Sifat sok kaum liberalisme yang berusaha logis dalam segala hal membuat mereka liar dalam bernalar. Saat ini, keautentikan kitab-kitab Tafsir dan profesionalitas para ahli Tafsir mulai mereka sangsikan dengan menggaungkan paham relativisme. Logika ini tentu membuat mereka lancang dan sewenang-wenang. Kalau kita merujuk ke dalam KBBI, maka akan kita temukan bahwa relativisme berarti paham yang meyakini bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas pula. Oleh karena itu, tidak ada pengetahuan yang sempurna, sehingga pengetahuan itu rentan salah dan perlu direvisi kembali. Jadi, paham relativisme sebenarnya adalah paham yang menolak adanya kebenaran mutlak. Kebenaran yang ada semuanya relatif. Bisa jadi benar menurut satu orang dan salah menurut orang lain. Manusia tidak mampu memberikan sebuah kebenaran yang absolut karena pengetahuan mereka bersifat nisbi.
Mereka hanya mengetahui kebenaran absolut dari Tuhan. Dengan demikian, kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan semata. Berawal dari sinilah kaum relativis kemudian menganggap bahwa semua penafsiran yang dilakukan terhadap teks al-Quran tidak ada yang obyektif, bahkan berada pada tingkatan subyektif. Dengan demikian, semua kitab tafsir buah karya para ulama zaman dulu hingga sekarang bisa diinterpretasi ulang. Mereka juga menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menafsirkan al-Quran sesuai dengan keinginannya. Padahal, dalam menginterpretasikan ayat-ayat al- Quran, para ulama tidak sembarangan. Mereka dituntut menguasai beberapa macam ilmu agar dapat menafsirkan al-Quran sesuai dengan kaidah. Para ulama telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menafsirkan al-Quran. Imam as-Suyuthi dalam karyanya “Al-Itqân” menulis satu bab khusus yang memuat syarat-syarat bolehnya menafsirkan al-Quran. Hal ini dilakukan agar tidak sewenang-wenang menafsirkan al-Quran.
Lain halnya dengan gaya penafsiran para pengusung paham relativisme yang sama sekali bertolak belakang dengan maksud al-Quran. Dalam menafsirkan al-Quran, kaum relativisme lebih melihat konteks sosial budaya. Paham seperti ini akan dengan mudah memutar balikkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran. Contonya, dalam al-Quran Allah telah mengharamkan khamar, zina, dan judi. Allah juga mewajibkan shalat lima waktu, menutup aurat, puasa di bulan Ramadan, dan lain sebagainya. Semua dalil yang berbicara tentang hal tersebut merupakan dalil qath’î. Apabila hukum tersebut dipahami sesuai yang mereka inginkan, maka yang terjadi adalah semua hukum yang sudah qath’î harus ditinjau kembali. Sebab, konteks sosial budaya yang ada saat al-Quran diturunkan tidak sesuai dengan konteks sosial budaya zaman sekarang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang berbicara tentang hukum syariat meskipun qath’î harus ditafsirkan ulang agar sesuai dengan konteks zaman sekarang. Menempatkan realitas sosial dan budaya sebagai faktor penting dalam menafsirkan al-Quran sungguh sangatlah tidak sejalan dengan metode penafsiran al-Quran yang benar. Sebab, konteks sosial budaya merupakan sesuatu yang selalu berubah setiap saat.
Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa semua produk tafsir adalah relatif dan tidak mutlak benar. Karena tafsir merupakan produk akal manusia yang sifatnya terbatas dan bisa saja keliru. Dengan demikian, menurut paham ini tidak ada sebuah penafsiran pun yang sifatnya qath’î, semuanya bersifat relatif. Argumentasi seperti ini tentu sangat tidak memiliki landasan. Jika pengusung paham ini menyatakan bahwa semua produk tafsir adalah relatif karena dihasilkan oleh akal manusia yang terbatas, maka seharusnya pernyataan mereka juga bersifat relatif karena juga hasil produk pemikiran manusia. Padahal, akal manusia jelas bisa menjangkau hal yang mutlak, tentu saja dalam batasan akal manusia. Artinya, akal manusia bisa meyakini kebenaran yang satu. Tidak bisa dibenarkan kalau akal manusia selalu berbeda dalam semua hal.
Buktinya para ulama tafsir dari dulu hingga sekarang tidak pernah berbeda dalam menfasirkan ayat-ayat tentang haramnya hukum berzina, minum khamar, dan berjudi. Jadi, penggunaan paham relativisme dalam memahami ayat-ayat al-Quran adalah mutlak sebuah kesalahan dan harus diluruskan. Paham ini sengaja di populerkan agar umat Islam keluar dari pemahaman Islam yang benar, bahkan mereka menuduh bahwa orang yang masih berpegang pada metode tafsir klasik yang telah dirumuskan oleh ulama terdahulu sebagai golongan yang anti terhadap kemajuan dan pembaharuan. Hal ini sungguh menggelikan, ibarat anak bau kencur yang baru masuk Taman Kanakkanak sudah berani menyalahkan cara berfikir orang dewasa yang sudah tamat pendidikan. Jadi, memang terlalu jelas untuk menentukan siapa yang pemahamannya harus disangsikan dan disalahkan.
Ali Wafa Yasin/Sidogiri Media
Semoga berkah usianya dan sehat selalu, mas. Saya merasa tercerahkan sekali oleh tulisannya. Terima kasih.