Artikel

Ketika Imam Dan Makmum Shalatnya Berbeda

Konon, para salaf as-shaleh punya tradisi saling menyambangi satu sama lain. Namun mereka saling menyambangi bukan dikarenakan ada yang sakit ataupun meninggal seperti halnya tradisi orang pada umumnya. Melainkan ketika diantara mereka ada yang meninggalkan shalat berjamaah atau berjamaah namun ketinggalan takbiratul ihram imam.

Dengan alokasi waktu selama tujuh hari bagi yang tidak berjamaah dan tiga hari untuk yang ketinggalan takbiratul ihram imam. Tradisi ini tentunya tak lepas dari saking besarnya pahala yang terkandung dalam shalat berjamaah sampai meninggalkannya saja dianggap sebagai musibah. Dengan jaminan pahala dua puluh tujuh derajat lebih besar dibanding shalat munfarid (sendirian) mungkin hanya penyesalan dan reaksi tepuk jidad saja yang pantas bagi setiap mukmin yang melewatkannnya.

Tak jauh kaitannya dengan hal itu, biasanya kebanyakan pahala dan keutamaan shalat berjamaah selalu diidentikkan tertuju untuk shalat berjamaah yang antara imam dan makmumnya shalatnya sama, seperti imamnya niat melakukan shalat dhuhur dan orang yang bermakmum di belakangnya juga berniat melakukan shalat dhuhur.

Karena mungkin memang praktek shalat berjamaah seperti inilah yang banyak dipraktekkan di masyarakat pada umumnya. Lalu bagaimana jika berjamaah namun antara imam dan makmum di belakangnya shalatnya tidak sama? seperti  imam niat melaksanakan shalat sunnah tahajjud, sedangkan makmum di belakangnya melakukan shalat isya’. Masih berlakukah pahala dua puluh tujuh derajat untuk praktek shalat jamaah semacam ini?

Dalam menyikapi hal ini Syekh Zakaria al Ansori dalam kitab Tuhfatuth Thullab-nya menyodorkan secuil keterangan yang berkaitan dengan hal diatas, keterangan tersebut kemudian diperjelas oleh Syekh as Syarqowi dalam Hasyiyah as Syarqowi-nya. Menurut mereka praktek shalat berjamaah seperti yang tertera diatas sebenarnya hukumnya adalah makruh, namun masih tetap mendapatkan fadhilah dua puluh tujuh derajat (syarqowi 1/324). Dalam artian makruh dalam pelaksanaannya saja namun fadhilahnya tetap diperoleh. Sehingga secara tidak langsung beliau berdua menganjurkan praktek  shalat berjamaah seperti diatas sekalipun hal itu makruh.

Jika menurut Syekh Zakaria dan  Syekh Syarqowi shalat berjamaah seperti itu dianjurkan, beda halnya dengan Imam Said Bin Muhammad, beliau lebih berpendapat bahwa orang yang shalat sendirian itu lebih utama daripada shalat berjamaah namun antara imam dan makmumnya shalatnya tidak sama. Beliau beralasan karena untuk keluar dari khilaf dalam masalah tersebut (khurujan minal khilaf).

Sebab menurutnya shalat berjamaah yang didalamnya terdapat titik perbedaan antara imam dan makmumnya itu dapat menyebabkan kecacatan dalam shalat sekalipun perbedaan itu sangatlah kecil. Sehingga shalat sendirian dengan  sempurna itu lebih baik daripada shalat berjamaah namun didalamnya terdapat cacat (busyro karim 1/129).

Namun disisi lain Syekh Jamaluddin Muhammad Bin Abdurrohman dalm kitabnya, Umdatul Mufti Wal Mustafti secara tidak langsung menepis pendapat dari Imam Said bin Muhamad diatas. Menurutnya (Syekh Jamaluddin) shalat berjamaah seperti diatas sekalipun didalamnya tedapat cacat (ketidaksamaan antara imam dan makmum), namun disitu masih tetap berlaku pahala dua puluh tujuh. Dan tidak mungkin shalat sendirian yang hanya berpahala satu dapat mengalahkan shalat berjamaah dengan keutamaan dua puluh tujuh. (Umdatul mufti wal mustafti 1/134).

Kesimpulannya, praktek shalat berjamaah seperti yang dibahas diatas masih menjadi khilaf dalam pandangan uluma’. Namun perbedaan disini tak sampai pada masalah sah atau tidaknya shalat yang dikerjakan, melainkan  hanya sebatas mana yang lebih utama antara shalat sendirian atau shalat berjamaah namun antara imam  dan makmum shalatnya berbeda. Sehingga sekalipun melakukan shalat dengan praktek berjamaah seperti diatas shalatnya tetap sah. WAllahu a’lam bisshowab

/Abdun arrouf

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *