
“Jangan sampai Khidmah kita itu kayaknya membantu tapi sebenarnya kita terjebak dengan urusan teknis yang teknis tersebut berlawanan dengan prinsip,” kata Ust. Dairobi Naji dalam acara Insan Pers yang dilaksanakan di kantor Sekretariat lantai II, Rabu (11/10), mengangkat tema “Mengulas Sejarah dan Tantangan Media Sidogiri”.
Beliau, Ust. Dairobi mengatakan agar menulis terhindar keluar dari prinsip Sidogiri, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, mengenai prinsip (tradisi salaf) yang dipegang oleh para massyayihk, baik akidah, syariah ataupun ahlaq. Kedua, pintar membaca situasi sehingga tidak berpotensi menyebabkan keresahan di masyarakat.
“Ketika ada khilaf (perbedaan pendapat ulama) maka pilihlah yang tidak meresahkan,” kata Ust. Dairobi, mengutip dawuh KH. Abdurrahman Syakur.
“Jangan menulis sesuatu yang kayaknya cocok dengan masyarakat tapi bertentangan dengan tradisi salaf Massyayihk Sidogiri. Kita harus membela apa yang menurut ulama benar. Lebih baik majalah tidak jalan daripada tulisan menimbulkan keresahan,” lanjut pria asal Bangkalan.
Dalam sesi kedua, Mas Syamsul Arifin Munawwir bercerita mengenai pertemuan awak media dalam acara ‘NU Media Ghatring’ yang dihadiri oleh awak media seluruh Indonesia. Dalam acara tersebut media Sidogiri mendapat aspirasi menjadi media terbanyak dan terbaik. “Kalau penggagas utama media Sidogiri adalah Mas d. Nawawi As. Beliau pengarah sekaligus pengawas media Sidogiri, hingga Sidogiri memiliki BPP (Badan Pers Pesantren),” cerita Mas Syamsul Arifin Munawwir.
Pesatnya media Sidogiri tidak lepas dari adanya Mading (Majalah Dinding) yang ada di Sidogiri. Dengan adanya Mading tersebut muncul kader-kader penulis hebat. “Tidak mungkin orang bisa nulis jika tidak belajar, kalaupun ada jumlahnya pasti sedikit,” ungkap Mas Syamsul, penulis buku “Islam Indonesia di Mata Santri.
======
Penulis: M. Afifur Rohman
Editor: N. Shalihin Damiri