat berlaku jika jarak perjalanan mencapai jarak dalam ketentuan diperbolehkan qashar shalat. Jaraknya, menurut ulama sekitar dua hari perjalanan atau sekitar 89 km. Tidak hanya jarak, perjalanannya juga harus dilakukan sebelum fajar. Namun, menurut ulama Hanabilah, perjalanan tidak harus dimulai sebelum terbit fajar. (Syekh Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir).

Kendati diperbolehkan tidak puasa saat perjalanan, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, lebih utama tetap berpuasa saat perjalanan, jika tidak mengalami kesulitan (masyaqqah), sedangkan menurut Imam Ahmad, lebih utama tidak puasa karena mengamalkan dispensasi (rukhsah) yang telah diberikan. (Syekh Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir).

Ketentuan akhirnya, ketika tidak berpuasa karena sakit atau perjalanan, wajib melaksanakan puasa qadha. Qadha, tentunya dilaksanakan pada selain bulan Ramadhan.

Berbeda dengan tua renta, wanita menyusui atau wanita hamil, yang juga boleh tidak berpuasa dan termasuk golongan yang masyaqqah berpuasa. Jika tidak kuat puasa karena tua atau sakit yang sulit sembuh, ketentuannya bisa dengan membayar fidyah sebagai pengganti puasa.

Hukum ini berdasarkan hadis shahih riwayat Imam ad-Daruquthni:

رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

“Diberi keringanan bagi orang berusia senja untuk tidak puasa, tetapi mengganti tiap harinya dengan memberi makan orang miskin dan tidak perlu qadha.” (HR. Al-Qurtubhi)

Adapun bagi ibu menyusui dan hamil, tergantung kekhawatiran yang muncul. Jika tidak berpuasa karena khawatir terhadap keselamatan anaknya, selain wajib qadha juga wajib bayar fidyah menurut Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. Berbeda, jika khawatir atas kondisi dirinya, atau diri beserta anaknya, maka hanya berkewajiban qadha saja, tidak wajib fidyah.

Terkait ukuran fidyah, ulama khilaf; satu mud menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i; satu sha’ kurma atau setengah sha’ beras menurut Imam Abu Hanifah (Tafsir al-Qurthubi). Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir-nya mengonversi satu mud menjadi 675 gram, sementara satu sha’ setara 2751 gram. (Tafsir al-Munir, Syekh Wahbah az-Zuhaili)

Wallahu a’lam.

Penulis: Imam Rohimi

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *