Sudah jamak kita saksikan, bahwa saat menjelang pemilu, pilpres atau pilkada, para politisi hyper aktif merangkul para ulama, berpenampilan religius, mendatangi majelis-majelis taklim dan jamiyah. Tapi, ketika pemilu sudah selesai, mereka justru menjadi inisiator kebijakan-kebijakan yang berlawanan dengan ajaran agama, mendukung kegiatan-kegiatan maksiat, membela penodaan agama, mempropagandakan pikiran-pikiran yang sekuler, dan menghancurkan sendi-sendi gerakan umat Islam. Semoga di negeri kita ini tidak ada partai politik yang seperti itu. Kalau ada, maka sudah semestinya kita istighatsahi dengan Hizib Nashor supaya cepat hancur dan bubar.
Kita tahu dari sejarah para leluhur kita, bahwa para panglima dan perwira santri selalu muncul di garda terdepan perjuangan kemerdekaan bangsa kita tempo dulu, dengan berdarah-darah dan mempertaruhkan nyawa. Seandainya, saat ini ada pasukan asing datang ke sini untuk menjajah, maka sudah pasti kita akan turun gunung untuk mengangkat senjata, seperti yang terjadi di Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945 itu.
Begitulah para panglima santri! Oleh karena itu, sungguh sangat lucu jika ada panglima santri, hanya muncul dengan tiba-tiba menjelang pemilu. Itu merupakan anomali yang sangat jauh dari mainstream kaum pesantren. Sejarah kaum pesantren lebih memilih medan perang untuk mengusir penjajah, daripada medan politik untuk menguasai bangsa sendiri. Kenapa? Karena medan perang mendorong kita untuk memberi, memberi dan memberi kepada negeri ini, sementara medan politik cenderung menumbuhkan hasrat kita untuk memburu dan mencari keuntungan darinya. Medan perang menumbuhkan jiwa-jiwa patriot yang herois, sedangkan medan politik cenderung menumbuhkan jiwa-jiwa pragmatis yang hedonis.
Dalam bernegara, kita kaum santri memiliki dua pilihan yang sama-sama baik. Jika kita bisa dan mampu untuk mengabdi dengan baik, serta mantap dan yakin bisa membendung godaan, maka silahkan terjun ke dunia politik atau birokrasi, dengan senantiasa menjaga muru’ah dan akhlak santri, istikamah dalam mematuhi aturan-aturan agama, serta teguh dalam memegang tujuan-tujuan mulia yang diajarkan oleh para Masyayikh.
Jika kita tidak bisa, maka marilah kita menjadi rakyat biasa saja. Rakyat yang patuh menjalani ajaran agama, tekun salat berjamaah, seraya berdakwah dan menyebarkan kebaikan melalui pesantren, madrasah, musolla, majelis taklim dan lain sebagainya. Menjadi rakyat yang mandiri, berguna bagi masyarakat, tidak menjadi beban bagi negara, serta patuh terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku. Dalam slogan kaum santri disebutkan, “Jadilah pemimpin yang mampu dan adil, atau rakyat yang patuh dan setia. Jangan sampai menjadi selain itu!”
Baiklah, sekian dari kami. Semoga bermanfaat. Selamat Milad Pondok Pesantren Sidogiri yang ke-281 & Ikhtibar Madrasah Miftahul Ulum yang ke-82! Di bawah tajuk “Beragama, Bernegara, dan Berbangsa!” Semoga ada manfaatnya bagi kita semua dan segenap bangsa Indonesia, terutama dalam hal membangun kehidupan beragama, kehidupan berbangsa, kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara kita, agar lebih sesuai dengan nilai-nilai keislaman yang benar dan lurus, nilai-nilai kebangsaan yang damai dan tenteram, serta nilai-nilai kenegaraan yang adil dan makmur. Amin ya Rabbal Alamin.