Artikel

Dampak Sosial Ayat Potong Tangan

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah [5]: 38).

Mencermati kandungan ayat di atas jelaslah bahwa Islam memiliki sanksi-sanksi yang sangat keras bagi umat Islam yang melakukan tindak kriminal. Padahal, konon Islam adalah agama kasih sayang yang membawa rahmat untuk semesta alam. Lalu, dengan disuarakannya sanksi-sanksi yang telah disebutkan di atas, masihkah Islam akan disebut agama kasih sayang?

Seandainya setiap pencuri dipotong tangannya maka hal itu akan menyebabkan kelumpuhan bagi yang bersangkutan, yang pada akhirnya akan berakibat buruk bukan hanya bagi yang bersangkutan, tetapi juga bagi keluarga dan orang yang dekat dengannya. Bahkan, apabila potong tangan dan sanksi-sanksi keras lainnya benar-benar diterapkan, maka betapa banyak orang yang kehilangan tangannya, yang pada gilirannya akan menyebabkan kealpaan pada beberapa sektor kerja.

Maka, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Islam tidak pernah memikirkan dampak negatif yang sangat krusial tersebut? Dan apakah sanksi-sanksi di atas merupakan alternatif terakhir yang menutup ruang untuk menerapkan sanksi lain yang lebih ringan? Jawabannya ialah tentu Islam sudah memikirkan dampak negatif yang telah disebutkan di atas. Juga, Islam telah menimbang dengan baik tentang efektivitas sanksi yang menjadi vonis bagi pelaku kriminal.

Penerapan hukum potong tangan dapat dijawab dengan beberapa argumen berikut;

Pertama, dampak positif penerapan hukum potong tangan ternyata lebih besar dibandingkan dampak negatifnya. Karena itu, Islam tetap memberlakukan hukum potong tangan sekalipun pada sisi tertentu sanksi tersebut mengandung dampak negatif.[1]

Kedua, Islam sangat menjunjung tinggi nilai kemulian umat manusia, baik yang berkenaan dengan agama, jiwa, harta, kehormatan, akal, dan keturunannya. Islam menganggap aktivitas yang merugikan harta atau jiwa orang lain sebagai pelanggaran yang sangat berat yang layak untuk “diganjar” hukum yang juga berat. Karena itu, hukum potong tangan bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan terhadap jiwa dan harta orang lain menjadi sanksi yang adil atas perbuatannya.[2]

Ketiga, hukum potong tangan dapat mewujudkan stabilitas keamanan di dalam suatu daerah atau negara. Dengan diberlakukannya hukuman yang dipandang kejam tersebut, orang yang pernah mencuri akan jera, sedangkan orang yang “berniat” mencuri merasa takut untuk mencuri karena khawatir tangannya akan dipotong.

Keempat, diberlakukannya hukum potong tangan juga dapat menjadi pelajaran berharga (baca: ibrah) bagi orang lain. Bayangkan, seandainya seorang pencuri mengalami cacat permanen sekaligus mendapatkan celaan dari masyarakatnya selama hidupnya disebabkan melakukan pencurian, maka adakah yang berani untuk melakukan pencurian? Sedangkan ia tahu bahwa jika ia tertangkap mencuri maka ia akan mengalami sanksi yang sama beratnya seperti si pencuri tadi?[3]

Kelima, menurut Islam sebuah tindak kriminal (baca: pencurian) merupakan tindakan bejat yang dilakukan oleh mereka yang tangannya dipenuhi oleh “penyakit keamanan”. Karena itu, tindakan yang terbaik adalah menghilangkan bagian yang berpenyakit tersebut  (dengan cara memotong tangan) guna menyelamatkan organ lain yang masih sehat.[4] Perlu juga dipahami bahwa dengan diberlakukannya hukum potong tangan tidak harus ada banyak orang yang kehilangan tangannya. Sebab, ketika orang yang berniat mencuri tahu bahwa apabila mencuri akan dipotong tangannya, ia akan takut untuk mencuri. Dan, jika sudah takut untuk mencuri, lalu bagaimana tangannya bisa terpotong? 

Sementara ituuntuk menciptakan rasa takut semacam itu hanya diperlukan satu orang pencuri yang dipotong tangannya. Lebih dari itu, Prof. Dr. Shalah Shawi menyatakan, “Falasafah hukuman dalam syariat Islam berlandaskan kepada dua konsep, yaitu melawan perangkat-perangkat psikologis yang mengajak kepada perilaku kejahatan dan menggantinya dengan alasan-alasan positif yang akan menghalangi dan mencegahnya untuk melakukan kejahatan tersebut. Lebih jauh lagi jiwa manusiadiciptakan secara fitrah untuk menimbang antara baik dan buruk. Jika hukumannya lugas dan mudah, orang yang condong untuk melakukan kejahatan akan meremehkannya. Hukuman itu tidak akan mampu menahan dan menghalanginya untuk melakukan kejahatan.

Oleh karena itu, dalam lingkup masyarakat yang menerapkan syariah Islam, kejahatan semakin berkurang dan pelakunya pun jera untuk mengulanginya lagi. Padahal, kejahatan serupa semakin bertambah jumlahnya di negara-negara sekuler”.[5]

 

_____

Penulis : Miftahul Ulum Ahmad
Editor   : Zainuddin Rusydi

 


[1] Al-Judai’, Abdullah bin Yusuf, Taisîr Ushûl al-Fiqh li al-Judai’, vol. II, hal. 55

[2] Tafsîr Ayât al-Ahkâm, vol. I, hal. 258

[3] Al-Muraghi, Ahmad Mushtafa, Tafsîr al-Murâghi, Mathba’ah: Mushtafa al-Babi al-Halabi, vol. VI, hal. 114

[4] Tafsîr Ayât al-Ahkâm, vol. I, hal. 259

[5] Dr. Zakir Naik, Prof. Dr. Shalah Shawi, dan Syaikh Abdul Majib Subh. Mereka Bertanya Islam Menjawab: Pertanyaan Mengganjal tentang Islam yang Sering di Ajukan Orang Awam dan Non-Muslim. (cet I: 1430 H).  solo: Aqwam, hal. 253-254.

 

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *