“Setan yang bisu.” Kalimat ini pas disematkan kepada orang yang mengaku Muslim tapi acuh tak acuh ketika melihat kemunkaran. Meskipun tidak terlibat, sikap diamnya itu menunjukkan bahwa ia meng-iyakan kemungkaran tersebut. Sikap apatis yang demikian sangat tidak di harapkan oleh ajaran agama kita. Muslim yang sejati harus tergugah ketika melihat kemungkaran merajalela, atau kebaikan yang semakin dijauhi.
Amar ma’ruf nahi munkar, meskipun merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifâyah), namun akan menimbulkan manfaat yang sangat besar bila tidak dilaksanakan. Sebagaimana dijelaskan pada edisi yang lalu (40), amar ma’ruf merupakan salah satu syiar dan tonggak agama yang sangat penting. Ajaran dan nilai-nilai agama akan terejawantahkan di tengah-tengah umat apabila amar ma’ruf ini di lakasanakan dengan baik. Jika diabaikan, ajaran Islam akan terbengkalai pula. Jika ajaran dan nilai-nilai agama tidak dihiraukan pemeluknya sendiri, tetunya menjadi tanda kehancurannya. Ini hanya sebagian akibat meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.
Pengajian kali ini akan melanjutkan pembahasan amar ma’ruf nahi munkar dari sisi ekses yang ditimbulkan akibat tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, dan dari sisi teknis pelaksanaannya. Selain kitab an-nashâ’ihud-dîniyyah karya al-Habib Abdullah al-Haddad, penulis juga mengutip keterangan dari kitab I’ânatuth-Thâlibîn karya Sayyid al-Bakri bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam bab al-Jihâd. Semoga bermanfaat.
Ketahuilah jika di antara kita menjumpai seseorang terjebak dalam rumah yang terbakar, atau melihat seseorang hampir tenggelam, sedangkan kita mampu menolongnya, maka tentu hati yang punya nurani akan tergerak untuk membantu orang yang tertimpa bencana itu. Apalagi jika bencana itu tertimpa pada saudara kita sendiri.
Demikian ini juga terjadi dalam kehidupan keberagamaan kita. Apabila dijumpai saudara kita yang seiman terjerumus dalam kemungkaran, dada seorang muslim sejati akan tergugah untuk menolongnya lepas dari jerat kemungkaran. Seperti ketika ia melihat seseorang yang hampir mati karena tenggelam atau karena terbakar. Bahkan lebih dahsyat, karena bencana berupa kebakaran atau lainnya hanya bersifat sementara, tidak abadi. Sedangkan terjerumus dalam kemungkaran merupakan bencana akhirat.
Di samping itu, menyelamatkan saudara kita dari melakukan kemungkaran atau meninggalkan sebuah kewajiban, sebenarnya untuk menyelamatkan diri kita sendiri juga. Ingatlah azab yang menimpa umat-umat terdahulu, tidak lain karena ulama dan pendeta mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka mendapat laknat dari Allah I dan selurunya mendapatkan azab tanpa pandang bulu.
Dalam salah satu riwayat di sebutkan bahwa pada Hari Kiamat nanti terdapat seseorang yang menggantungkan dirinya pada orang lain, padahal orang lain tersebut tiak mengenalnya. Terjadilah dialog antara keduanya. Orang kedua bertanya; “Apa yang kau inginkan dariku, padahal kita tidak saling mengenal?” Orang pertama menjawab; “Waktu di dunia dulu, kau melihatku melakukan perbuatan dosa, tapi kau biarkan dan tidak kau larang!”
Ketahuilah, salah satu yang menyebabkan doa kita tidak didengarkan dan taubat kita tidak dihiraukan oleh Allah I, karena kita meninggalkan amar ma’ruf mahi munkar. Janganlah kalian gentar untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, janganlah beranggapan bahwa melaksanakan amar ma’ruf dapat menghalangi rizki, atau mendekatkan pada kematian. Semua itu telah digariskan oleh Allah I.
Ketahuilah, barangsiapa melihat kemungkaran, dan tidak dicegahnya padahal dia memiliki kemampuan, maka dia berarti ikut andil dalam kemungkaran itu. Begitu juga, jika rela terhadap suatu kemungkaran, meskipun tidak berada di tempat terjadinya kemungkaran tersebut, dia dianggap terlibat di dalamnya. Dan sebagai konsekwensinya, dia juga mendapat dosa dan siksa dari Allah I.
Jikalau kita tidak memiliki kemampuan, kita harus tetap ingkar di dalam hati, dan lebih baik lagi kita menjauh dari tempat terjadinya kemungkaran.
Ketahuilah, dalam melaksanakan amar ma’ruf hendaknya menjauhi sikap kasar dan merasa sok suci. Bersikaplah lemah lembut pertama kali, dan jika menemui jalan buntu, ambillah langkah tegas yang proporsional. Mulailah dari diri sendiri, sebelum memerintahkan atau melarang orang lain.
Begitu juga yang harus diperhatikan ialah menjauhi sikap tajassus (meneliti kesalahan orang lain). Diperintahkannya amar ma’ruf nahi munkar bukan berarti kita menspionase orang lain. Tidak. Yang kita lakukan adalah mencegah kemungkaran yang ada di hadapan kita.
Hal lainnya yang penting diperhatikan bagi pengemban amar ma’ruf adalah harus mengetahui bahwa kewajiban yang diperintahkan atau kemungkaran yang dilarang adalah kewajiban atau kemungkaran yang telah disepakati para ulama, seperti kewajiban salat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, atau larangan berzina, mencuri, dan lain-lain. Kewajiban atau larangan yang masih diperselisihkan ulama bukanlah sebagai obyek amar ma’ruf nahi munkar. Atau masih diperselisihkan, namun si pelaku meyakini bahwa apa yang dikerjakan adalah haram, maka harus dicegah, meskipun yang mencegah tidak sama keyakinannya dengan pelaku.
Sebagai contoh, seseorang yang bermazhab Syafii ketika salat tidak membaca basmalah dalam membaca al-Fatihah, padahal menurut mazhab Syafii, basmalah termasuk surat al-Fatihah. Maka, bagi yang mengetahuinya harus menegurnya, meskipun mazhab yang dianut tidak sama.
Oleh: Ach. Muzakki Kholil