Manusia adalah makhluk sosial. Artinya, sesama manusia pasti saling membutuhkan. Manusia tidak bisa hidup sendiri-sendiri, sebab mereka tidak bisa memenuhi segala kebutuhan kesehariannya tanpa bantuan orang lain. Karena inilah muncul istilah simbiosis mutualisme. Simbiosis mutualisme sendiri adalah ikatan yang saling menguntungkan. Sebagai contoh, semua orang pasti membutuhkan petani untuk memenuhi kebutuhan pangannya, sedangkan petani juga butuh kepada orang lain untuk membeli sandang dari hasil panennya.
Berangkat dari pemahaman ini, salah satu cara agar hubungan manusia tetap stabil adalah penerapan silaturahmi antar sesama. Jika silaturahmi sudah terjalin dengan baik, komunikasi dengan sesama akan lancar. Bukankah segala permasalahan yang muncul ke permukaan selama ini, salah satunya akibat kesalahpahaman dan putus komunikasi, sampai ada istilah, “Apa pun masalahnya, komunikasi solusinya”. Seberat apa pun masalah, jika diselesaikan bersama-sama, akan terasa ringan dan mudah.
Oleh karena itu, tak ayal banyak sekali manfaat dari silaturahmi. Selain keuntungan nyata yang bakal diperoleh berupa terjalinnya komunikasi yang efesien, silaturahmi memiliki nilai keuntungan spiritual lain. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِيْ أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia bersilaturahmi.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut Imam an-Nasai dan Ibnu Jarir, maksud dari kata ‘yunsa’a lahu fi atsarihi’ adalah diakhirkan ajalnya. Ibnu Tin, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam Fathul-Bari bi Syarhil-Bukhari-nya, menyatakan bahwa tambahan umur ini merupakan kiasan tentang keberkahan dalam hidup, kemampuan menjalankan ketaatan, mengisi waktu untuk akhirat, dan menjaga diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat.
Hal yang serupa pernah disampaikan, Rasulullah merasa waktu hidup umatnya lebih pendek dibanding umat terdahulu, maka Allah memberinya malam Lailatul Qadar. Artinya, terkait dengan kualitas umur, bukan kuantitasnya.
Intinya, menyambung silaturahmi bisa menjadi sebab bagi seseorang untuk diberi taufik untuk taat dan menjaga diri dari kemaksiatan, sehingga ia tetap dikenang dengan baik setelah kematiannya, seolah-olah ia belum mati. Termasuk dari taufik adalah ilmu yang bermanfaat setelah kematiannya, sedekah jariyah yang mengalir baginya, dan keturunan yang saleh.
Al-Imam ath-Thabrani dalam kitab ash-Shaghir juga mengatakan bahwa ditangguhkan ajal, artinya dengan diberi keturunan saleh. Sebab, meskipun seseorang telah meninggal dunia, ia tetap dapat menabung pundi-pundi pahala, berkah dari doa anak-anaknya yang saleh dan salehah. Berbeda dengan Ibnu Furak, yang memahami tambahan umur di sini adalah dengan dihilangkannya penyakit-penyakit yang mengganggu akal dan merusak pemahaman seseorang yang gemar silaturahmi.
Penulis: Ali Abdillah