Di antara bentuk justifi kasi pegiat liberalisme terhadap paham produkBarat adalah memahami al-Quran dari perspektif kesetaraan gender. Mereka berasumsi bahwa produk tafsir ulama klasik sangat tidak obyektif dan sarat dengan bias gender, karena menempatkan laki-laki sebagai makhluk superior dan wanita sebagai inferior serta subordinat laki-laki yang hanya perkutat di wilayah domestik. Buntutnya, mereka melakukan dekonstruksi terhadap tafsiran ulama, lalu menjejali al-Quran dengan konstruksi tafsir versi mereka yang liar. Biasanya, kegenitan yang dilakukan oleh mereka ketika berhadapan dengan al-Quran berkutat pada poinpoin berikut: 1) Memosisikan teks al-Quran setara dengan teks naskahnaskah lain. 2) Memberikan kritik dan hujatan terhadap metodologi ilmu tafsir yang telah dibangun oleh ulama. 3). Menyusupkan paham Relativisme produk Yunani kuno yang mengklaim tidak ada kebenaran mutlak. 5). Menggunakan kaidah اَلْعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ (yang dilihat adalah spesifikasi sebab turunnya ayat). 6) Metode kritik sejarah. Bisa dikatakan, kerangka metodologis ini merupakan hal yang wajib diaplikasikan dalam penafsiran al- Quran agar mendapatkan pemahaman yang holistis, tidak sepotong-sepotong seperti tafsir klasik. Dan hasilnya, Bravo! Tafsiran mereka sangat jauh dari semangat wahyu itu diturunkan. Umumnya, tema-tema yang dijadikan bahan kajian tentang kesetaraan gender oleh mereka adalah QS. An-Nisa’: 1 yang menjelaskan tentang konsep penciptaan wanita, QS. An-Nisa’: 34 tentang konsep kepemimpinan rumah tangga, QS. An- Nisa’: 11 tentang hak waris wanita, dan QS. Al-Baqarah: 282 tentang konsepsi kesaksian wanita. Namun, karena keterbatasan ruang, penulis hanya mengambil satu sampel ayat saja. Untuk lebih jelasnya, berikut uraian penafsiran mereka berikut bantahannya:
Tafsir tentang Penciptaan Hawa
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالًا كَثِيًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالَْرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama- Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS.An-Nisa’ ; 01).
Menurut para feminis, ayat di atas tidak menyatakan bahwa kata nafs wâhidah adalah Adam, dan juga tidak ada dalam al-Quran nash yang mendukung pemaknaan tersebut. Untuk itu, mereka cenderung memaknai kata nafs wâhidah sebagai materi yang dengannya diciptakan Adam dan istrinya (Hawa). Tampaknya, mereka terlalu memaksakan diri menafsirkan ayat langsung berpijak pada logika yang tentunya kurang sehat. Mengapa ditafsiri demikian, karena, menurut mereka, kalau Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam secara tidak langsung menempatkan dia di bawah Adam. Hal ini juga akan berimplikasi pada wanita-wanita yang lain.
Perlu diketahui bahwa dalam metodologi penafsiran al-Quran ada beberapa grade (tingkatan), diantaranya dan ini menempati grade yang kedua adalah menafsiri al-Quran dengan Hadis. Memang tidak ada, secara eksplisit nash Al-Quran yang menyatakan bahwa nafs wâhidah bermakna Adam. Sebab itu, ulama melakukan eksplorasi pada hadis-hadis Nabi sekiranya bisa menjelaskan maksud nafs wâhidah tersebut, dan ternyata ada, yakni hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.
عَنْ أَبِْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ
فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضَلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْئٍ
فِْ الضَّلْعِ أَعْلَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَّرْتَهُ وَإِنْ
تَرَكْتَهُ لَْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Dari Abu Hurairah berkata,bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Saling berpesanlah kalian (untuk berbuat baik) kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian paling atas. Jika kamu berusaha meluruskannya, kamu akan mematahkannya, tapi jika kamu membiarkannya, maka ia akan tetap dalam keadaan bengkok. Karena itu, saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada perempuan”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dari hadis ini pula bisa dipahami bahwa tafsiran zaujahâ pada ayat di atas adalah Hawa (Hawwa’) yang diciptakan dari tulang rusuk Adam, begitulah pendapat para mufasir klasik yang ilmunya sudah tidak bisa diragukan lagi. Oleh sebab itu, kenapa Siti Hawa diberi nama Hawa karena diciptakan dari sesuatu yang telah hidup, yakni Adam. Berkaitan dengan hadis ini, Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi menyatakan, secara tersirat hadis di atas tidak menjatuhkan martabat kaum perempuan, tapi menjelaskan mengenai batasan karakter seorang perempuan pada umumnya, yakni lebih mengedepankan perasaan dari pada nalar. Berbeda dengan kaum adam yang lebih cenderung mengedepankan akal daripada perasaan, dan faktanya memang demikian. Jadi, sekalipun kenyataanya wanita tercipta dari lakilaki, tapi hal itu tidak serta-merta menempatkan mereka pada posisi rendah sebagaimana tudingan kaum feminis itu.
Nah, sekarang, penafsiran para feminis mengenai nafs wâhidah adalah sebuah materi yang darinya Adam dan Hawa diciptakan, merujuk kemana? Dan materi tersebut berbentuk apa? Pasti kesimpulannya mirip-mirip pernyataan Agus Mustofa yang dengan pongah mengatakan “Ternyata Adam Dilahirkan”. Yang jelas, kalau melakukan komparasi ayat, tidak akan ditemukan ayat, baik tersirat apalagi tersurat yang menjelaskan makna dari nafs wâhidah. Dalam hadis pun tidak akan dijumpai, apalagi pendapat ulama. Dengan demikian, penafsiran tersebut hanya akal-akalan mereka untuk mengelabui masyarakat awam, terutama wanita-wanita yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan agama. Wallahu a’lam.
Afifuddin/sidogiri
[…] dalam aspek-aspek yang fundamental dalam agama seperti rukun-rukun iman dan Islam, tak ada pilihan lain bagi seorang Muslim selain […]