Senin (14/08) #MiladSidogiri281 resmi dibuka di Lapangan Utama. Pembukaan ditandai dengan pembacaan Alfatihah oleh Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, KH. A. Nawawi Abd. Djalil dan pemukulan bedug oleh Mas H. Ahmad Sa’dulloh Abdul Alim. Dihadiri oleh Majelis Keluarga, para habaib, dewan guru dan santri Pondok Pesantren Sidogiri.
Setelah rangkaian seremoni selesai, acara dilanjutkan dengan Taujihat Majelis Keluarga Sidogiri yang dibacakan oleh Katib Majelis Keluarga, Mas d. Nawawy Sadoellah.
Dalam Taujihat tersebut, Mas Dwy menyampaikan banyak hal, termasuk tentang santri-pesantren dan perjuangannya dalam menegakkan dan membela agama, bangsa dan negara.
Milad Sidogiri 281 dengan tema #BeragamaBerbangsaBernegara, menurut beliau merupakan momen istimewa, sebab Pondok Pesantren Sidogiri sedang berupaya menyampaikan pesan pada bangsa Indonesia, atau bahkan dunia, bahwa pandangan hidup pesantren merupakan falsafah terbaik untuk mengatasi berbagai problem sosial masyarakat saat ini atau hingga kapan pun.
“Nilai-nilai utama kaum pesantren seperti spiritualitas, keteguhan prinsip, kebersahajaan, kejujuran, ketulusan, kebeningan hati merupakan kunci dari segala ketenteraman hidup ini.” Tegas beliau. Munculnya kejahatan dan lain sebagainya, bagi beliau, ialah karena kosongnya hal-hal tersebut.
Baca juga berita lainnya:
UAS: Urus Urusanmu, Biarkan Allah Urus Urusan Dia
Lebih lanjut, Mas Dwy juga menyinggung tokoh-tokoh panutan pesantren. Mereka adalah sosok ‘alim ‘allamah dan berbudi luhur, “Kita tidak mengikuti tokoh-tokoh instan yang sudah berlagak menjadi mujtahid meskipun belum menguasai tajwid,” dawuhnya. Beliau menambahkan bahwa Sidogiri juga tidak mengikuti tokoh-tokoh yang membenci Sahabat Nabi serta ulama, dan suka mengafirkan dan mensyirikkan hanya karena perbedaan furu’iyah.
Selanjutnya, Mas Dwy menjelaskan tentang santri dan kecintaan pada NKRI. Dalam sejarah maupun faktanya, tak perlu lagi meragukan kecintaan santri pada negeri. “Karena kami cinta NKRI dan tidak berpikir untuk mengkhianati.”
Dalam berbangsa, menurut Mas Dwy, santri menghargai segala tradisi dan budaya lokal masyarakat bangsa ini. Namun hal itu dengan catatan selagi tidak bertentangan dengan ajaran agama. Santri juga menghargai cara berpakaian bangsa Indonesia selama menutup aurat. Namun demikian, beliau mengimbau agar tidak menjadikan budaya berpakaian tersebut sebagai alat untuk mengolok-olok ciri khas pakaian umat Islam, khususnya di Timur Tengah.
“Jangan sampai karena kecintaan terhadap batik lalu hal itu membuat kita mengolok-olok jubah, gamis dan surban,” terang beliau, “Jika ada orang yang mengolok-olok jubah, gamis dan surban, jangan salahkan kami jika membelanya. Sebab kami tahu bahwa Nabi kami, para Sahabat beliau dan para ulama yang mengarang kitab-kitab yang kami aji, mereka semua memakai jubah, gamis dan surban.” Tambahnya.
Mas Dwy juga menyinggung orang yang tidak suka jenggot dan cadar. Menurut beliau, silakan saja orang tidak mau berjenggot atau bercadar, namun jika mengolok-olok maka permasalahannya menjadi lain.
Dengan lugas Mas Dwy juga menuturkan kecintaan santri terhadap para ulama Indonesia. “Mereka para dai dan penyebar Islam yang luar biasa. Namun demikian, jangan sampai hal itu justru menyebabkan kita mengolok-olok dan merendahkan para habaib serta para ulama Timur Tengah yang datang ke Indonesia, apalagi menyebut mereka sebagai guru Ibtidaiyah dengan nada merendahkan serta menyebut rihlah ilmiyah dan dakwah mereka dengan kata ‘keluyuran’. Itu penghinaan besar yang benar-benar su’ul adab pada ulama dan habaib.”
Sementara itu, dalam urusan bernegara, kaum santri menurut Mas Dwy memiliki dua pilihan yang sama-sama baik. “Jika kita bisa dan mampu untuk mengabdi dengan baik serta mantap dan yakin bisa membendung godaan, maka silakan terjun ke dunia politik atau birokrasi dengan senantiasa menjaga muruah dan akhlak santri. Istikamah dalam mematuhi aturan-aturan agama serta teguh dalam memegang tujuan-tujuan mulia yang telah diajarkan oleh para Masyayikh. Jika tidak bisa, marilah kita menjadi rakyat biasa saja. Rakyat yang patuh menjalani ajaran agama, tekun shalat berjamaah seraya berdakwah menyebarkan kebaikan melalui pesantren, madrasah mushalla majelis ta’lim dls. Menjadi rakyat yang mandiri, berguna bagi masyarakat. Tidak menjadi beban bagi negara serta patuh terhadap hukum dan undang-undang yang berlaku.”
_________
Penulis: N. Shalihin Damiri
Editor: Isom Rusydi