يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa“ (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Setidaknya, ayat di atas berisi dua poin: Pertama, puasa bukanlah ibadah yang baru, melainkan ibadah lama yang sudah dijalani oleh kaum Nabi Musa dan Nabi Isa. Jadi, puasa kita persis dengan puasa mereka, sebulan dan di momen bulan Ramadhan. Hanya saja, mereka mengubah masa puasa yang semula sebulan menjadi 50 hari dikarenakan ada sebab yang melatarbelakanginya.
Kronologinya pernah disampaikan oleh Rasulullah dalam hadisnya:
كَانَ عَلَى النَّصَارَى صَوْمُ شَهْرٍ فَمَرِضَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَالُوْا لَئِنْ شَفَاهُ اللّٰهُ لَنَزِيْدَنَّ عَشْرَةً ثُمَّ كَانَ آخَرُ فَأَكَلَ لَحْمًا فَأَوْجَعَ فَاهُ فَقَالُوْا لَئِنْ شَفَاهُ اللّٰهُ لَنَزِيْدَنَّ سَبْعَةً ثُمَّ كَانَ مَلِكٌ آخَرُ فَقَالُوْا لَنُتِمَّنَّ هَذِهِ السَّبْعَةَ الْأَيَّامَ وَنَجْعَلَ صَوْمَنَا فِي الرَّبِيعِ قَالَ فَصَارَ خَمْسِينَ
“Dahulu puasa yang diwajibkan atas kaum Nasrani adalah satu bulan. Kemudian ada seseorang dari mereka yang sakit, lalu mereka berkata, ‘Jika Allah menyembuhkannya, kami akan menambah (puasa) sepuluh hari.’ Kemudian ada lagi orang lain yang memakan daging hingga sakit giginya, lalu mereka berkata, ‘Jika Allah menyembuhkannya, kami akan menambah tujuh hari.’ Setelah itu, datang seorang raja lain, lalu mereka berkata, ‘Kita sempurnakan tujuh hari ini dan kita pindahkan puasa kita ke musim semi.’ Maka, jadilah (puasa mereka) lima puluh hari.” ( Tafsir al-Qurthubi hal: 746).
Kedua, tujuan puasa dalam ayat di atas adalah takwa. Takwa itu menjalani perintah Allah dan menghindari larangan-Nya. Hal itu bisa berhasil jika bisa mengendalikan apalagi bisa mengekang hawa nafsu berkeliaran. Salah satu caranya dengan puasa sebagaimana sabda Rasulullah:
الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَ وِجَاءٌ
“Puasa adalah perisai dan obat.”
Imam al-Qurthubi menyampaikan bahwa syahwat bisa lemah secara perlahan-lahan seiring mengurangi makan-minum sehingga potensi bermaksiat juga akan tertahan.
Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya menyebutkan bahwa maksiat ada dua; pertama, maksiat yang bisa dicegah dengan berfikir dahulu seperti zina, minum khamr dan semacamnya. Kedua, maksiat yang tidak bisa dicegah dengan berfikir dahulu seperti marah, naluri gibah , dendam, iri, dan semacamnya. Maksiat kedua ini bisa ditangani dengan puasa. ( at-Tahrir wat-Tanwir ).
Penulis: Imam Rohimi