Berbicara (baca: menulis) tentang santri, berkaitan erat dengan keremajaan. Mengingat, 99% sntri aktif masih berstatus “remaja”.
Manusia memiliki beberapa fase. Mulai dari balita, anak-anak, sampai—setelah mengalami masa pubertas—disebut remaja. Fase inilah manusia rentan terprofokasi, lantaran wataknya yang masih labil. Hal ini terbukti dengan munculnya ‘Idztun-Nasyi’in-nya Musthafa al-Ghalayayni, Ayyuhal-Walad-nya Imam Ghazali dan beberapa tumpukan kitab ulama mengenai keremajaan.
Tujuan utama dari munculnya kitab tersebut adalah: membetuk karakter pemuda ke jalan yang lurus. Demi mengatasi virus yang tertular dari ke labilan mereka.
Ke-plin-planan mereka disebabkan mod pada setiap kesenangan, tanpa menganalisa positif dan negatifnya. Musik termasuk dari kesenangan itu. Meskipun tidak hobi musik, tapi siapa yang berani menyangsikan keasyikan saat bermain musik?!
Padahal fakta yang ada, musik dapat menurunkan kerakteritas seorang remaja. Dengan pengaruh musik, mereka lebih “liar” pada yang namanya fun. Keganasan mereka tak mempedulikan siapapun, wa bil-khusus jalan agama.
Katerangan ini bukan bermaksud mengharamkan musik. Akan tetapi, memberikan intruksi “bahaya” pada pengguna musik. Lihatlah di Andalusia (baca: Spanyol), sebelum orang kafir ingin menumpahkan balas dendamnya dengan senjata, mereka terlebih dahulu dengan merusak karakter pemuda di sana. Mulai dari mengedarkan rokok dan bir, tersebarnya ulama su’ dan terselenggaranya konser musik di sana-sini.
Sehingga serba-serbi Islam sudah hilang dari kepala mereka. Mulai dari dunia keilmuan menurun, kepedulian pada sesama Muslim hilang, para militer muslim sudah lengah, hingga puncaknya mereka diusir dari Andalusia.
Dari itulah muncullah perkataan, “Dunia hanya bisa dikuasai dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan kekuatan militer dan kelengkapan senjata, sedang perpustakaan gerbang utama menguasai dunia.”
Jika kita rentet dari awal, musik dapat mengganggu konsentrasi dan kesemangatan dalam belajar. Sedangkan muthala’ah adalah jalan mendapatkan ilmu pengetahuan. Dengan adanya musik, daya intelektual akan menurun. Puncaknya, kekuasaan tak lagi ada di tangan muslimin.
Jika harapan satu-satunya belajar ilmu agama hanyalah santri, maka apa jadinya jika sanri sendiri yang doyan pada musik. Bagaimana nasib negeri kita?!
Muhammad ibnu Romli | sidogiri.net