Artikel

Bukan Hanya Manusia, Berikut Bukti Semut Juga Makhluk Sosial!

Manusia adalah makhluk sosial. Hal ini memang benar adanya. Sebab, mulai dari awal (baca: lahir) sampai akhir hayat (baca: mati), manusia tetap membutuhkan orang lain. Maka tak diragukan lagi, penjagaan solidaritas sebagai kewajiban prima bagi “yang merasa” dirinya manusia.

Namun, perkataan di atas tidak menafikan kehidupan sosial dari makhluk lain. Sebab, semut, yang identik dengan makhluk terkecil pun tetap menjaga kehidupan yang serba gotong-royong. Bahkan Caryle P. Haskins, Ph.D., kepala Institut Carnegie di Washington menyatakan ketakjubannya pada perilaku semut. Hal ini tercatat dalam bukunya National Geographic, “Setelah enam puluh tahun mengamati dan mengkaji, saya masih takjub melihat betapa canggihnya perilaku sosial semut… Semut merupakan model yang indah untuk kita gunakan mempelajari akar perilaku hewan.” Perkataan ini dikutip oleh Harun Yahya dalam bukunya Pustaka Sains Populer Islam, Menjelajah Dunia Semut [2×0.03/Yah/P/C.01].

Wajar saja jika Caryle takjub pada pola hidup semut. Siapa yang tidak takjub, melihat hewan yang biasa kita pandang “lemah” memiliki kekompakan yang luar biasa; hewan kecil tapi keamanan sarangnya super ketat; hewan yang ukurannya tidak lebih dari 5 cm tapi dapat membangun markas hingga lebih 2 m.

Lihatlah pola hidup mereka, yang mana setiap koloni semut—tanpa terkecuali—tunduk pada sistem kasta.

Dalam sistem kasta, anggota teratas adalah ratu dan beberapa jantan, yang memungkinkan koloni berkembang biak. Tugas utama mereka adalah melestarikan keturunan koloni semut. Disusul dengan kasta kedua, yaitu prajurit. Tugas utama semut prajurit adalah membangun koloni alias mencari kawasan baru untuk hidup lebih aman dan nyaman. Sedangkan untuk perawatan dan kebersihan maubelir, diserahkan kepada semut pekerja, yang merupakan kasta ketiga.

Dari sinilah, tersirat betapa peduli mereka pada peraturan. Mereka sudah sangat terbiasa dengan istilah “aturan”. Sehingga mereka bisa hidup tertib dan aman, meski postur badan mereka kecil. Bada jauh dengan kita, yang selama ini sangat alergi pada “aturan”, dan paling benci jika kita diatur. Sehingga, kita hidup dalam bingkaian problematika dan masalah yang continue.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita berseru, “Tirulah pola hidup semut!”.

Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *