Pernahkah kita berpikir bahwa kita termasuk bagian dari kaum sufi? Diakui atau tidak sejatinya dalam keseharian, kita selalu menjalani hal- hal yang yang terikat dengan kesufian, bahkan setiap nafas kita gerakan dan lambaian anggota tubuh kita mengalir aura tasawuf.
Hal sedemikian sangatlah terkait dengan maqalah-maqalah guru kita disetiap wejangan mereka dalam memaknai cara mendapat ilmu yang barokah serta ridho dari pada masyayikh Sidogiri, yakni untuk selalu berbuat taat, warak, sabar, tawakal dan istikamah. Hal ini sangatlah berkaitan dengan amaliah- amalihah para kaum sufi dan tentunya merupakan kewajiban pokok bagi mereka sebagai maqam dalam suluk mereka kepada Allah Swt.
Imam at-Tirmidzi mendefinisikan kata maqam sebagai tingkatan seorang hamba dalam suluk , dimana setiap maqam tersebut memiliki tingkatan yang sesuai dengan derajat mereka masing- masing seperti maqam Taubat, warak, Sabar, Tawakal, mahabbah dan makrifat. Maqam ini tak ubahya seperti sebuah tangga dengan artian setiap anak tangga harus dilewati terlebih dahulu baru bisa naik menuju tangga berikutnya sebagaimana rincian berikut;
Maqam taubat merupakan jalan untuk menyucikan diri dari berbagai maksiat yang telah dilakukan dan tentunya tidak akan mengulangiya kembali serta sebalikya. Allah Swt berfirman; “Bertaubatlah kamu sekalian pada Allah Swt wahai orang orang mukmin agar kamu bahagia”. (QS.an-Nur;[24]:31)
Maqam warak yakni menjauhi segala kenikmatan dunia serta barang-barang syubhat sebagai bentuk menjaga diri dari keburukan jiwa atas penyakit hati (afat) dari suatu pekerjaan, sebagaiman sabda Nabi; “Diantara baiknya keislaman seseorang adalah dia yang meningalkan sesuatu yang tak bergua (barang yang melebihi kebutuhan). (HR. Bukhari Muslim)
Maqam sabar merupakan metode terpenting dalam menjalani kehidupan, seperti halnya kita dalam menjalani aktifitas pesantren yang begitu padat. Maqam tawakal yaitu memasrahkan segala sesuatu pada Allah Swt, sembari telah melakukan riadhah atasnya. Hal ini dapat menenangkan hati, kestabilan, serta keheningan jiwa bagi orang mukmin.
Dari sinilah akar sufi itu tumbuh disetiap jiwa para santri khususnya bagi kita. Jadi, tidaklah mengherankan jika kita di sebut orang-orang sufi sebagaimana cita-cita dari para masyayikh Sidogiri, yakni menjadi Ibadillah Assolihin. Bukan hanya itu, Adanya pendidikan yang notabennya sangat jauh dengan kehidupan duniawi sangatlah mendukung atas tercapainya keinginan yang luhur. Walaupun, tak sedikit dari kita yang kurang begitu peduli atas hal tersebut.
/Tafaqquhat