Masyayikh SidogiriUnggulan

KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI (Bagian II)

KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI
KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI

Menikah dengan Orang Madura

Selain menikahi seorang syarifah, ketika berusia 48 tahun Kiai Bahar juga pernah memperistri Nyai Fatimah Jengkebuen Bangkalan, yang sebelumnya adalah istri KH Ma’ruf yang memiliki seorang putra, KH Abdul Hadi (sebelumnya bernama Ghozali). Namun dari Nyai Fatimah, Kiai Bahar tidak dikarunia seorang pun putra. Oleh karena itu, Kiai Bahar menganggap anak pada putra Nyai Fatimah itu.

Kiai Bahar memboyong Nyai Fatimah bersama putra tirinya ke Sidogiri. Kiai Bahar hidup bersama Nyai Fatimah dalam kurun waktu 6 atau 7 tahun. Setelah tinggal di Sidogiri, Nyai Fatimah kemudian pulang lagi ke Bangkalan karena Kiai Bahar wafat. Nyai Fatimah kemudian wafat sekitar tahun 1938 M.

Tentang dalem Kiai Bahar, pada awalnya beliau tinggal di dalem ayahnya, KH Noerhasan bin Noerkhotim. (yakni dalem KH Abd Alim di utara Surau H). Kemudian setelah menikah, beliau pindah ke rumah di selatan (dalem KH Abd Adzim bin Oerip, timur dalem KA Sa’doellah Nawawie). Rumah tersebut merupakan pemberian seseorang kepada Kiai Bahar.

Kiai Bahar tinggal di dalem selatan diperkuat oleh pernyataan KH Abd Adzim bin Oerip kepada KH Baqir, menantunya.”Iki dalemme Kiai Bahar, ‘Qir (Ini dalemnya Kiai Bahar, ‘Qir),” dawuh Kiai Abd Adzim kepada Kiai Baqir sambil menunjuk ke dalemnya, yang sekarang ditempati oleh Mas Ahmad bin Kiai Baqir.

Mengasuh Sejak Kecil

Pada pertengahan tahun 1800-an Masehi, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri (PPS) KH Noerhasan bin Noerkhotim berpulang ke Rahmatullah. Maka tongkat estafet kepengasuhan PPS dilanjutkan oleh putra pertama beliau, KH. Bahar bin Noerhasan. Uniknya, pada saat itu Kiai Bahar masih anak-anak. Beliau mengasuh PPS sampai berusia sepuh.

Dalam sejarah PPS sejak berdiri tahun 1718 atau 1745 M, Kiai Bahar-lah satu-satunya Pengasuh yang mulai mengasuh sejak berusia kanak-kanak dan belum balig. Saat itu usia beliau 12 tahun. Umur di mana seseorang secara psikologis dan kebiasaan belum menunjukkan kematangan sikap dan mental, tapi beliau mampu mengemban amanat yang agung tersebut dan sanggup mengajarkan bermacam-macam kitab pada santri. Karena itulah beliau disebut “Kiai Alit”, artinya: kiai yang mengasuh sejak kecil. Bisa dikatakan langka, atau bahkan hampir tidak ditemukan di selain Sidogiri, sebuah pesantren dipimpin oleh seorang kiai anak kecil.

Kiai Bahar adalah Pengasuh PPS ke-V, dengan urutan: (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, (3) KH Mahalli, (4) KH.Noerhasan bin Noerkhotim, dan (5) KH Bahar bin Noerhasan. Namun versi lain menyebutkan beliau Pengasuh yang ke-VIII, dengan urutan: (1) Sayid Sulaiman, (2) KH Aminullah, (3) KH Abu Dzarrin, (4) KH Mahalli, (5) KH Utsman, (6) KH Husain, (7) KH Noerhasan bin Noerkhotim, dan (8) KH Bahar bin Noerhasan.

Meski sudah menjadi seorang Pengasuh, kebiasaan bermain kelereng dan kemiri dengan teman-temannya tak hilang dari diri Kiai Bahar. Waktu senggangnya banyak beliau gunakan untuk bermain kelereng bersama teman-teman seusianya di depan rumah. Pada waktu bermain kelereng, pernah beliau kedatangan tamu seorang wali santri yang masih belum mengenalnya. Wali santri itu bertanya pada beliau, “Le, Pak Yaine ono, Le? (Nak, Pak Kiainya ada?)” Kiai Bahar pun tersenyum mendengar pertanyaan dari si tamu. “Monggo pinarak riyen (Silahkan masuk dahulu ke dalem),” jawab Kiai Bahar. Setelah itu, beliau masuk ke dalemnya dan berpakaian jubah, layaknya seorang kiai. Tamu yang menunggu kiai keluar dari dalem itu terperanjat melihat anak kecil yang ia tanyakan tadi berpakaian seorang kiai. Barulah setelah tahu bahwa yang dihadapinya adalah Pengasuh PPS, ia memohon maaf atas kekhilafannya tadi. Kiai Bahar yang santun pun memaklumi tamunya itu.

Pengajaran Kitab Kiai Bahar

Kiai Noerhasan bin Noerkhotim, ayah Kiai Bahar, adalah perintis pengajaran kitab-kitab besar di PPS. Sebagai penerus Kiai Noerhasan, Kiai Bahar juga meneruskan pengajaran kitab-kitab besar yang dirintis abahnya, seperti kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Shahîh Bukhârî, dan Shahîh Muslim. Beliau juga mengajarkan kitab Kailânî, Ajurrûmiyyah, dan Kafrâwî. Bahkan beliau sering membawa kitab Kafrâwî itu kalau bepergian. Beliau juga bersedia mengajarkan kitab apa saja yang diminta untuk diajarkan. Tempat pengajian Kiai Bahar adalah Surau H, sama seperti abahnya.

Kalau pada waktunya mengaji Kiai Bahar kebetulan sedang main kelereng, maka santrinya disuruh menunggu selesainya beliau main kelereng. “Durung mareh!” kata beliau. Setelah main kelereng, Kiai Bahar mandi, memakai sarung, dan membawa kitab Abahnya ke surau untuk memulai pengajian kitab. Kitab-kitab peninggalan Kiai Noerhasan, Abah Kiai Bahar, berukuran besar kira-kira 25 xm x 35 cm. Kitab-kitab kuno memang berukuran lebih besar daripada kitab zaman sekarang. Karena kitab abahnya berukuran besar, Kiai Bahar yang masih kecil tampak agak kesulitan membawanya ke surau. Sampai ada narasumber yang mengistilahkan, “Seakan akan lebih besar kitabnya daripada Kiai Bahar.”

Kendati Kiai Bahar masih anak-anak dan suka main kelereng, kalau mulang kitab, beliau serius, lancar, dan meyakinkan sebagaimana layaknya seorang kiai yang alim ‘allamah. Kalau sedang mulang kitab atau menjawab pertanyaan orang, Kiai Bahar yang berilmu ladunni memang seakan-akan mendapat ilham, sehingga mampu mengungkapkan ilmunya dengan lancar dan tepat.

Santri-Santri Kiai Bahar

Kiai Bahar istikamah dalam mengajarkan ilmu kepada santri-santrinya. Sehingga dengan keistikamahan beliau inilah banyak santrinya yang tercetak menjadi ulama yang memiliki nama yang harum di kalangan masyarakatnya masing-masing. Di antara santri Kiai Bahar yang terkenal di masyarakat adalah (1) KHR Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo, ayah KHR As’ad Syamsul Arifin), (2) KH Syamsul Arifin (Kauman Bondowoso, mertua KA Sa’doellah Nawawie Sidogiri), (3) KH Fathullah (Banjarsari Probolinggo, kakek Mas Sahal Sidogiri), dan (3) KH Zainal (Rembang Pasuruan). Setelah Kiai bahar wafat, mereka melanjutkan mengaji kepada Kiai Nawawie.

Santri Kiai Bahar selain dari Madura, juga ada yang dari daerah lain di Jawa Timur, ada pula yang dari Jawa Tengah. Namun kebanyakan santri Kiai Bahar adalah orang-orang dari suku Jawa. Kebetulan mereka sulit diatur, sulit dikendalikan, dan mudah lupa terhadap pelajaran yang telah beliau sampaikan. Berbeda dengan santri Kiai Nawawie yang kebanyakan dari Madura, mereka terkenal sangat patuh, taat, dan tidak mudah lupa, meskipun sudah lama. Sampai-sampai Kiai Bahar pernah dawuh, “Aku duwe santri rollas, ijol ambek santrine Nawawie siji, santri Madura, gellem aku (Santri saya 12 orang ditukar dengan santrinya Nawawie satu, saya mau).” Mungkin maksud beliau, santri yang mengaji kepada Kiai Nawawie.

Diperkirakan jumlah santri saat itu tidak sampai ratusan, mereka mondok hanya untuk menambah ilmu dan barakah, bukan mencari ilmu. Sebab mereka berangkat tidak dari nol. Sebelum mondok ke Sidogiri, mereka telah memiliki bekal ilmu yang cukup.

Awal Mengasuh Tak Berpuasa Ramadhan

Sebagaimana Kiai Noerhasan, Kiai Bahar juga mengisi pengajian di surau peninggalan ayahandanya itu (sekarang surau Daerah H) dengan sistem bandongan, sebelum akhirnya terbentuk sistem klasikal seperti sekarang. Dalam bulan Ramadhan pun Kiai Bahar meramaikan PPS dengan membacakan kitab kepada santrinya. Di bulan Ramadhan, beliau tetap aktif memberi pengajian kepada para santri yang tidak pulang.

Pada awal-awal menjadi Pengasuh, sambil mengajar beliau menghisap rokok, maklum waktu itu beliau belum balig atau belum terkena khithab taklif syar’i untuk berpuasa. ”Awakmu ndak oleh melo’ aku, aku durung balig, aku dorong kewajiban poso! (Kamu jangan meniru saya tidak berpuasa. Kalau saya, belum balig, jadi tidak wajib puasa!)” tegas beliau kepada semua santrinya kala itu. Ungkapan ini menunjukkan kealiman beliau, yang memahami bahwa dirinya belum wajib puasa.

Khûmul dan Ramah dalam Bermasyarakat

Tidak banyak dijelaskan akan kedekatan beliau dengan masyarakat di lingkungannya. Namun jika melihat kedekatannya dengan teman-teman sebayanya, dapat disimpulkan beliau juga dekat dengan masyarakat. Kebiasaan beliau bermain kelereng bersama teman-temannya menjadikannya sebagai sosok yang terbuka dan tak pernah merasa gengsi dengan nama besar yang disandang ayahnya, Kiai Noerhasan. Meski demikian, Kiai Bahar juga dikenal khumul (tidak suka menampakkan diri sebagai seorang yang bermartabat tinggi). Beliau lebih suka berkehidupan dan berpenampilan apa adanya. Hal itulah yang membuatnya tidak banyak dikenal sebagai kiai oleh masyarakat dan kebanyakan wali santrinya dalam tatap muka pertama. Apalagi orang yang tidak memiliki hubungan dengan beliau.

Pernah suatu waktu beliau pulang dari perjalanannya ke Sidogiri dengan naik dokar. Kebetulan di dokar itu ada seorang tamu yang hendak ke Sidogiri untuk sowan kepada Kiai Bahar, karena ingin menanyakan suatu permasalahan. Namun, tamu tersebut tidak tahu kalau yang duduk di sampingnya adalah kiai yang ia maksud, karena menurutnya orang di sebelahnya tidak potongan seorang kiai. Dan Kiai Bahar pun tidak mengaku bahwa beliaulah kiai Sidogiri itu. Ketika itu, penumpang yang duduk bersebelahan dengan Kiai Bahar bertanya kepada beliau tentang Kiai Bahar. Beliau pun tersenyum dan menjawabnya dengan ramah.

Akan tetapi, menurut riwayat lain beliau tidak terlalu dekat dengan masyarakat sekitar. Karena kesibukannya sebagai seorang Pengasuh membuat konsentrasinya tercurahkan penuh untuk mendidik santri-santrinya. Hubungan Kiai Bahar dengan masyarakat dilakukan hanya sekadarnya saja. Kebiasaan orang-orang terdahulu jika ingin mendatangkan seorang ulama, persiapannya dilakukan satu tahun sebelum acara.

Namun demikian beliau selalu menghadiri undangan masyarakanya tanpa pilih kasih. Dalam acara kecil-kecilan sekalipun beliau selalu menghadirinya tanpa rasa keberatan. Baginya kedatangannya ke rumah shâhibul-hâjah meski hanya sekadar duduk-duduk sudah merupakan hal yang sangat besar pahalanya karena telah membahagiakan orang lain.

Dalam menghadapi orang lain, Kiai Bahar sangat ramah dan sabar. Ketika ada kemungkaran di masyarakat sekitar, Kiai Bahar tidak langsung menegur mereka dengan keras. Dahulu di lapangan desa Sidogiri sering ada acara seperti ludruk, jaran kepang (kuda lumping) dan lain sebagainya. Beliau tidak senang acara-acara seperti itu, sehingga beliau pergi ke rumah istri pertamanya di Surabaya, untuk menghindari kemungkaran tersebut. Kiai Bahar tidak bermaksud membiarkan kemungkaran terjadi di dekatnya, namun ini adalah wujud penolakan beliau agar masyarakat mengetahui bahwa beliau sangat tidak suka dengan apa yang terjadi.

Sosok KH. Bahar

KH Bahar bin Noerhasan adalah putra tertua KH Noerhasan bin Noerkhotim. Beliau berpostur tinggi-besar dan elok rupawan, bahkan yang paling tampan di antara saudara-saudaranya. Tak heran jika beliau mendapat istri orang Arab keturunan Habaib (baca: syarifah). Kiai Bahar juga merupakan sosok ulama yang istikamah dalam mengajar, sehingga saat putranya menikah—yang kemudian meninggal saat itu juga— beliau tetap aktif mengajar santri di surau.

Berhati Bersih dan Berilmu Ladunni

Selain tampan, Kiai Bahar berilmu ladunni. Ilmu ladunni adalah ilmu yang datang dari sisi Allah secara langsung. Imam al-Ghazali dalam ar-Risâlah al-Ladunniyyah menyatakan, bahwa ilmu manusia dapat diperoleh dengan dua cara. Pertama, pelajaran dari manusia. Dan kedua, pelajaran dari Tuhan. Adapun cara yang pertama, seperti yang sudah dimaklumi, yaitu dengan belajar. Sedangkan cara yang kedua—yaitu pengajaran dari dari Tuhan—ada dua jalan: (1) pemberian wahyu, atau (2) secara ilham. Kemudian, ilmu yang diperoleh dari wahyu dinamakan ilmu nabawi, sedangkan ilmu yang diperoleh dari ilham dinamakan ilmu ladunni.

Imam al-Ghazali juga menyatakan, ilmu ladunni adalah ilmu yang pencapaiannya tanpa ada perantara antara jiwa seseorang dengan Allah SWT. Ia seperti cahaya dari lampu gaib yang jatuh ke dalam hati yang bening, kosong, dan halus. Wahyu adalah perhiasan para nabi (baca: rasul), sedangkan ilham adalah perhiasan para wali. Ilmu wahyu itu hanya dikhususkan kepada para rasul, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Adam AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Muhammad AS, serta para rasul lainnya. Sedangkan ilmu ladunni adalah untuk golongan nabi dan wali, sebagaimana halnya ilmu ladunni Nabi Khidir AS. Dalam al-Qur’an dijelaskan, “…dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (ladunni).” (QS al-Kahfi [18]: 65).

Selanjutnya Imam al-Ghazali menyatakan, orang-orang yang telah sampai pada martabat ilmu ladunni tidak butuh banyak usaha untuk menghasilkan ilmu dan tidak pula menemukan kesulitan belajar. Karena itu, meskipun mereka belajar sedikit, akan mendapatkan pengertian yang banyak, sedikit kelelahan dan istirahat yang panjang.

Sebagaimana Imam al-Ghazali, beberapa narasumber mengatakan ilmu itu memang ada dua: (1) ilmu ladunni, (2) ilmu kasbi. Perbedaan antara ilmu ladunni dan ilmu kasbi adalah: kalau ladunni, gurunya langsung Allah SWT, orang yang mendapatkannya hatinya harus bersih, menjauhi sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, dan juga melakukan mujahadah batiniyyah (usaha batin). Sedangkan ilmu kasbi, harus dicari dengan cara sekolah dan mujâhadah lahiriah (usaha zhahir).

Tak sembarang orang memiliki ilmu ladunni ini, hanya hamba-Nya yang tertentu saja yang dapat memilikinya. Selain harus berhati bersih, kebanyakan yang memilikinya adalah keturunan para wali dan ulama. Ada juga yang mengatakan, ilmu ladunni itu bisa diperoleh dengan wiridan. Untuk Kiai Bahar, beliau mendapatkan ilmu ladunni setelah berguru kepada Kiai Cholil Bangkalan, seorang wali besar. Tampaknya, Kiai Cholil telah membantu membukakan pintu ilmu ladunni untuk Kiai Bahar dengan berbagai perintah yang tampak mustahil dilakukan. Tetapi Kiai Bahar yang masih kecil mampu melaksanakan perintah-perintah dari gurunya, karena memiliki hati yang bersih, karamah, serta derajat wali sebagaimana gurunya.

Figur ‘Âlim ‘Allâmah

Kealiman Kiai Bahar sangat terasa oleh orang-orang yang mengenalnya, bahkan juga oleh orang yang cuma mendengar namanya. Ceplas-ceplos, begitulah gaya Kiai Bahar saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya, seraya menyebutkan nama kitab, jilid, halaman, dll. Setiap disodori suatu permasalahan, dengan mudah beliau menjawabnya. Jika merasa kesulitan, beliau menengadahkan wajahnya ke langit, seperti beliau melihat jawabannya terpampang di sana, atau ada yang membisiki beliau, baru setelah itu beliau menjawabnya. Kendati demikian, beliau tidak suka menyombongkan diri.

Ada yang mengatakan, kealiman Kiai Bahar sudah tingkatan mushannif (pengarang kitab). Cara beliau dalam memahami kitab memang dikenal sangat mendalam. Sehingga banyak ulama waktu itu yang menyarankan beliau agar menyarahi sebuah kitab, tapi beliau menolaknya.

Bahkan beliau pernah menegur kitab karangan guru adiknya (guru Kiai Nawawie). Menurut cerita, Kiai Nawawie bermaksud berguru pada Syekh Mahfud Termas dari Indonesia yang menjadi ulama besar di tanah haram. Sebelum berangkat ke Makkah, Kiai Nawawie meminjam kitab at-Termasi kepada kakaknya (Kiai Bahar) untuk mengaji langsung pada muallif (pengarang)-nya sendiri, yakni Syekh Mahfud at-Termasi. Di kitab milik Kiai Bahar itu terdapat banyak sekali coretan bergaris-garis. Setelah sampai di Makkah, kitab yang banyak coretannya tersebut diketahui oleh Syekh Mahfud, sang pengarang kitab.

“Ini kok ada coret-coretannya?” tanya Syekh Mahfud. “Saya tidak mengerti, ini kitab kakak saya. Kata kakak saya, mestinya ini tidak perlu. Yang perlu adalah yang ini,” jawab Kiai Nawawie sambil menunjukkan coretan-coretan dari kakaknya itu. Syekh Mahfudz kemudian menimpali, “Seperti apa sih kakakmu itu? Memang ini yang saya tidak mengerti,” puji Syekh Mahfudz mengakui kealiman kakak muridnya itu.

Ketika berada di Makkah, Kiai Nawawi pernah diberi pertanyaan oleh gurunya untuk dibawa ke Indonesia, karena sang guru ingin tahu bagaimana cara para ulama Indonesia memutuskannya. Kiai Bahar dan Kiai Nawawie ikut serta memutuskan permasalahan tersebut. Setelah diputuskan, Kiai Nawawie memberikan hasil keputusannya kepada sang guru. Dari keputusan yang ada, ternyata yang paling bagus adalah keputusan milik Kiai Bahar. “Aku ingin tahu orang ini. Yang ini, aku ingin tahu orangnya,” ungkap guru Kiai Nawawie. Kemudian Kiai Bahar diundang ke Makkah oleh guru Kiai Nawawi untuk diberi hadiah atau penghargaan, sebagai ungkapan terima kasih serta kekagumannya pada Kiai Bahar. Di samping itu, biaya transportasinya juga ditanggung sang guru.

Kiai Nawawie, adik kandung beliau pun suatu saat pernah memuji kealiman kakaknya itu. ”Kakang riyah tak pateh ngajian, tapeh kala beih engkok! (Kakak itu jarang mengaji, tapi saya masih saja kalah),” ungkap beliau sembari mengeluhkan perihal dirinya. Selain mampu memahami dan mengajarkan berbagai kitab yang tidak pernah dipelajarinya, juga mampu melihat kekurangan kitab karangan ulama lain, Kiai Bahar juga ahli membuat nazham. Dari keahlian ini, diceritakan bahwa Kiai bahar telah meringkas kitab Mauhibah Dzil-Fadhal karya Syekh Mahfudz Termas dalam bentuk nazham. Tetapi sayang, nazham tersebut tidak sampai dicetak.

Melihat kealiman Kiai Bahar tersebut, pantaslah bila beliau disebut al-‘âlim al-‘allâmah (ulama yang sangat alim). Dari alimnya, Kiai Cholil pernah menolak orang Jawa yang ingin berguru pada beliau, dan orang tersebut malah disuruh berguru pada Kiai Bahar. Saat itu Kiai Cholil berkata, “Tidak usah mondok ke sini, mondok di Jawa saja, ke Kiai Bahar Sidogiri!”

Kiai Bahar, Kiai Dahlan, dan Kiai Nawawie

Putra-putra Kiai Noerhasan—yakni KH Bahar, KH. Dahlan, dan KH Nawawie—sangat terkenal dengan kealimannya masing-masing, yang diperoleh lewat usaha dan kerja keras menyelami samudera ilmu yang luas tanpa batas. Namun di antara mereka, hanya Kiai Bahar yang mendapatkan ilmu tanpa usaha yang begitu keras. Kiai Bahar mendapat ilmu ladunni ketika mondok kepada Kiai Cholil Bangkalan. Sebagaimana Kiai Bahar, kedua adiknya, Kiai Dahlan dan Kiai Nawawie, juga mondok di pesantren Kiai Cholil.

Kiai Dahlan orangnya senang merantau. Dan setelah menikah, beliau pindah dari Sidogiri ke Sukunsari Kebonagung Pasuruan, serta mendirikan pesantren di sana. Pada waktu itu, santri Kiai Dahlan cukup banyak, seperti Sidogiri. Tapi Kiai Dahlan mengatakan, “Iyo gek kene akeh pisan koyok Sidogiri, tapi gek kene lek aku ndak onok, santrine ndak onok pisan. Lek Sidogiri, sa’terose onok santrine. (Iya, di sini banyak juga santrinya seperti Sidogiri. Tapi di sini, kalau saya sudah tidak ada, santrinya juga tidak ada. Kalau Sidogiri, terus ada santrinya).” Di antara santri Kiai Dahlan adalah kiai PP Genggong Probolinggo, yang pindah ke pesantren Kiai Dahlan setelah mondok kepada Kiai Cholil.

Sedangkan Kiai Nawawie, setelah mondok di Bangkalan, beliau dimondokkan ke Makkah oleh Kiai Bahar. Kemudian beliau menjadi Pengasuh PPS setelah Kiai Bahar meninggal dunia. Ada yang mengatakan, soal kealiman ada pada Kiai Bahar, sedangkan derajat ada pada Kiai Nawawie. Terbukti sewaktu mereka di Makkah, mereka berdua sama-sama mengisi pengajian, tetapi di sana yang lebih dikenal kealimannya adalah Kiai Bahar, sedangkan yang tampak karamahnya adalah Kiai Nawawie. Karena itu, pengajian yang diisi Kiai Nawawie lebih banyak pesertanya dibanding pengajian yang diasuh oleh Kiai Bahar.

Memang orang yang menghasilkan ilmu dengan jerih payah—seperti belajar, dsb—akan memiliki karamah tersendiri yang tidak dimiliki oleh mereka yang mendapatkan ilmu tanpa adanya usaha atau belajar (baca: mondok). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.kepada Siti Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, “Ajruki ‘alā qadri nashabiki (Pahalamu tergantung seberapa besar usahamu).”

Lanjut Bagian III: KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI

Pesan buku

Shares:
Show Comments (2)

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *