Pada masa Dinasti Abasyiah, Qash (pencerita) identik dengan Khatib (penceramah) atau Waidz (pemberi nasihat). Karena pada zaman itu cerita (baca; Sejarah) lebih direspon oleh para audien daripada nasihat-nasihat yang dilontarkan oleh para orator ulung.
Hal itu menjadi bukti bahwa pengaruh sejarah jauh lebih besar dari pada nasihat-nasihat para orator. Sebangai mana yang telah dipaparkan oleh K.H.A. Musthofa Bisyri dalam buku Episode-Episode Perjuangan Tanpa Pamrih[297.9/Tho/E/C.03] bahwasannya pada zaman itu para orator terus mengkaji dalam sejarah untuk dijadikan bahan materi ceramah. Karena pada zaman itu nasehat-nasehat sangat tidak laku.
Karena sangat besarnya pengaruh sejarah kepada seseorang, Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya,Api Sejarah [906/Sur/A/C.03] berupaya menghancurkan Islam dengan cara deIslamisasi dalam penulisan sejarah. Sehingga masyarakat umum tertipu dengan sejarah palsu tersebut. Syaikh Ali Ath-Thanthawi dalam buku Episode-Episode Perjuangan Tanpa Pamrih[297.9/Tho/E/C.03] menuturkan, masyarakat umum tidak memperhatikan terhadap sejarah. Kalau Anda tidak percaya akan kami buktikan!. Di dalam kitab Rihlah ibnu Bathuthah[2×9.9/Ibn/R/C.01] ada sultan muslim yang sangat bijak yaitu Talmusyirin. Beliau masih cucu Jenghis Khan. Beliau menguasai wilayah yang sangat luas, manggabungkan beberapa wilayah, dan punya kekuatan militer yang amat tangguh. Coba jawab pertanyaan saya dengan se-jujur-jujurnya! Apakah anda pernah mendengar tentang sultan Talmusyirin?. Pernahkah ada raja Muslim yang memerintah Rusia? Kekuasaan mereka sangat spektakuler. Didalam kitab-kitab sejarah wilayah mereka disebut dengan ‘Bulghar’. Ibukotanya tidak jauh dari Stalingrat. Apakah Anda juga pernah mendengar tentang raja Aurangzib, salah satu raja di India yang memiliki kemiripan dengan Khulafaur Rasyidin dalam segi prinsip hidup dan keberhasilan?. Jika anda tidak mengetahui hal itu maka, bagaimana mungkin kita dapat memilah dan memilih sejarah yang asli dan yang palsu?. Maka dari itu, seyogyanya bagi kita untuk semangat dalam belajar sejarah dengan tujuan meninggikan syi’ar Islam.
Selain karena faktor keminiman masyarakat dalam mengetahui sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara memaparkan faktor lain didalam Api Sejarah [906/Sur/A/C.03] bahwasannya Sejarawan dalam menulis buku banyak bersumber dari barat. Contoh sejarawan nusantara yang sudah populer, R.K.H. Abdullah bin Nuh. Karya-karya beliau kebanyakan mengambil dari buku The Preaching of Islam karya sejarawan barat yang bernama Thomas W. Arnlod. Sehingga karya beliau sedikit mengalami deIslamisasi. Memang benar perkataan H.M. Iwan Gayo dalam bukunya Buku Pintar Seri Senior[915.98/Gay/B/C.03] bahwasannya penulisan suatu karya sangat sering terkendala oleh masalah data, materi dan akses informasi.
Intinya, kita harus bangkit untuk menyuarakan sejarah yang asli den melawan sejarah yang telah mengalami deIslamisasi. Karena dengan menegakkan kebenaran, berarti kita menegakkan masa depan bangsa.
Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net