Intelektual dan moral dalah dua sasaran dari adanya digital. Meski digitalisasi sepertinya mendukung, akan tetapi di balik itu terpendam perusakan kualitas akhlak dan ilmu.
Lantaran itu, dulu—sebelum masuknya digitalisasi ke pesantren—yang memprovokatori “anti globalisasi” adalah pesantren salaf. Sampai detik ini pun, pesantren agak alergi pada kemajuan tersebut.
Sejarah mencatat, perkembangan falak di pesantren menurun drastis saat adanya pendigitalan falak. Sehingga, kemajuan fan itu sudah berakhir di software instan dan super mudah itu. Secara otomatis, jika software itu rusak atau diblokir, maka sudah pasti kita kehilangan falak. Kita tidak tahu pada arah kiblat, waktu shalat, gerhana, awal tahun dan lain semacamnya. Kita akan terasa bodoh dengan adanya aplikasi tersebut.
Pepatah, “Ilmu ada di hati, bukan di kertas,” juga pepatah, “Ilmuku takkan hilang selagi aku masih ada,” dan mutiara hikmah lainnya, akan terasa asing di dunia nyata. Juga dengan adanya alat instan, akan mengurangi kesemangatan kita dalam menuntut ilmu.
Pernah saya mendengar guyonan teman. Dia berkata, “Kamu di pesantren ini ada yang hafal logaritma, niscaya ku beri dia uang satu miliar.”
Buat apa menghafalkan logaritma? Mungkin itu yang ada rasakan. Begitu pula dengan saya. Akan tetapi, itulah bukti nyata bahwa ilmu kita tidak lagi di hati. Kita selalu merasa tergantung pada buku, internet dan lain semacamnya. Sehingga otomatis, jika kita kehabisan paket, atau jaringan offline, maka seketika itu juga kita bodoh.
Selain sifat malas, rasa muraqabah (pengawasan dari Allah) pun terkikis oleh adanya digital. CCTV diantaranya. Dengan adanya benda itu—wabil-khusus di pesantren—segala tindak tanduk kita tergantung pada alat tersebut. Ketika ada, kita berbuat amal shaleh. Jika tidak, maka kita berbuat “amal salah”. Lebih-lebih saat pulangan. Semua yang dilarang pesantren, seperti pacaran, mencemarkan nama baik, dan lain sebagainya, dengan enteng dia lakukan. Mengingat, sudah tidak ada lagi CCTV yang terhubung ke keamanan pesantren.
Yang perlu digarisbawahi, saya bukan melarang menggunakan benda digital. Akan tetapi, jangan sampai prinsip di hatimu berubah gara-gara efek digitalisasi.
Muhammad ibnu Romli | sidogiri.net