Masyayikh SidogiriUnggulan

Kiai Cholil Nawawie (Bagian II)

kiai Cholil Nawawi

Membesarkan Pesantren

Beberapa waktu sebelum Kiai Cholil wafat, ada sedikit kekawatiran; bagaimana nasib Sidogiri setelah ditinggal oleh beliau. Hal ini wajar mengingat perannya yang begitu sentral. Mengetahui kegelisahan santrinya, Kiai Cholil berusaha menenangkan, “Sidogiri iku kramat pancen krono tanahe, duduk krono aku, delo’n le’ aku gak ono’, Pondok Sidogiri tambah gede (Sidogiri keramat bukan karena saya, tapi karena tanahnya, lihat saja setelah saya tidak ada, Pondok Sidogiri akan bertambah 146  besar),” ungkap Kiai Cholil mencoba meyakinkan.  

Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Sidogiri mulai mengalami perkembangan pesat memang pada saat Kiai Cholil memangku sebagai pengasuh dan KA. Sa’doellah Nawawie sebagai ketua umumnya. Di bawah asuhannya, Pondok Pesantren Sidogiri menjadi salah satu pondok yang disegani dan namanya harum hampir ke seluruh pelosok negeri. pesonanya, menarik minat penuntut Ilmu berbondong bondong nyantri ke Sidogiri. Santri yang mulanya hanya ratusan, melonjak pesat mencapai kurang lebih tiga ribuan. 

Membludaknya santri, bukan membuat Kiai Cholil senang, Beliau malah susah. Sebab, berarti amanah yang diembannya semakin berat. Pernah almaghfurlah Kiai Hasani menyarankan agar jumlah santri dibatasi saja. Menurut Kiai Hasani yang terpenting bukan kuantitas tapi kualitas. Apabila jumlah santri dibatasi, maka pengaturannya lebih mudah, dan mendidiknya lebih optimal. 

Pada hakikatnya Kiai Cholil setuju dengan saran ini, sebab akan mengurangi bebannya. Namun hal ini tidak dilakukan, sebab—dalam pandangan beliau—santri itu amanah dari Allah SWT. “Aku gak wani nolak amanah pengeran, Ni (Saya tidak berani menolak amanah Tuhan, Ni),” ungkap beliau pada Kiai Hasani. 

Untuk menyiasati membludaknya santri, maka undangundang pondok diperketat. Di samping untuk meminimalisir pelanggaran, mungkin dengan ketatnya undang-undang, masyarakat menjadi enggan untuk nyantri di Sidogiri. Namun yang terjadi sebaliknya, meskipun undang-undang diperketat, santri malah semakin bertambah. 

Dalam menahkodai perjalanan pesantren, Kiai Cholil sangat menaruh perhatian dan memberi kepercayaan penuh pada pengurus. Beliau tahu, tidak mungkin melaksanakan amanat mendidik. santri sebanyak itu tanpa bantuan tenaga tenaga yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab. Maka diangkatlah beberapa orang Pengurus yang dianggap mampu untuk membantu melaksanakan amanat tersebut. 

Untuk memberikan kepercayaan diri pada pengurus dalam melaksanakan tugas, Kiai Cholil memberikan legitimasi,

pengurus iku wakilku, sopo sing ngelawan pengurus podo karo ngelawan aku (Pengurus itu wakil saya, siapa yang menentang pengurus berarti menentang saya).” Dengan begitu, Pengurus punya wibawa dan berhati-hati dalam menjalankan tugas, sebab itu adalah amanat langsung dari Kiai. 

Toh demikian, Kiai tidak lantas memberikan hak istimewa kepada pengurus. Kiai tahu betul, bahwa proses pendidikan tidak sukses jika tidak ada uswah dari yang lebih senior. Kiai Cholil juga tahu, jika santri sudah merasa dibutuhkan untuk bantu-bantu pondok, maka ia akan cenderung males dan justru melanggar peraturan pondok. “Pengurus, guru, ojo’ dumeh, dadi pengurus utowo guru terus nggak ngaji, melanggar Ian liyo-liyane, sa ‘temene guru, pengurus kabeh iku santri (Pengurus, guru, jangan besar diri, lantas tidak mengaji, melanggar atau yang lainnya. Sesungguhnya guru dan pengurus semua adalah santri)”, kata Kiai Cholil dalam manuskripnya. 

Pada akhir-akhir menjadi pengasuh, Kiai Cholil melihat pengurus begitu semangat dalam membangun sarana dan prasarana pondok yang memang sangat dibutuhkan. Kiai bukan tidak suka. Namun ada kekhawatiran misi utama pendidikan jadi terbengkalai. Beliau mengisahkan; dulu, waktu masa Kiai Nawawie, dengan bangunan sangat sederhana, Sidogiri mampu mencetak santri-santri yang alim. 

Satu hal yang tetap sangat dipegang oleh Kiai dan ini terus dipegang sampai sekarang, kehati-hatian dalam menerima sumbangan dari pihak luar. Pernah pada tahun 1968 Gubernur Jawa Timur (kalau tidak salah Bapak Moh. Noer) berkunjung ke Sidogiri dengan membawa uang sumbangan untuk pondok sebesar Rp. 300.000-. Jumlah nominal yang cukup besar saat itu. 

Sebenarnya, Kiai Cholil tidak mau menerima sumbangan itu. Namun untuk menghindari fitnah, Kiai Cholil menyuruh agar uang itu diterima. Namun dengan wanti-wanti (pesan), “Duwe’ iki ojo’ sampe’ mlebu nang urusan madrasah, sa’aken arek-arek, ilmune ben barakah (uang ini jangan sampai dipergunakan untuk keperluan madrasah. Kasihan anak-anak santri, ilmunya agar berbarakah)”.  

Ada satu siasat menarik yang dilakukan Kiai Cholil untuk memajukan pendidikan di Sidogiri; santri-santri yang alim oleh beliau dicarikan jodoh dengan gadis di sekitar pondok. Dengan demikian santri itu akan tetap bisa mengajar di pondok. Hal itu berjalan hingga sekarang.

Figur Pendidik Sejati 

Di antara keistimewaan Kiai Cholil -dan ini yang paling menonjol-beliau sangat istikamah dalam Hal belajar dan mengajar. Pergi ke mana pun Kiai Cholil tidak pernah lepas kitab. Ta’lim watta’allum seakan sudah menyatu dengan darah dan denyut nadi beliau. Kebiasaan itu sudah menjadi watak Kiai Cholil sejak kecil. 

Perihal ketekunan dalam mengajar, sangat dirasakan oleh santrinya. Hampir tidak ada kamus libur bagi pengajian Kiai Cholil. Dari jarangnya libur, hingga ada satu syair yang digubah sendiri oleh santri: 

علا مة العطلة في معهدنا # لم يحضر الشيخ الى مسجدنا                                                      

“Tanda libur (pengajian) di pondok kita * Adalah tidak hadirnya Kiai di masjid kita (untuk berjamaah)”.  

Syair ini dibuat oleh santri, sebab Kiai Cholil hampir tidak pernah meninggalkan salat berjamaah di masjid. Hingga kemudian, tidak hadirnya Kiai untuk mengimami salat dijadikan tanda bahwa pengajian di Surau libur. 

Kiai Cholil sangat menaruh perhatian terhadap pengembangan kualitas keilmuan santri, khususnya yang senior. Secara bergilir santri-santri senior dipanggil untuk membaca kitab di hadapan Kiai. Mau tidak mau, mereka akan tertuntut keras untuk selalu persiapan karena khawatir dipanggil secara mendadak. 

Ketekunan Kiai Cholil dalam hal muru’ memang luar biasa. Sang adik, Kiai Hasani, sangat respek dan angkat topi pada kakaknya itu. Kiai Hasani sampat mengutarakan langsung kekagumannya. Dengan tawaduk Kiai Cholil menganggap ketekunan itu satu hal yang wajar dan tidak perlu dikagumi. “Mbuh Ni, aku seneng muthala’ah, arek-arek seneng ngrungo’no (Tidak tahu ‘Ni [Kiai Hasani], saya senang muthala’ah, anakanak senang mendengarkan)” kata Kiai Cholil.  

Nyai Murti, istri kedua Kiai, juga menuturkan, setiap Kiai datang menggilir, beliau tidak pernah lepas dari kitab. Malah menjelang tidurpun beliau masih terus membaca kitab hingga akhirnya tertidur. Ust. Abd. Rohman Syakur bercerita, dirinya sering diajak Kiai Cholil untuk menghadiri undangan, biasanya naik dokar. Di sela-sela perjalanan itu Kiai Cholil menyempatkan mengajari pelajaran fara’idh. Sampai sekarang pelajaran yang diberikan Kiai Cholil terus teringat dan banyak bermanfaat. 

Kiai Aqib Yasin, Pasuruan, (ayah Mas Taufik), pernah menuturkan, dalam segi ibadah dlahir, Kiai Cholil bisa dibilang ‘biasa’. Namun dalam hal ta’lim wa ta’allum Kiai Cholil luar biasa. Tidak berlebihan jika Kiai Aqib betul-betul respek dan kagum. Beliau berkata, “Tirakat Kiai Cholil itu ta’lim wa ta’allum.”  

Soal ketekunannya ini, Kiai Cholil pernah menukil dawuh ayahandanya, Kiai Nawawie; 

لازم المطا لعة والجما عة تنال العلوم النا فعة                                                         

“Tekunlah belajar dan salat berjamaah, niscaya kau peroleh ilmu yang manfaat”.

Dawuh Kiai Nawawie ini sangat membekas dan menjadi prinsip hidup Kiai Cholil. Tidak ada kamus berleha-leha, melepaskan waktu tersia-sia tanpa belajar. Jelas, motto Kiai Cholil adalah “Tidak ada waktu tanpa belajar”.  

Memegang Teguh Syariat 

Bisa dikata, Kiai Cholil itu adalah kitab yang telah termanifestasi dalam tingkah laku. Akhlak dan syariatnya pas betul dengan ilmunya. Walaupun ada hal yang dilakukan dianggap tidak cocok dengan syariat, beliau akan mengakuinya. Semisal dalam hal merokok, kiai Cholil pernah mengatakan, bahwa merokok itu tidak baik, walaupun Kiai Cholil sendiri termasuk pecandu berat. “Aku weruh, ad-daf’u aula min ar-raf’i (mencegah lebih utama dari mengobati) tapi aku se’ durung kuat’. Malah, secara guyon beliau berkata, “Aku se’ durung oleh hidayah (Saya belum dapat hidayah)”.  

Sepulang menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, Kiai Cholil berkata pada Kiai Hasani, “Ga’ pok Ni. Nglakoni barang sunat, ninggal sing wajib (Tidak pas Ni. Mengerjakan sunat, meninggalkan yang wajib)”. Kalimat itu adalah ungkapan protes Kiai Cholil pada sistem dan juga praktik pelaksaan ibadah haji yang sering mengabaikan salat (biasanya selama perjalanan). 

Pernah di suatu acara walimah, uang Kiai Cholil diambil oleh Gus Ud (seorang yang terkenal wali jadzab). Kiai Cholil bilang, “Haram Gus, haram Gus!”. Dengan itu Kiai Cholil mengingatkan; siapa pun orangnya, jika tidak sesuai Syariat, harus ditegur. 

Kiai Cholil pernah mengungkapkan dirinya tidak begitu suka belajar Fikih. Alasan beliau, orang memperdalam Fikih cenderung mencari hukum yang ringan-ringan saja dan sering menghela hukum. Dalam sudut pandang ini, Kiai Cholil tidak begitu tertarik dengan forum bahtsul masail. Sebab, pembahasannya lama dan ruwet, tapi setelah itu tidak ada aplikasi yang nyata. 

Tawaduk dan Sederhana 

Pribadi Kiai Cholil sangat sederhana dan tidak suka ditonjol tonjolkan. Dalam forum-forum apapun beliau itu lebih suka diam. Diam bukan berarti tidak paham atau acuh tak acuh. Tapi diam dalam arti lebih memberikan kesempatan pada yang lain. 

Terbukti setelah semua anggota dalam forum itu kehabisan argumen atau terjadi kemusykilan, maka Kiai Cholil langsung angkat bicara, dan biasanya, mereka langsung bisa menerima. Dari kejadian ini, lalu ada bisik-bisik, ”Sepertinya tidak ada as’ilah yang repot atau sulit untuk Kiai,” atau bahkan, ”Kiai Cholil banyak hafal kitab”.

Pernah Kiai Cholil diundang ke satu acara perkawinan. Ketepatan yang mengundang tidak begitu kenal dengan Kiai Cholil. Saat Kiai Cholil datang, pihak tuan rumah tidak menyambut seperti biasa menyambut seorang Kiai besar. Kiai Cholil, sesampai di sana enak saja langsung duduk dengan undangan yang lain tanpa ada perasaan apa-apa. Tidak beberapa lama, tuan rumah menghampiri Kiai Cholil (mungkin ada yang memberitahu) sembari mempersilakan masuk ke tempat khusus yang dipersiapkan untuk beliau. Apa jawab Kiai Cholil? “Wes, enak de’ kene, podo ae ko’ (Sudah di sini saja, sama saja kok).”  

Kiai Cholil kemana-mana selalu naik Dokar. Bukan tidak punya uang untuk beli mobil, Malah banyak yang bermaksud memberi mobil, tapi ditolak. Alasan Kiai Cholil, takut malah akan membebaninya sekaligus khawatir membuat iri tetangga. Sebab, saat itu mobil adalah barang sangat wah.  

Sekalipun kesempatan untuk hidup lebih dari cukup sangat terbuka, namun Kiai Cholil tidak menggunakan kesempatan itu. Beliau lebih suka hidup sekadarnya. Pernah beliau diberi uang tiga ratus ribu rupiah (Rp. 300.000,-) oleh H. Nawawi, Madura, namun oleh beliau uang itu tidak dibawa masuk ke dalem tapi disuruh letakkan di bawah tempat tidur di kamar. yang ada di depan dalem. Begitu juga bila ada tamu nyabis, uang dari tamu itu tidak pernah diperhatikan, apalagi dihitung. 

Suatu ketika Kiai pernah mengadukan perasaan hatinya pada seorang Kiai di Warungdowo, KH. Kholid namanya. Dalam

logat Jawa beliau berkata “Lid..! Aku saiki susah, Lid (sekarang saya susah).”  

“Susah nopo, Kiai?” tanya Kiai Kholid. 

Kiai Cholil menjawab (terjemah Bahasa Indonesia), “Begini. Setiap kali saya sedekah pada orang, selalu dibalas langsung oleh Allah SWT. Kemarin, saya sedekah sarung kepada orang. Tak lama kemudian ada orang mengantarkan sarung 10 helai ke rumah. Beberapa harinya lagi, saya bersedekah, tak lama kemudian ada orang mengantarkan sesuatu yang sama dengan apa yang telah saya sedekahkan dengan jumlah yang lebih besar. Yang saya takutkan balasan Allah SWT. itu diberikan pada saya di dunia saja, sementara di akhirat nanti saya tidak mendapatkan balasan apa apa.” Saat menceritakan kejadian itu Kiai Cholil menangis.”

Saat makan, bila sudah terasa nikmat, maka Kiai Cholil berhenti. Soal kebiasaannya itu Kiai tidak pernah bercerita, sampai satu ketika, Busyro, salah satu khadamnya, menanyakan perihal itu. “Saya khawatir nikmat saya habis di dunia,” jawab Kiai serius. 

Sikap hidup sederhana Kiai Cholil ini bisa dibaca dari doa dan ayat yang terpampang di dalem beliau: 

      اللهم أحيني مسكينا واحشر ني مع زمرة المساكين

Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin”.  

انما نطعمكم لوجه الله لانريد منكم جزاء ولا شكورا

Kami memberikan makan pada kalian hanya untuk (mencari) ridlo Allah. Kami tidak mengharap dari kalian balasan dan juga kata terima kasih”.  

Kedua bacaan itu terpampang di ruang tamu dalem Kiai dan sering dibaca oleh Kiai Cholil. Tulisan itu bukan sebuah slogan kosong atau hanya dibuat penghias ruangan. Tapi, memang betul-betul termanifestasi dalam wujud nyata kehidupan Kiai Cholil sehari-hari. 

Istikamah Salat Berjamaah 

Sampai akhir hayatnya beliau bisa dikata tidak pernah meninggalkan salat berjamaah. Malah ketika hampir wafat pun beliau memaksa salat berjamaah bermakmum pada KH. Abdul Alim. 

Dalam kesehariannya, Kiai Cholil sangat menekankan salat berjamaah, meskipun tidak secara langsung memaksa kepada semua santrinya. Pernah ada seorang santri sowan kepada Kiai Cholil. Ketepatan saat itu si santri berpuasa. Oleh Kiai Cholil, si santri dipersilahkan meminum kopi yang disuguhkan. Si santri bilang dia sedang puasa. Kiai Cholil lalu berkata, “Sebenarnya, tirakat santri Sidogiri cukup dua saja; taat pada peraturan, dan istikamah berjamaah.”

Sampai akhir hayatnya, Kiai Cholil selalu berjamaah. Salat terakhir beliau adalah salat Isya yang dilanjutkan dengan salat tarawih. Beliau salat duduk bermakmum kepada KH. Abdul Alim. Sebelum salat -dari tawaduknya-beliau bertanya kepada Kiai Abdul Alim, apakah sudah boleh dirinya sholat duduk. 

Kiai Cholil termasuk Hafidzul Qur’an. Bila mengimami suara dan lagunya menyejukkan kalbu dan membuat hati trenyuh hingga tak jarang membuat air mata menetes. 

Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Jilid 1

Pesan Buku

KH. Cholil Nawawie Bagian III

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *