Berkebun Sendiri
Selain jual-beli kuda, kasab Kiai Abd. Adzim dalam mencari nafkah adalah bertani. Beliau banyak memiliki sawah dan tegal. Habis salat Subuh beliau pergi ke tegalnya sambil membaca wirid. Beliau berkebun sendiri. Beliau enggan memakai pembasmi hama berbahan kimia, tapi yang dipakai adalah gula. Hama-hama tidak mengganggu tanaman, tapi memakan gula tersebut. Kata beliau tentang pembasmi hama, “Masio ketok apik, ndak bagus (Meskipun tampak baik, memakai pembasmi hama itu tidak baik).” Hal ini didorong oleh syafaqah (kasih sayang) beliau pada binatang. Suatu ketika beliau bertemu dengan seseorang yang membawa racun tikus untuk mengobati sawahnya. Setelah ditanya untuk apa obat itu, dia menjawab untuk meracuni tikus yang ada di sawah. Kiai lalu berucap, “Jangan diobati, cukup dibacakan Fatihah satu kali, lalu putari sawah tersebut dan katakan, ‘Kiai Cholil bin Nawawie waliullah!’.” Akhirnya, sawah tersebut selamat dari tikus-tikus yang mengganggu.
Konon di masa beliau, tanaman berbuah dua kali. Kalau beliau menanam, tanaman itu langsung hidup. Pernah salah satu khadamnya memotong dahan mangga dan mau dibuang. Kiai Abd. Adzim melarang dahan mangga itu dibuang, “Ojok dibuak, eman, eman!” Lalu Kiai menancapkan dahan yang sudah dipotong itu ke dalam tanah. Tanaman itu langsung hidup sampai berbuah pada waktunya. Melihat hal itu, si khadam ingin menirunya, “Kiai bisa, masak aku tidak bisa,” pikirnya. Lantas dia memotong 7 dahan pohon yang baik-baik, lalu ditanam di tegalnya yang ada di selatan Masjid. Karena maqam (derajat)-nya di sisi Allah tidak sama dengan Kiai Abd. Adzim, dalam masa seminggu kemudian tujuh dahan itu kering semua, sebab tidak dicangkok. Kalau pedomannya Kiai, “Yang membuat ini (tanaman) ini bisa hidup atau mati adalah Allah. Bukan karena dicangkok.”
Dari senangnya menanam tanaman, beliau ketika menghadiri undangan di luar selalu membawa tunas kelapa. Bila beliau ketepatan melihat tanah kosong, beliau meminta izin kepada si pemilik tanah agar tanah tersebut ditanami tunas kelapa.
Kiai Sidogiri yang Kedelapan
Kiai Abd. Adzim merupakan Kiai Sidogiri yang kedelapan. KH. Cholil Nawawie pernah berkata ketika ada seorang Habib dari Probolinggo bertanya pada beliau, “Panjenengan Kiai (Pengasuh) yang keberapa?” Kiai Cholil menjawab, “Saya yang nomor sembilan.” Lalu beliau menuturkan beberapa urutan Kiai (Pengasuh) PPS: (1) Mbah Sayid Sulaiman, (2) KH. Aminullah, (3) KH. Mahalli, (4) KH. Noerhasan bin Noerkhotim, (5) KH. Bahar bin Noerhasan, (6) KH. Nawawie bin Noerhasan, (7) KH. Abd. Djalil bin Fadlil, (8) KH. Abd. Adzim bin Oerip, dan (9) KH. CholiI Nawawie .
Kitab yang diajarkan Kiai Abd. Adzim adalah kitab berukuran tipis, seperti MukhtAsar Jiddan dan lainnya. Beliau lebih suka mengajarkan kitab kecil tapi diamalkan, daripada memberikan kajian kitab besar tapi tidak diamalkan. Tempat beliau mengajar biasanya bertempat di dalemnya sendiri atau di Surau G. Biasanya, yang diajarkan adalah dua kitab, Sullam atTaufîq dan al-Hikam. Ada juga yang mengatakan tiga kitab, yaitu Safînah an-Najah, Sullam at-Taufîq, dan Bidâyah alHidâyah. Setiap kali khatam, beliau selalu mengulangi lagi dan tidak pernah menggantinya dengan kitab lain. Akhirnya, ada seorang santri yang mengusulkan agar diberi pengajian kitab baru. Kiai Abd. Adzim langsung membentak, “Kerjakan dulu! Wong kitab satu masih belum diamalkan semua, sudah minta kitab yang lain!” Metode tersebut agak serupa dengan metode yang digunakan oleh KH. Nawawie, pamannya sekaligus mertuanya, yang hanya mengaji tujuh baris, satu pekan kemudian baru melanjutkan.
Kata beliau, “Amalkan dulu! Kalau sudah diamalkan, nanti pindah lagi.” Selain mengajar kitab, Kiai Abd. Adzim juga mengajar al-Quran pada santri-santri bertempat di Surau G. Dalam mengajar al-Quran, beliau memulai dari surat an-Nâs ke depan. Beliau menekankan pada bacaan al-Fatihah dan Tahiyat. Bila ada kesalahan dalam baca al-Quran, beliau tak segan-segan meludahi atau bahkan memukul dengan tongkatnya. Kiai-Kiai zaman dulu memang keras dan tegas dalam mengajar. Namun santri-santrinya tidak lantas berhenti berguru lalu mendendam. Ketegasan gurunya dianggap sebagai ujian hati, antara ikhlas dan tidak.
Setiap kali akan memulai pengajaran, beliau mengawali dengan bacaan Fatihah dan Tahiyat. Kalau bacaan santri masih belum bagus, beliau tidak memulainya. Beliau memberikan pengajaran sambil tidur-tiduran, dan berbantalkan kelapa laki yang sudah tua. Meski demikian, bukan berarti beliau tidak memperhatikan. Terbukti, tiap kali ada kesalahan dalam bacaan al-Quran atau kitab beliau memberikan teguran pembenahan.
tidak hanya pada hari-hari biasa, pada waktu liburan pun beliau juga mengaktifkannya. Setiap bulan Ramadan, beliau membuka pengajian khataman kitab yang diikuti oleh santri dan siapa saja yang berminat, yang bertempat di Masjid. Beliau juga membaca al-Quran 2 juz tiap malam dengan tartil, sedang yang lain hanya mendengarkan.
Artinya, pada bulan puasa beliau mengajar bacaan al- Qur’an yang benar dengan cara mempraktikkannya sendiri. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya, di mana beliau yang mendengarkan, dan membetulkan bila ada bacaan yang salah. Dalam membawa al-Quran, Kiai Abd. Adzim lain daripada lainnya. Beliau meletakkan al-Quran di atas kepala, entah apa maksud sebenarnya. Mungkin itu merupakan ungkapan takzim beliau pada kitab suci al-Quran.
Uniknya, ternyata yang mengaji kepada beliau bukan hanya kalangan manusia, tapi juga bangsa Jin. Suatu saat Kiai. Abd. Adzim pernah dawuh kepada Kiai Baqir, menantunya, ”Muru’ono koen, ‘Qir (Mengajarlah kamu, ‘Qir!)” Kiai Baqir menjawab, “Muru’ sinten Bah? Wong mboten wonten sing ngaji (Mengajar pada siapa, Bah?Kan tidak ada yang ngaji?).”Kata Kiai Abd. Adzim, “Iku neng mburimu! (Itu dibelakangmu!)” Setelah menoleh, ternyata di belakang Kiai Baqir sudah penuh dengan jin yang siap untuk mengaji.
Karena itulah, sepeninggal beliau, Kiai Baqir tetap mengajar meskipun sedikit yang ikut pengajian. Selain mengajar jin, Kiai Abd. Adzim juga banyak memindah jin yang mengganggu santri-santri. Hal itu tidak mengherankan, karena kakek beliau Mbah Ibrahim-dikenal dengan memiliki santri jin. Ketika Mbah Ibrahim wafat, terdengar suara tangisan yang melebihi suara yang hadir pada saat itu. Padahal yang hadir hanya sedikit.
Kiai Abd. Adzim tidak memberikan penanganan langsung dalam kepengurusan PPS, hanya saja beliau memberikan pengajaran pada santri-santri senior. “Anak yang mondok di sini (PP. Sidogiri) asalkan tidak suka melanggar, jika masih meneruskan (mendalami) ilmu, akan menjadi kiai. Kalau meneruskan (bidang) duniawi, akan menjadi orang kaya,” dawuh beliau.
Disebut Rajanya Para Wali
Jika dilihat dari keistimewaan yang beliau miliki dan haliyahnya, memang beliau layak dikatakan seorang wali. Bahkan sebagian habaib menilai Kiai Abd. Adzim bukan hanya wali biasa, tapi rajanya para wali. Konon, setiap pekan beliau didatangi oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan dalam tahiyat salat, saat sampai pada kalimat, “Assalâmu ‘alaika ayyuhanNabiyyu…,” Nabi Muhammad menjawab salam beliau secara langsung. Bila tidak dijawab oleh Nabi, beliaumengulang kalimat tersebut sampai Nabi menjawabnya, baru diteruskan membaca kalimat “Assalâmu ‘alainâ…”.
Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau adalah wali Autad keempat, di mana di dunia ini ada empat wali Autad dan beliaulah yang nomor empat. Wali Autad adalah wali yang tidak diketahui oleh orang lain, bahkan wali itu sendiri tidak merasa bahwa dirinya adalah seorang wali. Menurut KH. Muchith, Banjarsari, Probolinggo, keponakannya, Kiai Abd. Adzim sudah menjadi wali sejak kecil, dan sejak kecil beliau suka membaca wiridan.
Beliau menekuni sebuah wiridan sejak muda, berupa salawat dan surat al-Fatihah. Salawat yang beliau baca adalah berupa salawat yang dibaca oleh santri di masjid sampai saat ini setelah salat Magrib. Dulu, salawat itu dibaca sebanyak 500 kali, dan bacaan istighfar-nya kurang-lebih 313 kali. Salawat inidisebut Salawat Khidir, sebab Nabi Khidir mendapat ijâzah salawat tersebut dari Nabi Muhammad tanpa lafal “Wasallam”. Yang mana biasanya dalam salawat, lafal “Shallallâhu” mesti disandingkan dengan “Wasallam”. Sedangkan wiridan lainnya yang dibaca Kiai Abd. Adzim pada masa penjajahan Belanda adalah surat al-Fiil 11 kali usai salat Isya. Sebagai seorang wali, beliau dikaruniai oleh Allah.
berbagai karâmah, sebagai contoh dalam peristiwa berikut ini. Suatu ketika Nyai Ramlah, adik Kiai Abd. Adzim, sedang membaca al-Qur’an di dalemnya(Sladi), tiba-tiba Kiai Abd. Adzim mendatanginya dan menyuruh untuk memperbaiki rumahnya. Sebab besok kata Kiai rumah itu akan roboh. Usai berkata begitu, lantas kiai menghilang. Pagi harinya, Nyai Ramlah penasaran akan kejadian yang menimpanya tadi malam.
Akhirnya, ia memutuskan pergi ke Sidogiri untuk menemui kakaknya. Setibanya di Sidogiri, Kiai Abd. Adzim langsung berkata pada adiknya, “Sudah kamu pulang saja, perbaiki rumahmu!! Ini uangnya.” Maka Nyai Ramlah kembali ke Sladi. Sampai di sana, ternyata rumahnya sudah roboh. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Kiai Abd. Adzim weruh sak durunge winarah (tahu sebelum sesuatu itu terjadi) dan bisa berpindah tempat dalam waktu sekejap.
Pada waktu yang lain, rombongan kiai dari Sukorejo, Situbondo sowan ke dalem Kiai Abd. Adzim. Anehnya, hanya Alm. KH. Ishaq (lebih dikenal dengan nama Kiai.
Tahri, Nyamplong Banyuputih Situbondo) yang dipeluk oleh Kiai Abd. Adzim, lainnya tidak diperlakukan demikian. Tidak ada yang mengerti akan kejanggalan tersebut. Puluhan tahun kemudian kejanggalan itu terjawab, ternyata putra Kiai Ishaq mendapatkan jodoh cicit Kiai Abd. Adzim.
Kuatkah Indonesia Merdeka?
Kiai Abd. Adzim selamat dari kekejaman Belanda, sebab beliau sering menghadapi Belanda dengan jalan diplomasi, bukan dengan kekerasan, serta lebih mengutamakan cara-cara lunak. Beliau tidak memimpin tentara secara langsung, beda halnya dengan Kiai Abd. Djalil secara tegas menentang Belanda dan memimpin pasukan. Serangan Belanda yang terjadi pada waktu itu tidak membuat Kiai Abd. Adzim takut dan khawatir. Ulah mereka tidak mempengaruhi terhadap aktivitas yang dijalaninya, baik yang menyangkut urusan pribadi atau yang berhubungan dengan santri (mengaji).
Sidogiri dijadikan sebagai markas para pejuang. Biasanya setelah salat Isya Kiai Abd. Djalil mengomando para gerilyawan untuk menyerbu markas-markas Belanda. Namun setelah Kiai Abd. Djalil wafat, markas pejuang dipindahkan ke daerah Merati Wonorejo, karena khawatir Kiai Abd. Adzim juga ikut terbunuh. Setelah markas dipindah ke sana, diketahui akan diserang Belanda, tentara pejuang lari terlebih dahulu. Akhirnya, desa itu diratakan seperti lapangan. Kata komandan pejuang, “Slamet Sidogiri. Kalau markas masih tetap di sana, bagaimana jadinya?”
Suatu ketika Belanda mengundang kiai-kiai, tapi tidak ada satu pun yang datang kecuali Kiai Abd. Adzim. Andaikan beliau tidak hadir, niscaya seluruh Kiai Pasuruan dibantai oleh Belanda. Beliau juga pernah dipenjara oleh Belanda sebagaimana ulama lainnya. Namun terjadi keanehan. Setelah Kiai Abd. Adzim dimasukkan penjara, tiba-tiba langit mendung sangat tebal dan hujan turun sangat deras, disertai angin yang sangat kencang yang mengakibatkan banyak bangunan rusak berantakan dan pepohonan tumbang. Lalu ada yang melapor pada serdadu Belanda, bahwa di antara ulama yang ditangkap, ada salah satu waliullah yang tidak bersalah. Setelah diselidiki, ternyata ulama itu adalah Kiai Abd. Adzim. Maka beliau dipulangkan ke Sidogiri. Seketika itu juga hujan menjadi reda dan tidak ada lagi angin. Dalam versi lain disebutkan, setelah beliau dipenjara di Pasuruan, rencananya beliau akan dipindahkan ke Kali sosok Surabaya, sebuah tempat tahanan yang besar saat itu. Ketika tiba giliran beliau dipanggil oleh serdadu Belanda, ”Kiai Abd. Adzim Sidogiri!”. Kiai keluar dari penjara sambil bilang, ”Kiai Abd. Adzim tidak ada, yang ada Abd. Adzim.” Belanda bilang, ”Bukan kamu, keluar!” Akhirnya, beliau dikeluarkan dari penjara dan disambut oleh KA. Sa’doellah dan keluarganya. Kata beliau pada keluarganya, “Enak de’ penjara iku. Dike-i leme’ lan banyu, iso sholat berjamaah neng kono. Kerasan aku (Hidup di penjara itu enak, diberi tikar dan air, di sana bisa salat berjamaah. Aku kerasan).”
Kiai Abd. Adzim pernah ditahan di Gading, Kraton, Pasuruan yang menjadi markas Belanda pada waktu itu. Pada waktu masuk salat Duhur atau Asar, beliau hendak berwudu’. Namun ternyata tidak ada persediaan air, karena kran air di sana sudah tujuh tahun tidak berfungsi. Ajaibnya, ketika beliau memukul kran air itu tiga kali, kran yang sudah berkarat itu mengeluarkan air. Akhirnya, para tahanan dapat berwudu’ semua. Konon, di penjara setiap pagi beliau memberi pengajian pada para tahanan, sedangkan serdadu Belanda duduk mendengarkan.
Suatu saat pesawat-pesawat Belanda melayang-layang di atas Sidogiri dan Sidogiri menjadi terkepung, beliau malah keluar ketika yang lainnya sembunyi. Beliau bertanya, “Apa ini, kok awannya besar-besar?” padahal itu pesawat perang. Anehnya, Belanda tidak menembaki beliau. Tentu saja pasukan Kiai Abd. Djalil panik saat melihat Kiai Abd. Adzim keluar. Di antara mereka ada yang berkata, “Ditarik saja Kiai, biar bersembunyi!” Malah ada yang berteriak, “Kiai, cepat sembunyi, nyawa Kiai dalam bahaya!” Tapi Kiai Abd. Adzim tetap saja di luar. Beliau malah bertanya lagi, “Ada apa ini, kok banyak orang?” Lalu KA. Sa’doellah memberi tahu beliau, “Sekarang kita sedang perang melawan Belanda, tapi Indonesia sudah merdeka.” Lalu Kiai Abd. Adzim berkata, “Sa’doellah, kuat tah wong jowo merdeko? (Sa’doellah, apakah kuat orang Jawa itu merdeka?).”Para pengurus dan orang-orang yang ada di situ terkesima mendengar kata-kata beliau.
Ternyata, perkataaan beliau terbukti pada saat ini. Sekalipun sudah merdeka, Indonesia tidak bisa mengisi kemerdekaannya sebagai negara berdaulat. Saat ini Indonesia masih ‘dijajah’, walaupun bukan penjajahan fisik, tapi penjajahan mental dan moral. Indonesia saat ini masih terus terkungkung di bawah kekuasaan negara asing. Ini semua menjadi bukti bahwa kemerdekaan Indonesia masih nisbi, sesuai dengan apa yang diisyaratkan beliau pada setengah abad yang silam.
Lanjut ke Bagian Ke III: KH. Abdul Adzim bin Oerip (Bagian III)
[…] Lanjut ke Bagian ke II: KH. Abdul Adzim bin Oerip (Bagian II) […]