
Abdi Sejati Pendidikan Islam
Hari Jumat pagi 25 Syawal 1347 H / 06 April 1929 M pengasuh Pondok Pesantren sidogiri, KH. Nawawie bin Noerhasan, wafat dalam keadaan sujud ketika melaksanakan salat Dhuha. Sebagaimana tradisi dalam lingkungan pesantren, jika pengasuhnya wafat, maka yang mengganti adalah putranya. Sulitnya, saat itu putra-putra Kiai Nawawie masih kecil-kecil dan belum siap memangku pondok.
Untunglah, saat itu Kiai Nawawie sudah mempunyai dua orang menantu yang alim, yakni KH. Abd. Djalil dan KH. Abd. Adzim . Setelah melalui musyawarah keluarga, semuanya sepakat meminta KH. Abd. Djalil untuk menjadi pengasuh. Pada mulanya, beliau keberatan, dan minta kesediaan KH. Abd. Adzim , namun KH. Abd. Adzim juga menolak. Maka, walau dengan berat hati, KH. Abd. Djalil pun bersedia.
Pada tahun itu pula, KH. Abd. Djalil resmi menjadi pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri yang ke-9 dengan urut- urutan; 1. Kiai Aminullah, 2. Kiai Abu Dzarrin, 3. Kiai Mahalli, 4. Kiai Utsman, 5. Kiai Husain, 6. Kiai Noerhasan, 7. Kiai Bahar, 8. Kiai Nawawie, dan 9. KH. Abd. Djalil.
Masa-masa awal Kiai Cholil menjadi pengasuh, situasi masih keruh. Penjajah Belanda berusaha untuk menguasai belahan bumi Nusantara kembali. Namun, karena tekad untuk menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat sudah bulat, usaha itu mendapat perlawanan keras dari para patriot bangsa. Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu, Kiai atau ulama memegang peran penting dan strategis. Malah, merespon situasi genting tersebut, Jam’iyah NU mengeluarkan resolusi jihad, yang isinya secara tegas menolak imperialisme dan mewajibkan berjuang membela tanah air.
Pondok Pesantren Sidogiri juga tidak ikut ketinggalan. Pondok Pesantren Sidogiri menjadi tempat para gerilyawan mengatur strategi. Malah, adik Kiai Cholil, KA Sa’doellah Nawawie, secara resmi menjadi tentara sampai berpangkat letnan dan memimpin perang gerilya, walaupun pada akhirnya beliau memilih mengundurkan diri dan kembali ke pesantren.
Setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Pada tanggal 01 Dzu Qa’dah 1366 H atau 26 September 1947 M, KH. Abd. Djalil gugur sebagai syahid ketika melakukan perlawanan terhadap Belanda. Belanda kemudian menyeret tubuh beliau dan membuangnya ke sungai Sidogiri. Konon, tetesan darah Kiai Abd. Djalil membuat aliran air sungai Sidogiri saat itu menjadi harum semerbak. Kiai Abd. Djalil wafat setelah menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Sidogiri selama 19 tahun.
Rupanya, santri tidak siap ditinggal oleh Kiai Abd. Djalil dengan begitu mendadak. Lebih-Iebih setelah agresor Belanda sudah tahu bahwa Pondok Pesantren Sidogiri sebagai sarang gerilyawan. Suasana menjadi genting dan santri kalang kabut. Dalam suasana seperti itu, santri lebih dikonsentrasikan untuk berjuang melawan agresi Belanda.
Sepeninggal Kiai Abd. Djalil, Pondok Pesantren Sidogiri kembali kesulitan mencari pengganti beliau sebagai pengasuh. Semua putra Kiai Nawawie saling mengalah untuk mendahulukan yang lain. Kiai Noerhasan sebagai putra tertua mengatakan belum siap dan meminta agar Kiai Cholil yang menjadi pengasuh. Namun Kiai Cholil juga merasa berat. Alasannya, Kiai Noerhasan itu putra tertua dari Kiai Nawawie, maka ia lebih berhak menjadi pengasuh. Namun, Kiai Noerhasan dengan tawaduk menjawab, yang lebih berhak adalah Kiai Cholil, sebab Kiai Cholil saat itu sudah menempati dalem abahnya.
Maka, selama hampir dua tahun (1947-1949) Sidogiri mengalami kevakuman (fatrah). Fatrah dalam arti secara resmi tidak ada yang menjadi pengasuh. Tapi pada prakteknya, tidak. Sebab, hampir semua putra Kiai Nawawie muru’ (mengajar) kitab di biliknya masing-masing.
Adalah seorang alumni yang alim bernama KH. Birroel Alim (ayahanda Mas Muzakki), merasa terpanggil dengan keadaan Sidogiri. Didorong rasa tanggung jawab dan kecintaan pada almamaternya, Kiai Birroel Alim berusaha mengumpulkan semua alumni, khususnya di daerah Pasuruan. Dalam pertemuan itu, secara aklamasi alumni memohon kepada Kiai Cholil agar mau menjadi pengasuh. Karena permintaan itu begitu kuat, Kiai Cholil pun bersedia.
Maka, pada permulaan tahun 1949, Kiai Cholil resmi menjadi pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri yang ke-10, menggantikan KH. Abd. Djalil.
Ada yang Berkata: Kiai Cholil itu Wali sejak Kecil
Sekitar tahun 1925 M/1343H. Nyai Nadzifah, istri KH. Nawawie, melahirkan seorang putra yang kemudian diberi nama Muhammad Cholil. Nama itu adalah pemberian dari Syaikhona Cholil Bangkalan, seorang Kiai yang kesohor kewaliannya. Wa qila, saat itu Mbah Cholil mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi penggantinya.
Keistimewaan Kiai Cholil memang sudah tampak sejak kecil. Malah sebagian orang meyakini Kiai Cholil itu sudah menjadi wali sejak kecil. Banyak kisah-kisah menarik terkait dengan keistimewaannya ini.
Sehari sebelum Mbah Cholil Bangkalan wafat, Mas Cholil (panggilan akrab Kiai waktu kecil) berteriak-teriak, “Meduro kiamat, Meduro kiamat (Madura kiamat, Madura kiamat)”. Ucapan itu diteriakkan Mas Cholil berkali-kali, sehingga didengar oleh abahnya, Kiai Nawawie, yang waktu itu sedang mengajar di surau, “Ono opo, Lil (ada apa Lil)?” Kiai Nawawie bertanya.
“Meduro kiamat, Bah, (Madura Kiamat, Abah). “ ulang Mas Cholil.
Kiai Nawawie baru mengerti perkataan Mas Cholil pada keesokan harinya, ketika datang berita bahwa Mbah Cholil Bangkalan wafat. Innalillahi wa inna lillahi raji’un. Kita tahu, mangkatnya seorang ulama besar, sekelas Mbah Cholil
Bangkalan bisa disebut kiamat. Sebab, ulama adalah pilar dunia, yang menahan murka Allah untuk menurunkan adzab pada manusia.
Juga pernah dalam cuaca yang sangat panas, tiba-tiba Mas Cholil berkata pada abahnya, Kiai Nawawie, “Ba Aba, udan, Ba (hujan)”.
“Opo Lil, wong ketigo ngene, (Apa Lil, wong sekarang kemarau).” kata Kiai Nawawie.
“Udan Ba (Hujan, Abah),” ulang Mas Cholil. Tak lama kemudian turun hujan dengan deras. Wallâhu a‘lam.
Sebenarnya banyak cerita tentang keistimewaan Kiai Cholil yang tampak sejak kecil. Lepas dari valid dan tidaknya, adalah wajar jika Allah SWT memberikan keistimewaan kepada hamba-Nya yang terpilih. Seperti halnya keistimewaan yang Allah SWT berikan pada calon nabi-Nya, yang dikenal dengan istilah irhash.
Di kemudian hari, prediksi Mbah Cholil Bangkalan menjadi kenyataan. Sama dengan Mbah Cholil, Kiai Cholil Sidogiri juga menjadi kiai besar yang sangat disegani. Santrinya menyebar di seluruh pelosok tanah air, dan banyak di antaranya yang menjadi tokoh dan bisa berkiprah banyak dalam masyarakat.
Masa Belajar
Dalam menjalani masa-masa belajar, Kiai Cholil mengembara dari satu pondok ke pondok yang lain. Selain mengaji kepada Kiai Abd. Djalil, Kiai Cholil pernah ngaji di Pesantren Sarang, Jawa Tengah, yang saat itu diasuh oleh KH. Zubair (ayahanda KH. Maimum Zubair).
Saat Kiai Cholil mondok di sana, di samping mengaji, secara sembunyi-sembunyi beliau mengisi jeding Kiai Zubair. Selang beberapa lama, hal itu diketahui, Kiai Zubair berkata pada Kiai Cholil, “Mas sampeyan wangsul mawon, sa aken liane (Mas, Kamu pulang saja, kasihan yang lain).”
Bisa diartikan, Kiai Zubair menyuruh pulang Kiai Cholil, khawatir kalau-kalau ilmu Kiai Zubair ‘habis’ dan santri yang lain ‘tidak kebagian’. Di Pondok Sarang, Kiai Cholil mondok hanya kurang-Iebih 3 bulan.
Selepas dari Sarang, Kiai Cholil melanjutkan mengaji pada KH. Mahfudz Termas, dan KH. Masduki, Lasem, Jawa Tengah. Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Cholil mengaji pada dua ulama kenamaan tersebut.
Selang beberapa lama, Kiai Cholil berangkat nyantri ke Mekah. Di Tanah Suci Kiai Cholil mengaji kepada ulamaulama kenamaan, di antaranya pada Syekh Amin Quthby dan Syekh Hasan al-Yamany. Di Mekah, Kiai Cholil mondok selama 3 tahun (ada yang berkata hanya 7 bulan).
Sejauh ini, tidak ada kejelasan yang pasti dan runtut tentang pengembaraan belajar Kiai Cholil.
Kehidupan Keluarga
Tahun 1947 M/1366 H. Kiai Cholil menikah dengan Nyai Asma dari Podokaton Pasuruan. Setelah sekian tahun berkeluarga, beliau tidak dikarunia putra seorang pun. Akhirnya, Kiai Cholil menikah dengan seorang janda berputra satu, bernama Nyai Murti. Sebelumnya, Nyai Murti adalah istri KH. Ali Wafa, Tempurejo Jember. Istri Kiai yang kedua ini menetap di Warungdowo. Saat tiba waktu gilir, biasanya Kiai Cholil datang ke sana dengan naik dokar. Dari istri keduanya ini pun Kiai Cholil tidak dikarunia anak.
Dalam mu’asyaroh (berhubungan) dengan kedua istrinya, Kiai Cholil sangat berhati-hati dan berlaku adil, utamanya soal qosam (gilir). Pernah korek api Kiai Cholil tertinggal di dalem (yang ditempati Nyai Asma), namun Kiai tidak berani mengambil sendiri, dengan alasan hari itu bukan waktu gilirnya. Malah, saat beliau sudah sakit parah, Kiai Cholil tidak mau dibawa ke dalem istrinya yang pertama (Nyai Asma) sebab bukan tepat waktu gilirnya. Waktu hampir wafat pun Kiai Cholil menyempatkan diri untuk meminta maaf kepada istrinya, khawatir pernah berlaku tidak adil.
Soal kehati-hatiannya ini, Kiai Cholil pernah berkata pada seseorang, “Awakmu gelem dek akherat melaku medeng (Kamu mau di akhirat tubuhmu menjadi miring),” Ungkapan Kiai itu adalah ancaman bagi seorang suami yang tidak berbuat adil kepada istri-istrinya, seperti yang diterangkan dalam Hadis.
Peka Terhadap Problem Sosial Masyarakat
Di dalem Kiai Cholil ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satunya untuk persediaan, kalau-kalau masyarakat kampung membutuhkan. Ketika datang paceklik, biasanya masyarakat akan datang meminta bantuan kepada Kiai Cholil.
Satu waktu, panen gagal, sehingga mereka berduyun-duyun meminta bantuan, Dari banyaknya orang yang datang, lumbung persediaan yang biasanya untuk keperluan dalem juga dikeluarkan, namun tetap tidak mencukupi. Hal itu membuat Kiai Cholil menangis sedih, karena merasa tidak bisa membantu masyarakat dengan maksimal.
Seperti lazimnya menjelang hari raya, banyak orang berkeliling menjajakan dagangan dari rumah ke rumah. Setiap orang datang menawarkan barang, hampir pasti Kiai membelinya, dan untuk sementara waktu disimpan di dalem. Ketika hari raya tiba, semua barang itu dibagi-bagikan kepada tetangga sekitar.
Kiai Cholil terkenal sangat loman dan tidak membedabedakan orang yang datang bertamu, semuanya disambut hangat dan hormat. Lebih-Iebih bila yang bertamu dari kalangan Habaib, maka beliau akan betul-betul memuliakannya.
Wujud kepedulian Kiai Cholil juga bisa dilihat dari komitmennya untuk mendidik masyarakat. Secara rutin beliau memberikan pengajian kepada masyarakat kampung setiap hari Selasa. Kiai Cholil di setiap hari Ahad juga memberi pengajian kitab Bidayatul Hidayah kepada kepala desa dan aparatnya sekecamatan Kraton.
Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Jilid 1