Tidak ada waktu khusus bagi musibah untuk menerkam seseorang. Musibah yang dimaksud adalah hilangnya kesehatan dalam jiwa kita. Bahkan pada saat bulan suci Ramadan, sakit bisa menyerang seseorang tanpa permisi. Lantas, apakah diperbolehkan bagi orang yang sakit untuk tidak berpuasa? Apakah ada kriteria khusus sakit yang memperbolehkan tidak berpuasa?
Dalam kitab Taqrîrâtus-sadîdah karya Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dijelaskan bahwa sakit yang memperbolehkan tidak berpuasa adalah sakit yang yang memperbolehkan untuk tayamum. Lalu, seperti apakah sakit yang memperbolehkan untuk tayamum? Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad dalam mahakarya fenomanalnya kifâyatul-akhyâr menjelaskan:
وَأَمَّا الْمَرَضُ فَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ اْلأَوَّلُ أَنْ يَخَافَ مَعَهُ بِالْوُضُوْءِ فَوْتَ الرُّوْحِ أَوْ فَوْتَ عُضْوٍ أَوْ فَوْتَ مَنْفَعَةِ الْعُضْوِ وَيُلْحَقُ بِذَلِكَ مَا إِذَا كَانَ بِهِ مَرَضٌ غَيْرُ مَخُوْفٍ إِلاَّ أَنَّهُ يُخَافُ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ أَنْ يَصِيْرَ مَرَضاً مَخُوْفاً فَيُبَاحُ لَهُ التَّيَمُّمُ اَلْقِسْمُ الثَّانِي أَنْ يَخَافَ زِيَادَةَ الْعِلَّةِ وَهُوَ كَثْرَةُ اْلأَلَمِ وَإِنْ لَمْ تَزِدِ الْمُدَّةُ أَوْ يَخَافَ بَطْءَ الْبُرْءِ وَهُوَ طُوْلُ مُدَّةِ الْمَرَضِ وَإِنْ لَمْ يَزِدْ اْلأَلَمُ أَوْ يَخَافَ شِدَّةَ الضَّنَى وَهُوَ الْمَرَضُ الْمُدْنِفُ الَّذِي يَجْعَلَهُ ضَنًى أَوْ يَخَافَ حُصُوْلَ شَيْنٍ قَبِيْحٍ كَالسَّوَادِ عَلَى عُضْوٍ ظَاهِرٍ كَالْوَجْهِ وَغَيْرِهِ مِمَّا يَبْدُوْ عِنْدَ الْمِهْنَةِ وَهِيَ الْخِدْمَةُ وَفِي جَمِيْعِ هَذِهِ الصُّوَرِ خِلاَفٌ مُنْتَشِرٌ وَالرَّاجِحُ جَوَازُ التَّيَمُّمِ الْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَخَافَ شَيْئاً يَسِيْراً كَأَثَرِ الْجُدْرِيِّ أَوْ سَوَاداً قَلِيْلاً أَوْ يَخَافَ شَيْئاً قَبٍيْحاً عَلَى غَيْرِ اْلأَعْضَاءِ الظَّاهِرَةِ أَوْ يَكُوْنَ بِهِ مَرَضٌ لاَ يَخَافُ مِنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ مَعَهُ مَحْذُوْراً فِي الْعَاقِبَةِ وَإِنْ تَأَلَّمَ فِي الْحَالِ كَجَرَاحَةٍ أَوْ بَرَدٍ أَوْ حَرٍّ فَلاَ يَجُوْزُ التَّيَمُّمُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا بِلاَ خِلاَفٍ وَاللهُ أَعْلَمُ اهـ
“Adapun sakit itu terbagi menjadi tiga bagian: Bagian pertama adalah sakit yang dikhawatirkan jika berwudu akan menyebabkan hilangnya nyawa, hilangnya anggota tubuh, atau hilangnya fungsi anggota tubuh. Termasuk dalam kategori ini adalah jika seseorang menderita penyakit yang tidak membahayakan, tetapi jika menggunakan air dikhawatirkan penyakitnya berubah menjadi penyakit yang membahayakan. Dalam kondisi seperti ini, diperbolehkan baginya untuk bertayamum. Bagian kedua adalah sakit yang dikhawatirkan bertambah parah, seperti meningkatnya rasa sakit meskipun tidak memperpanjang durasi penyakit, atau dikhawatirkan memperlambat kesembuhan meskipun rasa sakitnya tidak bertambah. Atau, dikhawatirkan menyebabkan kelemahan parah (sakit berat) yang menjadikannya lemah tak berdaya, atau dikhawatirkan menimbulkan cacat buruk seperti menghitamnya anggota tubuh yang tampak, seperti wajah dan lainnya, yang biasanya terlihat saat melakukan pekerjaan atau pelayanan. Dalam semua kondisi ini terdapat perbedaan pendapat, tetapi pendapat yang lebih kuat membolehkan tayamum. Bagian ketiga adalah sakit yang hanya menimbulkan bahaya ringan, seperti bekas cacar, sedikit kehitaman, atau sesuatu yang buruk tetapi terjadi pada anggota tubuh yang tidak tampak. Atau seseorang menderita penyakit yang tidak dikhawatirkan menimbulkan bahaya akibat penggunaan air meskipun terasa sakit sesaat, seperti luka, dingin, atau panas. Dalam kondisi seperti ini, tidak diperbolehkan bertayamum menurut kesepakatan ulama. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.”
Intinya, sakit yang memperbolehkan untuk tayamum itu ada dua. Pertama, adanya kekhawatiran akan terjadinya kematian, rusaknya anggota tubuh dan manfaat anggota tubuh, prasangka kalau melakukan puasa bertambah parah penyakitnya. Kedua, nyata bertambah penyakit yang kita alami, lama proses penyembuhan dari sakit yang dialami atau khawatir terjadinya bekas yang jelek pada anggota tubuh yang terlihat saat melakukan aktivitas, seperti wajah dan lain lain. Maka, jika taraf sakit setara dengan kriteria sakit yang memperbolehkan tayamum, tidak masalah untuk tidak berpuasa saat bulan Ramadan, tetapi ada wajib qadha di kemudian hari.
Penulis: Ariel Laza Wardi