Masyayikh SidogiriNon-Katagori

KH. Sa’dulloh Nawawie (Bagian I)

KH. Sa’dulloh Nawawie (Bagian I)
KH. Sa’dulloh Nawawie (Bagian I)
KH. Sa’dulloh Nawawie (Bagian I)
KH. Sa’dulloh Nawawie waktu muda

Ulama Intelektual Pembela Revolusi Kemerdekaan

Putra Pendiri NU yang Kutu Buku 

Sejarah dilaksanakan oleh banyak orang. Namun, hanya segelintir manusia yang dapat tampil, karena mereka lahir pada saat yang tepat dan mampu menafsirkannya”. Demikian kata wartawati Oriana Fallaci dalam pengantar bukunya yang terkenal, Interview with Histori. KA Sa’doellah Nawawie boleh jadi termasuk salah satu orang yang digambarkan Fallaci itu. Putra salah satu pendiri NU KH. Nawawie bin Noerhasan ini adalah salah satu orang yang dapat tampil ke pentas sejarah Republik Indonesia, sehingga dapat mewujudkan kemerdekaan bangsa dari agresi sang imperialis Belanda.  

Sekelumit Silsilah dan Masa Kecil 

Kiai Sa’doellah lahir di Sidogiri (?) pada tahun 1922 M. Beliau terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Nawawie bin Noerhasan dan Nyai Asyfi’ah yang sering disebut Nyai Gondang. Kakaknya yang seayah dan seibu adalah KH. Siradjul Millah-Waddin, sedangkan adiknya KH. Hasani dan seorang perempuan yang meninggal pada usia 4 (empat) tahun.    

Kiai Nawawie, abahnya, adalah ulama besar yang menjadi salah seorang pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri ini menyetujui pendirian NU dengan syarat tidak mengurus uang (baca: tidak mengambil iuran pada anggota).  

Beliau juga ikut andil dalam pembuatan lambang organisasi Islam terbesar di dunia ini. Yakni, setelah para ulama sepakat mendirikan NU, hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyuruh KH. Ridlwan Surabaya untuk membuat lambang NU. Lewat istikharah, Kiai Ridlwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Hasil itu segera ia laporkan pada Kiai Hasyim. Kata Kiai Hasyim, “Gambar itu sudah bagus. Tapi saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawie di Sidogiri Pasuruan untuk meminta petunjuk lebih lanjut”.  

Kiai Ridlwan segera menemui dan mengutarakan maksudnya pada Kiai Nawawie yang di kalangan ulama saat itu dikenal sebagai kiai yang waskita (mukasyafah). Beliau menjawab dalam bahasa Jawa, ”Saya setuju dengan gambar bumi dan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya. Dan juga ditambah tulisan ayat, ‘Wa’tashimu bihablillahi jami’an wa la tafarraqu” (QS. Ali Imron:103).  

Kiai Nawawie juga meminta agar tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat agak longgar. Setelah lambang itu disahkan, Kiai Nawawie di hadapan kiai-kiai berkata, ”Selagi (filosofi) tali yang mengikat bumi itu masih kuat, maka sampai kiamat NU tidak akan habis dan selalu ada”. (Disampaikan oleh Gus Ishom Hadzik, Jombang, dalam lokakarya kebangsaan untuk komunitas pesantren di Surabaya)

Kembali ke KA Sa’doellah, dibandingkan saudara-saudaranya, sejak kecil Kiai Sa’doellah bisa dibilang aneh. Saat kecil, beliau sangat dekat pada abahnya, Kiai Nawawie. Saking dekatnya, apa saja yang dilakukan abahnya beliau tiru. Dan setiap kali abahnya bepergian, beliau mengikutinya dari belakang. Selain itu, Kiai Nawawie memberi perhatian penuh padanya. 

Sejak kecil sudah tercermin bahwa beliau kelak akan menjadi orang besar dan ahli berdiplomasi. Suatu ketika ada seorang Arab bertamu pada Kiai Nawawie. Saat itu Sa’doellah kecil duduk di samping abahnya tanpa memakai busana apapun. Lantas orang Arab itu berkata,” Lho kelihatan pusarnya, aurat itu. Haram, haram!”. Dibilang begitu, Sa’doellah kecil ‘nyelonong masuk ke dalam dan kembali dengan memakai sabuk untuk menutupi pusarnya, tapi tetap tidak memakai baju.   

Pendidikan beliau dimulai dari bangku madrasah yang bertempat di Gondang, desa asal ibundanya. Namun sekolahnya hanya sebentar, lalu pindah ke Sidogiri. Selanjutnya beliau tidak pernah sekolah lagi. Kiai Sa’doellah juga tidak tampak mengaji pada siapapun. Tapi sebetulnya, beliau turut mengikuti pengajian KH. Cholil Nawawie, kakak tirinya, yang diadakan di masjid Sidogiri. Caranya dengan memakai salon yang disambungkan ke dalem.      

Status putra kiai rupanya tidak menjadi penghambat keluwesan dan kesupelannya dalam bergaul dengan teman-teman sebaya. Sikapnya pada santri sangat akrab dan menghargai, sehingga menghilangkan kesan sakral di antara kaum santri. Tak jarang beliau bermain ke kamar-kamar santri untuk sekadar bersenda-gurau. Dan beliau sering mengajak mayoran (makan bersama) dengan santri, dan biasanya memesan intip (kerak nasi) pada santri. 

Kegemaran Beliau Sehari-hari  

Sejak muda KA. Sa’doellah Nawawie sangat menggemari menembak dengan senapan angin. Ketika duduk santai di depan kamar khususnya—yang terletak di bawah pohon mangga di timur dalem KH. Abd. Alim Abd. Djalil sekarang—beliau menembak buah mangga di atasnya, namun yang menjadi sasaran adalah tangkainya. Dan jarang bidikannya meleset.  

Dalam kesehariannya, kalau tidak ada acara, beliau mengisi waktu dengan mengetik dan membaca di dalemnya. Membaca media massa memang sangat digemarinya sejak kecil. Sedangkan buku-buku yang dibaca kebanyakan yang membahas tentang kenegaraan. Sehingga sebagian besar buku-bukunya yang diwakafkan ke Perpustakaan Sidogiri berupa buku-buku kenegaraan dan perjuangan.  

Selain itu beliau sangat peduli dan menggemari olahraga, utamanya sepakbola, walaupun tidak main langsung. Sehingga pada masa itu di Sidogiri dibentuk satu tim sepakbola, dan pernah merebut juara I dalam suatu pertandingan yang diselenggarakan Ansor di stadion Pasuruan.  

Di pagi hari Kiai Sa’doellah kadang berolahraga lari-lari kecil, sehingga beliau berbadan tegap dan sehat. Selain itu beliau juga senang olahraga bulutangkis. Dari senangnya, sampai-sampai Winarni—pebulutangkis perempuan asal Pelinggisan Susukanrejo Pasuruan, yang menjadi juara se-Asia di Thomas Cup sebagai utusan Indonesia saat itu—beliau ajak bertanding di muka madrasah lama. namun pertandingan itu gagal karena hujan lebat. Ternyata hujan itu berkat doa KH. Abd. Adzim bin Oerip, kakak iparnya, yang melemparkan daun Cermai ke atas. Mendengar itu, Kiai Sa’doellah hanya tersenyum. 

Kiai Sa’doellah juga termasuk seniman. Sering karangannya digubah dalam bentuk kata-kata dan dilukiskan. Dimasa perjuangan, beliau sering menggubah lagu perjuangan berbahasa Indonesia. Beliau juga pernah menggambar dan menulis nama putranya, Mas d. Nawawie Sa’doellah, lengkap dengan tanggal lahir dan nama bidannya dalam bentuk segi tiga. 

Satu contoh lagi adalah ide pembuatan lambang santri Sidogiri yang murni dari Kiai Sa’doellah. Lambang ini digambarkan oleh H Utsman Anis. H. Utsman diperintah menggambarnya untuk melahirkan apa yang diangan angankan beliau. Maka H. Ustman membuat tiga gambar, kemudian diajukan. Lalu Kiai Sa’doellah memberi masukan dengan sebuah pertanyaan,”Ya’ apa kalau begini, Ya’ apa kalau begini”. Akhirnya apa yang beliau ungkapkan digambar lagi, sampai diterima dalam bentuk seperti sekarang. 

“Berbakti pada Ibu Tiada Bandingannya”  

“Surga berada di telapak kaki ibu”. Itulah arti sebuah hadis yang menggambarkan betapa agungnya kedudukan seorang ibu. Hadis ini rupanya menancap kuat di hati KA. Sa’doellah Nawawie, sehingga betul-betul diaplikasikan dalam bentuk nyata. Terbukti, beliau menggendong ibundanya, Nyai Asyfi’ah, ketika akan ke jeding dan lainnya. Padahal beliau sendiri sudah sepuh sekitar umur 50-an.  

Selain itu, Nyai kebetulan tidak mengetahui kenaikan nominal uang dan kenaikan harga barang. Kalau menyuruh khadam membeli sesuatu, beliau hanya memberi uang satu cidua ci (nominal terendah saat itu). Namun Kiai Sa’doellah tidak menegurnya, beliau hanya memanggil si khadam dan menambah uangnya. Pesan Kiai Sa’doellah pada santri sebelum pulangan, “Santri-santri ketika mau kembali ke pesantren diharapkan mencuci kaki ibunya kemudian diminum”.  

Pernah suatu ketika, Kiai Sa’doellah mengadakan rapat dengan seluruh Pengurus dan guru yang bertempat di gedung madrasah (Daerah K sekarang). Di tengah-tengah pidato beliau menangis, karena terbayang akan ibunya yang sudah meninggal. Dengan lirih beliau berkata, ”Kamu (baca: kalian) jangan berani berani pada ibumu. Surga itu ada di telapak kaki ibu”.

Pernah ada santri yang bernama Ra ‘Datsir (sekarang KH. Mudatsir) dari Pamekasan yang menjabat ketua II pada masa itu, minta izin pulang guna menyelenggarakan Haul abahnya. Dan dia mengajak KH. Bahrullah Aziz dari Jember yang menjabat Bendahara Umum. Setelah diizini, mereka pulang. Setelah itu, ternyata keduanya terlambat kembali ke pondok dari ketentuan yang diizinkan. 

Setelah sampai di pondok, keduanya tidak langsung laporan, padahal sebelumnya Kiai Sa’doellah telah menanyakan keberadaan keduanya. Tak selang begitu lama, Ra ‘Datsir dipanggil ke dalem. Setelah sampai, dia langsung dimarahi oleh Kiai. Ketika itu beliau sangat marah, sampai mukanya merah padam dan menggebrak meja. ”Kenapa kamu terlambat?! Kamu kan punya tanggung jawab!! Kamu kan Wali kelas dan Bahrullah itu kan Bendahara, bagaimana dibawa sampai lama-lama begini!!” kata beliau.  

Ra Datsir pun mengutarakan halangannya, kenapa ia terlambat. Yakni karena oleh ibunya masih belum diizinkan kembali sebelum menyelesaikan sesuatu di rumah. Sebelum Ra Datsir meneruskan ucapannya, Kiai Sa’doellah langsung menangis tersedu-sedu sambil berkata, ”Sudah saya memaafkan, kalau itu karena ibu, kamu terlambat. Saya memaafkan. Tidak ada bandingannya orang berbakti pada ibu”. Beliau terus menangis sampai lama. Semua itu membuktikan bahwa Kiai Sa’doellah sangat tinggi pengabdiannya pada kedua orang tua, terutama pada ibu. 

Sikap terhadap Keluarga 

Hubungan dengan keluarga Sidogiri yang lain sangat harmonis dan bagus sekali, sampai-sampai berbicara pada semua saudaranya beliau memakai bahasa yang sopan (boso, Jawa).  

Di masa remajanya, sikap beliau pada saudara-saudaranya sangat akrab. Sering beliau berboncengan dengan KH. Cholil, kakaknya, dengan menaiki sepeda ontel. Dan sering beliau tidur di kasur kakaknya tersebut. Pada KH. Noerhasan Nawawie, kakak tertuanya, juga sangat akrab. Suatu ketika saat Kiai Noerhasan tidur-tiduran, beliau tindih dari atas. Padahal Kiai Noerhasan berbadan kecil dan Kiai Sa’doellah berbadan gemuk. Kontan Kiai Noerhasan tidak bisa bergerak. 

Namun anehnya, setelah berkeluarga dan punya anak, beliau bisa merubah sikapnya 180 derajat. Yang pada awalnya beliau sering bersenda gurau dengan kakak-kakaknya, seketika langsung boso pada semua keluarga yang dianggap lebih tua.

Sebelumnya, kalau bersalaman pada kakak-kakaknya biasa saja, seketika berubah mencium tangan. Pada awalnya, kejadian ini dianggap gurauan oleh Kiai Noerhasan. Kata beliau ketika dibosoi oleh Kiai Sa’doellah,”He, opo ae koen ‘Lo!”. “Mboten Kang ‘Mat,” jawab Kiai Sa’doellah. Keheranan Kiai Noerhasan pun diungkapkan pada temannya.  

Kiai Sa’doellah adalah salah satu Panca Warga (Lima putra KH. Nawawie bin Noerhasan) yang merangkul semua kalangan keluarga, sehingga pada masanya semua keluarga dapat bersatu untuk membangun kesuksesan PPS. Beliau sangat perhatian terhadap anggota Keluarga Besar PPS yang lain, sampai menggratiskan I’anah Mashlahah (iuran tahunan pondok) dan iuran sekolah pada putra-putra mereka, dan tidak menarik uang listrik yang dialirkan lewat mesin Diesel ketika itu. 

Pada mula berdirinya koperasi yang bertempat di Daerah Daerah, beliau menyuruh anggota Keluarga untuk mengisi jajan di warung-warung koperasi, agar ada pemasukan pada Keluarga dalam hal nafkah hidup. ”Masak Keluarga akan jual tempe di pasar? Tidak pantas,” ungkap beliau. Ketika Koperasi sudah menjadi satu, Kiai Sa’doellah juga meminta pada Keluarga untuk menanam saham di koperasi. Sehingga sampai sekarang anggota Keluarga Besar PPS masih punya saham di koperasi PPS. 

Kiai Sa’doellah menikah dengan Nyai Sa’diyah binti KH. Syamsul Arifin dari Bondowoso tahun 1953 (?) M. Dua hari setelah pernikahannya, Kiai Sa’doellah diberi seekor burung Kakak Tua oleh temannya. Setiap melihat beliau, burung ini mengangkat satu kakinya dan memekikkan kata, “Merdeka!”. Sekitar 9 tahun kemudian baru beliau dikaruniai seorang putri, yakni Ning Dewi Hikmatus Sa’diyah (istri Mas Muzammil Ma’shum Probolinggo). Lalu 5 tahun kemudian lahirlah Mas d. Nawawy Sa’doellah (beristri Ning Hilmiyah binti H. Yahya Pasuruan).  

Sebagai kepala rumah tangga, beliau sangat mengayomi dan sayang terhadap keluarganya, utamanya pada putra-putri beliau. Sering putra beliau, ketika masih kecil, dibawa rapat dengan Pengurus. 

Pernah di suatu rapat, sambil menggendong putranya itu, beliau bercerita,”Nawawy iki mandar dadi wong ae mbesok. Bien sek cili’e Nawawy iki ono Sidogiri nangis tok. Tak gowo mule nang Bondowoso, sik nangis ae. Embuh pirang dino ono ndik Bondowoso nangis ae. Akhire tak gowo muleh maneh nang Sidogiri, sik nangis ae. Dadi aku duwe samurai, tak dudukno pedang (iku) bek aku, ‘opo koen ‘Wy, kok nangis tok ‘Wy, enjuk iki tah?’”. Maka sejak saat itu, putranya tidak menangis lagi. 

Bersambung ke KH. Sadoellah Nawawie (Bagian II)

Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri Jilid 1

Pesan Buku

Shares:
Show Comments (2)

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *