Berita

Habib Novel Alydrus: Celana Cingkrang dan Cadar Bukan Ciri-ciri Radikal

Akhir-akhir ini cadar dan celana cingkrang marak diperbincangkan. Pasalnya, Menteri Agama Republik Indonesia Fachrul Razi melontarkan wacana pelarangan niqab atau cadar dan celana di atas mata kaki alias cingkrang untuk dipakai siapa pun dalam lingkungan instansi pemerintah.  Selain itu juga ada yang mengaitkan keduanya sebagai tanda-tanda radikalisme.

Dalam Kuliyah Umum yang bertajuk, “Risau Cingkrang, Cadar, Hingga Islam Radikal” Rabu sore (04/12), Madrasah Miftahul Ulum (MMU) Aliyah menghadirkan Habib Novel bin Muhammad Alydrus, Solo, Jawa Tengah untuk memberi tausiah kepada para murid MMU Aliyah tentang keriasauan masyarakat terhadap celana cingkrang, cadar dan Islam radikal.

Di satu sisi, kata radikal memiliki makna negatif. Misalnya kata Islam radikal mengacu kepada kelompok yang mengatasnamakan agama untuk melakukan teror. Yang menjadi permasalahan, sangat tidak relevan jika mengatakan cadar dan celana cingkrang sebagai tanda Islam radikal. Radikalisme itu bukan soal pakaian, misalnya yang pakai jilbab panjang atau celana cingkrang langsung dianggap radikal. Ini tidak benar. Harus lebih substantif pada pemahaman keagamaan, tindakan, dan gerakan mereka.

Baca juga: Kuliah Umum MMU Aliyah Hadirkan Habib Novel bin Muhammad Alydrus

Habib Novel Alydrus menegaskan jika cadar dan celana cingkrang bukan ciri-ciri suatu golongan atau komunitas. “Celana cingkrang dan cadar bukan ciri-ciri dari Islam radikal,” tegas Pemimpin Majelis Ilmu dan Dzikir ar-Raudhah ini. Mereka yang memakai cadar karena meyakini bahwa muka adalah aurat perempuan, bukan karena ikut pada suatu komunitas. Memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil al-Quran, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi dan para ulama. Sedangkan orang memakai celana cingkrang karena mereka yakin bahwa Nabi tidak menyukai pakaian yang menutup mata kaki.

Terlepas dari itu semua, Habib Novel bin Muhammad Alydrus membahas masalah cadar dan celana cingkrang dari sisi tasawuf. Sebab, dalam pandangan fikih hukumnya jelas, selama celana itu dibawah lutut maka tak ada masalah. Begitu juga dengan cadar, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai cadar, bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib.

Menurut Habib Novel, Islam itu bukan sekedar benar atau salah, baik atau buruk, melainkan juga pantas atau tidak. Dalam masalah celana cingkrang, syariat melarang jika terlampau panjang. Syariat juga tak mempermasalahkan ketika celana berada di atas tumit selama berada di bawah lutut. Namun, jika terlampau ke atas maka pertanyaannya adalah pantas atau tidak? Hal ini tergantung pada uruf. Habib Novel mencontohkan, “Jika kalian pergi ke arab, di sana ada satu desa yang penduduknya cingkrang semua. Kalau kamu pakai sarung di sana terlampau ke bawah jadinya kamu paling aneh.”

Baca juga: Pelantikan PC – HMASS se-Indonesia dan Mesir

Lebih dari itu, beliau menyampaikan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda kepada Sayyidah Aisyah, “Wahai Aisyah, seandainya kaum mu ini tidak baru masuk Islam, saya akan jadikan pintu ka’bah ini seperti aslinya, dua. Sehingga orang bisa masuk dan keluar.” Namun, karena masyarakat pada waktu itu baru masuk Islam, Nabi tidak melakukannya. Seandainya Nabi membuat perubahan yang tergesa-gesa, dalam hati orang arab akan timbul tanda tanya, dan tentunya akan menuai pro dan kontra. Habib Novel meneruskan “Nabi saja meninggalkan pro dan kontra, kok zaman sekarang ada orang yang mudah membuat pro dan kontra.” Jelas habib kelahiran tahun 1975 ini.

Begitu juga dengan cadar, kita perlu mempertimbangkan etika pandangan sufi. Dalam ajaran sufi, ada saat di mana seseorang boleh membuka cadar, sebagaimana cerita Rabiah al-Adawiah yang membuka cadarnya ketika berbicara dengan seorang lelaki sufi. Juga ada waktu di mana kita harus menggunakannya. Kendati boleh membuka cadar, namun, menurut Habib Novel, untuk di Indonesia memakai cadar merupakan keharusan, karena tidak ada orang baik seperti Sufyan ats-Tsauri.

Mengenai terorisme, beliau berpendapat, sebenarnya kekerasan dalam pikiran itu tidak akan bisa dicegah. “Dari pada kita meneliti mana yang radikal dan mana yang tidak, lebih baik kita berpikiran positif dan menapaki langkah positif. Jangan berpikiran buruk dan membuat orang hidup dalam pikiran buruk mencurigai satu sama yang lain,” terang habib.

Fakta membuktikan kita tidak bisa mencegah pemikiran seseorang. Berkaca pada sejarah, pada zaman ke-khalifahan banyak orang-orang yang berpemikiran radikal. Sayyidina Usman bin Affan disembelih oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, begitu juga dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, beliau dibunuh oleh orang yang memiliki pemikiran radikal.

Baca juga: Wisuda Istimewa ke-7, Ust Qusyairi Ismail Tekankan Akhlak Santri Idadiah

Sikap radikal dalam beragama itu tak boleh dicegah oleh siapa pun ketika penganutnya menjalankan agama berdasarkan keyakinan yang benar. Namun, ketika cara pandang tersebut diwujudkan dalam tindak kekerasan, pemaksaan kehendak, melakukan teror, itu sudah membahayakan.

Beliau juga berpesan, agar kita tidak perlu risau terhadap kritik dan perkataan orang lain, selama kita memiliki ilmu mengenai hal yang kita kerjakan itu. Terserah mereka mau berkata apa saja, selama yang kita lakukan tidak bertentangan dengan syariat kita tidak perlu risau. “Buat apa kita risau. Gak perlu risau! Orang mau ngomong apapun terserah. Kita punya ilmu. Orang yang berpegang pada ilmu tak kan ruwet dengan perkataan orang lain,” tegas beliau.

_______________

Penulis: Kanzul Hikam

Editor: Saeful Bahri bin Ripit

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *