Di kalangan pesantren, musyawarah adalah suatu program yang bersifat primer. Selain karena lebih diingat, hasilnya lebih detail dan rinci. Program ini telah berlangsung dari zaman Rasulullah SAW dan terus diabadikan hingga kini.
Akan tetapi, pengabadiannya tidak seratus persen. Nama dari program ini saja yang kekal, sedangkan tujuan utamanya berubah total. Mencari kebenaran sudah sangat jauh dari program ini. Parahnya lagi, program musyawarah dijadikan ajang mencari ketenaran. Na’udzubillah!
Antara kebenaran dangan ketenaran sangat berbeda 100 derajat. Sebab, jika tujuan kita adalah mencari kebenaran, maka musyawarah itu dapat menelurkan suatu hukum yang klarifikasinya kuat, tanpa menimbulkan percekcokan yang endingnya permusuhan. Sedangkan jika yang kita cari adalah ketenaran, maka hukum yang kita bahas tidak akan pernah terselesaikan. Lebih parahnya lagi akan menimbulkan permusuhan antar musyawirin.
Kalau membuka lembaran sejarah, kita akan mengetahui suasana musyawarah tempo dulu. Coba kita amati cara musyawarahnya KH Abd. Jalil bin Fadhil, beliau tidak akan bicara sepatah kata pun jika moderator belum memberikan waktunya. Beliau tidak pernah akar-kar apalagi memberikan komentar pedas pada masyawirin lain sebagai mana lazimnya musyawarah pada abad XX ini.
Para musyawirin kontemporer tidak akan pernah percaya pada fakta ini. Karena mereka sendiri telah terbiasa melakukan perkara buruk tersebut. Karena keanehan adalah suatu kelaziman pada masa mendatang. Konon, ketika orang yang lebih senior berbicara, tak seorang pun yang berani memotongnya. Tapi kini, bukan hanya yang lebih senior, mushahhih-pun berani dibentak dan diolok-olok oleh para musyawirin.
Musyawarah yang dulu bukanlah yang sekarang. Dulu, suasana musyawarah tidak jauh berbeda dengan biasanya. Ketika ada musyawir berbicara, maka para musyawirin lainnya menyimaknya. Sekarang, suasana musyawarah lebih ribut dari pada pasar. Walaupun ketika salah satu musyawir dipersilahkan oleh moderator, malah musyawirin lain ikut-ikutan berbicara, entah tenar atau sensasi belaka yang mereka harapkan.
Dulu, tutur bahasa yang diucapkan sangalah lembut, meskipun ketika i’tirad. Tapi sekarang, olok-olokan bahkan perkataan kotor sering keluar dari mulut para musyawirin.
Faktor perubahan suasana ini dikarenakan tujuannya berubah, yang asalnya mencari kebenaran kini malah mencari ketenaran. Mengingat, niat adalah pengemudi dari pekerjaan itu sendiri. Mungkin sudah cukup dengan satu sabda Rasulullah SAW, “Setiap pekerjaan tergantung pada niatnya”.
Bahkan, salah-satu pembina musyawarah, dengan entengnya mengucapkan, “Letakkan dulu (jangan diamalkan) Ta’lîmun Muta’alîm-nya”. Padahal, sebenarnya, kitab itulah yang menyarankan kita musyawarah. Kitab itu pula yang mengajarkan tata caranya.
Musyawarah atau yang kita kenal dengan metode syawir, memiliki tujuan untuk mencari kebenaran. Mencari kebenaran ini hanya diperoleh dengan berfikir (ta’ammul), enjoy (taanni) dan netral (inshaf). Dan forum inilah yang diperbolehkan.
Bila musyawarah hanya diperuntukkan mencari ketenaran, dengan artian kita berkicau dalam forum dengan berapi-api (ghadhab) dan menimbulkan percekcokan dan keramaian (syaghbun) maka forum semacam ini tidak diperbolehkan, bahkan dikategorikan perkara madzmûm. Na’udzubillahhi min dzalik!
Muhammad ibnu Romli/sidogiri.net