Dalam seminar bertajuk, “Agama, Pancasila, dan Politik Kebangsaan Perspektif Pesantren” Muhammad ibnu Romli, Pemimpin Redaksi Sidogiri.Net sempat mewawancarai Prof. Dr. Mohammad Baharun SH. MA, Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) di ruang tamu kantor sekretariat lantai I Pondok Pesantren Sidogiri. Berikut laporannya!
Apakah seminar perihal pancasila penting diadakan di pesantren?
Tema pancasila tetap penting disosialisasikan, sebab yang membangun pancasila ialah ulama. Panitia sembilan yang merintis pancasila semuanya ulama dan cendikiawan muslim. Hanya satu yang non-muslim. Jadi, yang paling berhak menafsirkan pancasila, ya, kita, bukan mereka. Ulama kita sudah susah payah meletakkan sila-sila pancasila, masa mau kita biarkan begitu saja.
Mengenai tujuh kata yang dihapus dalam sila pertama, bagaimana pandangan jenengan?
Itu tidak terlepas dengan piagam Jakarta. Kalau bahasanya kiai As’ad, dalam sila pertama mengandung ruh tauhid. Qulhuwallahu ahad. Begitu kata beliau.
Jadi, sila pertama itu ketuhanan. Orang Islam, yang tidak salat, jangan ngaku-ngaku pancasila. Kalau non-muslim, yang tidak taat bergama, tidak toleran, jangan ngaku-ngaku pancasila. Ingat, sila pertama adalah ketuhanan. Negara kita ini, negara yang berketuhanan. Yang tidak taat agama, sudah jelas tidak pancasila.
Ada yang mengatakan, sila pertama melakukan kebaikan mengharap pahala dari “langit” sedangkan sila kedua kebaikan dengan dasar humanisme sehingga dianggap bertentangan, apakah benar demikian?
Oh, tidak bertentangan. Apanya yang bertentangan? Kalau bahasa saya, sila pertama itu hablun minallah, yakni huquq ilahiyah. Sila kedua sampai kelima itu huquq insaniyah, hablun minannas. Tidak bertentangan.
Namun, kita tidak perlu risau akan penafsiran pancasila yang beragam. Jangankan pancasila, al-Quran saja penafsirannya banyak. Yang melenceng pun juga banyak. Seperti tafsir Syiah, sangat melenceng.
Akan tetapi, penyeragaman tafsir itu perlu ada. Saya menjadi saksi sejarah saat Nahdhatul Ulama dengan berani menerima pancasila. Saat itu digelar di Bondowoso. Saya dulu, kan, wartawan Tempo. Jadi, saya selalu hadir meliput acara, dan mendengar langsung orasi Kiai As’ad kala itu.
Jadi, sebenarnya siapa yang berhak menafsirkan pancasila?
Saya punya kompentensi menafsirkan pancasila. Dulu saya mengambil tema pancasila sebagai tema taskap saya. Taskap itu semacam tesis, tugas akhir. Tulisan itu mencapai 120 halaman, dan kini sudah dibukukan. Yang menguji saya sampai tujuh jenderal. Tapi hasilnya memuaskan, dan terbaik perwakilan dari sipil. Jadi, saya punya kompetensi menafsirkan pancasila.