Artikel

Mengatur Waktu ala Santri

Sering aku katakan—lebih tepatnya, menulis—tentang waktu.  Bahkan, kecerdasan seseorang dapat diukur dengan seberapa lihai dia mengatur waktu. Semakin pintar dia mengatur waktu, kehidupan pun terasa lebih “lezat”.

Bahkan di buku Hasyiyah, Catatan Kaki Seorang Santri (1) saya menulis waktu iitu dengan judul yang agak aneh, yaitu Waktu adalah “Kutu”. Satu hal yang melatarbelakangi judul tersebut, yakni beraneka-ragam definisi yang diberikan masyarakat. Dari pada saya memilih salah satu definisi itu—yang akhirnya ada pilih kasih pada salah satu pihak—mending buat sendiri. (Selain itu, banyak alasan lain yang sangat penting, dan bisa kalian baca—yang jelas membeli dulu—di buku itu).

Perbedaan dalam memberikan definisi, sudah mewakili dari pentingnya sebuah waktu. Sebab, jika barang remeh, mana mungkin orang memikirkan definisinya? Apalagi sampai silang pendapat.

Saya teringat akan sebuah kisah yang dialami saya sendiri. Pada saat itu, lebih tepatnya masa-masa IMDA (Imtihan Dauri) berlangsung. Salain belajar, dari instansi TTQ (Ta’limiyah wa Tahfidzul-Quran), yang menangani khusus program Kaffah (Kaderesasi Fuqaha’) menuntut saya fokus pada BMW (Bahtsul Masail Wustha), yang merupakan musyawarah antar pesantren. Dari instansi Perpustakaan Sidogiri menuntut untuk segera menyelesaikan buku profil perpustakaan, mulai dari sejarah hingga SOP kinerjanya.

Tidak hanya itu, dari derah, yang merupakan daerah khusus Tahfidzul-Mutûn memaksa saya menakror ulang dengan tahqîq berikut dengan pemahamannya, untuk diikut sertakan dalam lomba Smart Tahfidz. Belum lagi tuga-tugas saya selaku Sekretaris Redaksi Matabaca, dan Leader dalam Ihya’ Ulumiddin Community.

Itu semua masih sebatas kewajiban yang harus saya lakukan. Belum aktifitas sampingan yang merupakan target pribadi.

Hanya merenung yang bisa saya lakukan, meratapi semua agenda yang berantakan. Demi meringankan beban, saya mencoba curhat pada teman dekat. Anehnya, di cover nadzam Alfiyyah-nya terdapat tulisan, “Dunia terasa enak, jika dapat mengatur waktu”.

Kita takkan terlepas dari kejaran waktu. Meskipun ketika liburan. Hanya saja bagaimana kita dapat memaksimalkannya.

Ketika kembalian, hal itu sangat nampak. Sebagian teman saya, ada yang mampu mengarang beberapa buku selama libur panjang Ramadhan. Ada juga—bahkan banyak—teman saya saat pulangan hanya bisa “mengarang” luka pada sekitar tubuhnya, akibat kecelakaan.

Karena itu, ingatlah bahwa: waktu takkan melepas kita, meski saat liburan. Jangan sia-saiakan! Karena waktu itu enggan untuk kembali. Sebagaimana dawuh Syaikh Sa’id Ramadan al-Buthi, “Jika hari baru datang padamu, ucapkanlah, “Selamat datang ‘tamu’.” Muliakanlah dengan ibadah dan tobat. Jangan kau kotori dengan dosa. Jika tidak, engkau akan menyesal, karena tamumu tak akan pernah kembali.”

Muhammad ibnu Romli | sidogiri.net

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *