Masyayikh SidogiriUnggulan

KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI (Bagian III)

KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI
KH. BAHAR BIN NOERHASAN KIAI ALIT BERILMU LADUNNI

Khumûl dan Berpenampilan Sederhana

Sifat khumûl (low profile) menjadi ciri khas ulama-ulama Sidogiri dari awal sampai sekarang. Yang lebih populer di luar adalah nama pondoknya, “Sidogiri”, sedangkan kiainya tak jarang orang yang tidak mengetahuinya. Sifat khumûl inilah yang akan membuat seseorang tidak membanggakan diri dengan apa yang ada padanya, lebih-lebih bila ia seorang yang alim atau wali. Khumûl, tidak suka menampakkan kelebihan atau tidak senang menonjolkan diri di depan umum, adalah sifat para ulama salaf serta pakaian kaum sufi terdahulu. Sifat ini sangat dianjurkan, terutama bagi seorang murîd (orang yang ingin wushûl kepada Allah SWT) dan seorang sâlik (orang yang meniti jalan/tarekat menuju Allah SWT).

Sifat khumûl ini juga melekat pada diri Kiai Bahar. Salah satu buktinya, ketika beliau naik dokar dan duduk bersebelahan dengan orang yang ingin bertamu ke Sidogiri, beliau tidak mengaku atau menampakkan bahwa dirinya adalah Pengasuh PP. Sidogiri yang dituju orang tersebut. Selain itu, ketika akan menikah dengan seorang syarifah Ampel Surabaya, beliau datang dengan pakaian sederhana dan memakai bakiak, sehingga dicibir oleh para undangan. Setelah beliau berpidato di hadapan mereka, baru mereka menyadari kealiman beliau.

Pernah juga suatu hari Kiai Bahar ingin berziarah ke pesarean Mbah Shonhaji Batu Ampar Pamekasan Madura. Sebelum Kiai Bahar sampai di sana, Mbah Shonhaji mendatangi cucunya yang menjadi kiai penerusnya lewat mimpi. Dalam mimpi itu, Mbah Shonhaji memberitahu cucunya kalau akan kedatangan seorang tamu agung. “Hatihati ya, nanti Kiai Bahar dari Sidogiri mau ke sini, muliakan beliau!” pesan Mbah Shonhaji kepada cucunya. Kiai itu kemudian terbangun, terperanjat penuh tanda tanya, seperti apa gerangan tamu yang dimaksud mbahnya itu. Ia lalu beranjak dari peraduannya bergegas ke luar dan menyuruh para santrinya menyapu halaman pondok dan pesarean, dan yang lain menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan Kiai Bahar.

Tanpa disadari Kiai Bahar telah hadir di tengah-tengah kesibukan mereka, dengan mengenakan pakaian ala kadarnya, tidak menampakkan ‘kekiaiannya’. Sehingga kesederhanaan itulah yang membuat beliau tidak mudah dikenal sebagai kiai. Beliau heran melihat santri sedang ‘cuci bersih’ pesantren. Beliau bertanya pada salah seorang santri, “Ada apa, kok bersih-bersih bersama?”

“Kiai Bahar mau ke sini,“ jawab santri itu ringkas.

“Kiai Bahar mana?” lanjut beliau.

“Kiai Bahar dari Sidogiri,” kata santri itu tanpa menyadari yang bertanya itulah yang ditunggu.

Kiai Bahar lalu pergi begitu saja tanpa menyebutkan identitas dirinya, menuju pesarean Mbah Shonhaji dan mengaji al-Qur’an di sana. Setelah itu, beliau langsung pulang, tanpa pesan. Sedangkan sang kiai yang sejak tadi menunggu, tertidur pulas di rumahnya. Sekali lagi Mbah Shonhaji mendatanginya dalam mimpi dan berkata, ”Kiai Bahar sekarang sudah pulang!”

Kiai itupun terbangun, lalu ia bertanya kepada santrinya, “Tadi tidak ada tamu?”

“Tidak ada, Kiai,” jawab santrinya. “Tidak ada seorang pun ke pesarean?” tanya kiai itu lagi.

“Ada tadi, tapi orang biasa, dia bertanya ada apa kok bersih-bersih bersama,” tutur santrinya.

“Ya itu dia Kiai Bahar!” kata sang kiai, kecewa atas keteledoran santrinya.

Penampilan dan tingkah laku Kiai Bahar benar-benar sesuai dengan filosofi yang termaktub dalam kitab al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, “Idfin wujûdaka fî ardhil khumûl (Pendamlah dirimu dalam ke-khumûl-an).”

Sekadar untuk diketahui, hubungan Sidogiri dengan Batu Ampar adalah hubungan doa. Maksudnya, saling mendoakan. Ini terjadi antara Kiai Noerhasan (abah Kiai Bahar) atau Kiai Noerkhotim (kakek Kiai Bahar) dengan Kiai Batu Ampar. Yang satu minta didoakan supaya tujuh turun anaknya menjadi orang alim dan saleh, yang satunya lagi minta didoakan semoga tujuh turun anaknya menjadi wali dan saleh.

Pemersatu Habaib dan Kiai

Pasuruan adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang banyak dihuni oleh habaib (keturunan Rasulullah). Sudah menjadi tradisi di kalangan habaib–yang notabene berasal dari Hadramaut, kampung para wali—berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain yang tak lain tujuannya untuk melanjutkan perjuangan dakwah kakeknya, Rasulullah SAW, terutama di tempat-tempat yang agama Islamnya minoritas atau belum terjamah Islam sama sekali. Demi mengajak umat di dunia ini pada kebenaran tunggal, yakni Islam, mereka rela dengan ikhlas meninggalkan kampung halaman dan tanah air tercinta. Dan Indonesia adalah salah satu sasaran dakwah mereka, hattâ banyak dijumpai di beberapa daerah di negeri ini para habib keturunan dari Hadramaut yang menetap di Indonesia. Sebagain besar habaib yang tinggal di Indonesia ini menetap untuk selama-lamanya, serta melahirkan keturunan-keturunannya di negeri seribu pulau ini.

Adalah Habib Hadi bin Shadiq dari Hadramaut, cucu seorang wali kutub Syekh Abu Bakar bin Salim, habib pertama yang datang langsung dari Hadramaut ke Pasuruan dan menetap di Pasuruan sekitar tahun 1800-an. Disusul kemudian oleh Habib Alwi bin Segaf Assegaf Kebonagung, seorang waliullah yang wafat tanggal 17 Sya’ban 1336 H./28 Mei 1918 M. Beliau adalah guru dari Habib Jakfar bin Syaikhon Assegaf (kakek Habib Taufik bin Abdul Qodir Assegaf) Pasuruan.

Di antara teman baik Kiai Bahar adalah Habib Alwi bin Segaf Assegaf tersebut. Kiai Bahar sering berkunjung ke dalem beliau untuk bersilaturahim. Mereka berdua saling menghormati satu sama lain. Terbukti, suatu ketika seperti biasanya Kiai Bahar mengunjungi Habib Alwi di dalemnya di Kebonagung. Sesampainya di sana, Kiai Bahar disambut dengan baik dan dipersilahkan masuk ke ruang tamu, sedangkan Habib Alwi sendiri masuk lagi ke dalam gandok (ruang keluarga)-nya. Lima menit kemudian, beliau keluar dengan membawa buah kurma yang masih basah dan segar serta getahnya masih menetes seperti baru diambil dari pohonnya, seraya berkata, ”Kiai Bahar, kulo cuma teng panjenengan niki ngetoaken, nang liyane boten. Kerono kulo ngormat teng kekramatane panjenengan. Niki, kulo se’tas ngondo dugi Hadramaut (Kiai Bahar, hanya kepada sampean saya menampakkan/mengeluarkan hal ini, pada orang lain tidak. Karena saya menghormati sampean. Ini kurma untuk sampean, baru saja saya ambil dari Hadramaut Yaman).”

Bagi para wali, bumi ini serasa kecil. Dalam pandangan mereka, bumi ini tak ubahnya sebuah ‘bola’ (dalam segi kecilnya), kapan saja dan ke mana saja mereka mau, dengan seizin Allah dalam waktu sekejap mereka telah sampai ke tempat yang dituju. Seperti itulah Habib Alwi, beliau dari Pasuruan ke Hadramaut hanya untuk mengambil buah kurma demi menghormati sahabat dekatnya, Kiai Bahar, jarak yang demikian jauh ditempuhnya dalam waktu yang relatif singkat: cukup lima menit.

Persahabatan antar ulama—seperti yang dilakukan Kiai Bahar dan Habib Alwi—tentu berdampak positif, yakni banyak membawa manfaat dan menolak mudarat. Di antara dampak positif hubungan karib mereka berdua adalah merukunkan kehidupan kiai-kiai dan habib-habib di Pasuruan. Sebelum masa Kiai Bahar, hubungan antara habaib dan kiai tidak rukun. Baru pada masa Kiai Bahar, Habib Alwi, beserta KH Yasin Pasuruan (kakek Mas Taufik Aqib), oleh beliau-beliau habaib dan kiai dipertemukan menjadi satu, sehingga hidup dengan rukun.

Pernah Habib Alwi kedatangan tamu-tamu habaib dari Hadramaut. Tamu-tamu itu berkata dengan nada meremehkan, “Apa orang Jawa itu!” Mendengar perkataan tamu-tamunya, Habib Alwi tidak terima, lantas beliau memanggil Kiai Ilyas yang waktu itu sedang bekerja memotong kayu. Dengan gergaji di tangannya, Kiai Ilyas datang menghadap beliau. Kemudian Habib Alwi menyuruhnya membaca sebuah kitab untuk memperlihatkan pada tamu-tamunya akan kebolehan Kiai Jawa. “Ayo baca kitab ini dan artikan!” kata Habib Alwi. Maka Kiai Ilyas membaca dan menjelaskan isi kitab itu dengan tepat dan lancar. Melihat “pertunjukan” itu, tamu-tamu dari Hadramaut akhirnya mengakui kepandaian kiai Jawa. Sekadar diketahui, Kiai Ilyas adalah cucu dari Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slaga) Pasuruan.

Ramah dan Dermawan

Kiai Bahar adalah orang yang ramah, terutama kepada tamu. Beliau seorang kiai yang mempunyai banyak tamu. Beliau juga orang yang kaya, tetapi kekayaannya tidak untuk dinikmati sendiri. Beliau menyisihkan sebagian hartanya untuk orang lain yang membutuhkan, seperti tamu, saudara, dan santrinya. Kiai Hasani yang kurang berkenan menerima tamu pernah mengatakan, “Saya bukan Kiai Bahar. Kalau Kiai Bahar, beliau kiai besar, dan orangnya kaya.”

Di antara bukti kedermawanan Kiai Bahar, beliau memondokkan dan membiayai Kiai Nawawie, adiknya, untuk mondok ke Makkah sampai tiga tahap. Dalam tiga tahap tersebut, Kiai Nawawie bertahun-tahun belajar di Makkah. Selain memondokkan dan membiayai adiknya, Kiai Bahar juga memondokkan dan membiayai santrinya yang kurang mampu ke Bangkalan, untuk berguru kepada Kiai Cholil. Setelah mondok di Bangkalan, sang santri kembali mondok ke Sidogiri. Akhirnya, santri tersebut menjadi orang alim dan mendirikan pesantren di kampung halamannya, sampai menjadi ulama yang berpengaruh di sebuah kabupaten di Jawa Timur bagian timur.

Wafat setelah Diundang ke Makkah

Setelah memperoleh berbagai macam ilmu di pesantren Kiai Cholil Bangkalan, KH Nawawie bin Noerhasan adik KH Bahar bin Noerhasan melanjutkan studinya ke Makkah dan berguru kepada beberapa Syekh terkenal di sana. Diperkirakan beliau belajar di Makkah selama 15 tahun, bahkan ada juga yang mengatakan 40 tahun. Beliau pulang ke Sidogiri sebanyak tiga kali.

Syahdan, setelah cukup lama di Makkah, Kiai Nawawie pulang ke Sidogiri. Sesampainya di Sidogiri, beliau ditanyakan seputar masalah agama oleh kakaknya, Kiai Bahar Pengasuh PPS. Namun beliau tidak bisa menjawab. Saat itu Kiai Bahar menegur beliau, “Koen iku mondok pirang-pirang tahun de’ Makkah, dike’i masalah ngene ae ndak iso! Ulaopo ae koen neng Makkah, mangan turu tok tah? (Kamu mondok di Mekah bertahun-tahun, ditanyakan masalah seperti ini saja tidak bisa! Apa saja yang kamu lakukan di Mekah, apa cuma makan dan tidur?)” Lalu setelah diberi motivasi oleh Kiai Bahar agar lebih giat lagi belajar, Kiai Nawawie kembali ke Mekah.

Beberapa tahun kemudian, Kiai Nawawie pulang lagi ke Sidogiri. Kembali beliau disodori sebuah pertanyaan oleh kakaknya. Lagi-lagi beliau tidak mampu menjawab. Kiai Bahar marah, “Koen iku yaopo? Mondok nang Mekah iku ngente’no biaya akeh! Dike’i masalah iki nggak iso, masalah iku nggak iso! (Kamu ini bagaimana? Mondok di Mekah itu menghabiskan banyak biaya! Kok diberi masalah ini tidak bisa, masalah itu tidak bisa!)”

Maka Kiai Nawawie untuk ketiga kalinya kembali lagi ke Makkah untuk memperdalam ilmunya. Setelah dirasa cukup, beliau pulang, kali ini beliau membawa kitab Minhâjul-Qawîm karya gurunya, Syekh Mahfudz Termas. Setibanya di Sidogiri, Kiai Bahar bertanya, “Kitab opo iku, ‘Wie? (Kitab apa itu, Wie?).”

Iki kitab karangane guruku (Ini kitab karangan guru saya),” jawab Kiai Nawawie.

Dello’ dise’! (Coba saya lihat!),” pinta Kiai Bahar. Setelah membacanya, Kiai Bahar memberikan komentar, “He, anu Wie, biasa-biasa gurumu nyarahin kitab iki. Wes, biasa-biasa! Delo’en, iki ndak disyarahi! Le’ gurumu iso nyarahi seng iki, gurumu hebat! (Nawawie, biasa saja cara gurumu mensyarahi kitab ini. Biasa saja! Lihat, ini tidak disyarahi! Kalau gurumu bisa menyarahi yang ini, gurumu hebat!)” Dan memang di bagian yang ditunjuk Kiai Bahar terdapat kalimat yang tidak disyarahi oleh guru beliau.

Karena itu, Kiai Nawawie kembali lagi ke Mekah dengan membawa kitab gurunya setelah kalimat tersebut disyarahi oleh Kiai Bahar. Dan Kiai Nawawie bertekad untuk tidak pulang sebelum bisa mengalahkan kakaknya. Sesampainya di Mekah, beliau menyerahkan kitab itu kepada Syekh Mahfudz Termas, seraya memberitahukan ibarat yang telah disyarahi oleh kakaknya. Tetapi Kiai Nawawie tidak mengungkapkan bahwa yang menyarahi kakaknya sendiri, melainkan menyebutnya “seorang ulama di Jawa.”

Setelah membacanya, Syekh Mahfudz takjub pada kiai yang menyarahi kitab itu, karena pemahamannya yang begitu halus dan mendalam. “Ya, memang ini yang belum saya syarahi, karena saya tidak tahu. Kiai ini betul-betul alim, bisa menyarahi. Betul-betul halus dan mendalam dalam memahami kitab,” pujinya. Guru Kiai Nawawie itu ingin bertemu dengan kiai tersebut. Akhirnya Kiai Bahar diundang ke Makkah. Di sana, baru Syekh Mahfudz mengetahui bahwa Kiai Bahar adalah kakak dari muridnya sendiri. Tidak lama dari peristiwa itu, sepulangnya dari Makkah Kiai Bahar tutup usia di Sidogiri. Kiai Nawawie yang masih berada di Makkah, disurati supaya segera pulang menggantikan kakaknya sebagai pengasuh PPS.

Sebenarnya, Kiai Bahar memang mempersiapkan Kiai Nawawie untuk menjadi Pengasuh selanjutnya. Pada saat Kiai Nawawie pulang dari Makkah, Kiai Bahar berkata, “Koen tak pondokno adoh duduk polae opo, polae mbesok turunanmu sing bakal nyekel Sidogiri. (Kamu saya mondokkan jauh-jauh ke Mekah bukan untuk apa. Karena kelak anak keturunanmu yang akan memegang kepengasuhan Sidogiri)” Kata-kata ini, selain menunjukkan bahwa Kiai Bahar menaruh harapan besar pada Kiai Nawawie, juga menunjukkan karamah Kiai Bahar, yang mengetahui bahwa kelak keturunan Kiai Nawawie-lah yang akan terus mengasuh PPS.

Dari kata-kata ini dapat juga dipahami, mengapa Kiai Bahar menguji dan memarahi Kiai Nawawie saat pulang dari Makkah. Ternyata beliau melakukannya agar Kiai Nawawie mau kembali ke Makkah dan memperdalam kembali ilmunya, sebelum menjadi pengasuh PPS.

Tampak sebagai Macan Putih

Mengenai tanggal wafat Kiai Bahar, tidak ditemukan keterangan yang benar-benar detail. Selain karena rentang waktu yang cukup jauh, juga karena tidak adanya keturunan beliau yang berlanjut hingga sekarang, sehingga dapat menjelaskan lebih banyak tentang beliau. Namun bila merujuk pada kalender PP. Sidogiri yang diterbitkan tiap tahun, di sana tertulis bahwa KH Bahar bin Noerhasan bin Noerkhotim wafat pada tanggal 06 Dzul Qa’dah.

Diperkirakan Kiai Bahar wafat tahun 1920-an. Yang jelas, beliau wafat sebelum wafatnya Kiai Cholil Bangkalan (1925), juga sebelum didirikannya Nahdlatul Ulama (1926). Pada waktu Nahdlatul Ulama didirikan, Pengasuh PPS adalah Kiai Nawawie. Dua hari sebelum wafat, Kiai Bahar mengalami sakit panas. Kemudian beliau wafat di dalemnya yang kemudian menjadi dalem KH Abd Adzim bin Oerip (sekarang ditempati oleh Mas Ahmad Baqir), yaitu di timur dalem KA Sa’doellah Nawawie. Beliau dimakamkan di pesarean keluarga PPS, tepat di barat makam putranya, Mas Abd Ghoni.

Ada yang menarik tentang Kiai Bahar pasca wafatnya. Yaitu, kalau terlihat macan putih di pesarean Sidogiri, macan itu adalah Kiai Bahar. Setelah wafatnya, Kiai Bahar memang sering tampak kepada santri berupa macan putih. Pernah seorang santri mengaji di barat jendela masjid Sidogiri. Tiba-tiba, muncul macan putih di hadapannya. Maka santri tersebut menanyakan tentang macan putih itu kepada salah satu Masyayikh Sidogiri. Langsung beliau menjawab bahwa macan putih itu adalah Kiai Bahar. Besoknya santri itu mengaji di tempat yang sama, ternyata dia mendengar suara suara hâtif (suara tanpa wujud) yang menyuruhnya untuk pergi ke sungai Ngempit. Paginya, santri itu berangkat ke sungai Ngempit, di sana ia menemukan seorang pengemis yang meminta rokok dua batang. Oleh santri itu, pengemis tersebut diberi satu pak rokok, tetapi dia tidak mau. Akhirnya, oleh santri itu dia diberi diberi rokok dua batang. Kemudian santri itu diberi akik oleh pengemis misterius itu.

Namun, sumber lain menjelaskan bahwa sosok di balik “macan putih” itu adalah Kiai Noerhasan, yang tak lain adalah ayahanda Kiai Bahar.

Karamah dan Keistimewaannya

Tidak banyak karamah Kiai Bahar yang diceritakan orang. Tetapi bukan berarti beliau tak memiliki karamah. Karamahnya yang paling besar adalah ilmu ladunni yang dimiliki. Ilmu ladunni menjadi tanda bahwa beliau adalah salah seorang wali kekasih Allah SWT. Karena ilmu ladunni tidak dapat dimiliki kecuali oleh seorang nabi atau wali. Hal ini berdasarkan keterangan Imam al-Ghazali dalam ar-Risalah alLadunniyah, “Wahyu adalah perhiasan para nabi (baca: rasul), sedangkan ilham adalah perhiasan para wali. Ilmu wahyu hanya dikhususkan kepada para rasul. Sedangkan ilmu ladunni, untuk golongan nabi dan wali.”

Di antara karamah Kiai Bahar adalah kemampuan beliau menebang rumpun-rumpun bambu dan menghabiskan berbagai macam makanan dalam waktu cepat, saat diperintah Kiai Cholil di pondok Bangkalan.

Karamah lain tampak saat kematian orang Cina di desa Ngempit. Pada masa Kiai Bahar, seorang Cina yang menetap di Ngempit (desa tetangga Sidogiri) meninggal dunia, tepat pada hari Rabu. Kemudian masyarakat tidak mau memakamkan orang itu di pemakaman orang Islam, karena dia dianggap mati kafir. Sedangkan pihak keluarga si Cina meminta agar ia dimakamkan di pemakaman Islam. Tak ayal, masyarakat bersitegang dengan ahli warisnya. Setelah itu, Kiai Bahar datang dan langsung menyuruh masyarakat untuk mengubur di pemakaman Islam. Pada akhirnya, masyarakat sekitar mau memakamkannya itu di pemakaman Islam. Setelah lewat satu minggu, barulah terungkap bahwa ternyata orang Cina itu telah berikrar masuk Islam enam hari sebelum meninggal. Ternyata, Kiai Bahar tahu bahwa orang Cina tersebut sudah masuk Islam.

Di antara karamahnya lagi, kalau wiridan, beliau khusyuk, tidak terpengaruh oleh apa yang terjadi di sekitarnya, seperti suara mercon yang keras dan banjir besar. Syahdan, pada suatu hari Jumat, setelah shalat Jumat Kiai Bahar tidak turun dari masjid Sidogiri. Tiba-tiba datang banjir bandang. Banjir itu banjir besar, tingginya sampai tangga pertama masjid. Padahal masjid Sidogiri berada di dataran yang lebih tinggi daripada tempat lain. Maka tak heran bila rumah masyarakat Sidogiri banyak yang terendam banjir. Mereka sangat susah, sehingga banyak yang menangis.

Tetapi Kiai Bahar di masjid yang sedang wiridan tidak tahu kalau ada banjir. Beliau baru tahu ketika hendak keluar dari masjid, ternyata terompahnya tidak ada. “Endi terompahku, Rek? (Mana terompahku?),” tanya beliau. “Banjir, Kiai!” kata orang-orang. “Banjir yo kok ndak kondo! (Ada banjir kok tidak bilang-bilang!)” kata beliau, padahal banjirnya sudah cukup lama. Akhirnya, beliau meludah ke air banjir satu kali. Apa yang terjadi? Air banjir berangsur-angsur surut, dan terompah beliau kembali ke tempatnya karena terikut ombak banjir yang surut. “Lha iki opo,” kata beliau saat melihat terompahnya.

Di antara keistimewaan beliau lainnya, KH Asy’ari al- Baweani—pakar ilmu Falak, penulis kitab Muntahâ Natâ’ijil-Aqwâl yang menetap di Podokaton—pernah ditantang oleh Kiai Bahar, “Ayo, coba itungno teko masjid sampe’ pesarean, piro dowone? (Ayo, coba hitung berapa panjangnya jarak dari masjid ke pesarean?)” Ditantang seperti itu, Kiai Asy’ari tidak berani menjawabnya langsung. Karena ia melihat di belakang Kiai Bahar ada Nabi Khidir AS. Sebenarnya Kiai Asy’ari mengetahui berapa panjangnya, akan tetapi beliau khawatir jangan-jangan setelah dijawab, ukurannnya akan bertambah panjang.

Itulah sekelumit di antara keistimewaan beliau. Bahkan KH Cholil Nawawie pernah berpesan, kalau ingin hajatnya terkabul dan punya pangkat yang luhur, maka tawasullah di makam Kiai Bahar. Pernah ada seorang tamu berkunjung kepada Kiai Cholil karena ingin meminta bacaan atau amalan, supaya sukses dan terpilih dalam pencalonannya. Kiai Cholil menyarankan tamunya itu agar berziarah ke makam Kiai Bahar, ”Aku duduk dukun! Woco’o al-Ikhlas tellung atus tellu wellas de’ makame Kiai Bahar iku! (Aku bukan dukun! Baca saja surat al-Ikhlas 313 kali di pesareannya Kiai Bahar!)”

Pada kesempatan lain, Kiai Cholil dawuh, “Lek nang pesareane Kiai Nawawie, moco surat Yasin. Le’ nang Kiai Bahar, moco surat al-Ikhlas! (Kalau berziarah ke pesarean KH Nawawie bin Noerhasan, baca surat Yasin. Dan kalau berziarah ke pesarean Kiai Bahar, baca surat al-Ikhlas!)” Wiridan Kiai Bahar semasa hidup memang Ayat Kursi dan surat al-Ikhlas. Sedangkan doa atau wiridan seorang kiai yang sering dibaca ketika hidupnya, apabila dibacakan di makamnya setelah wafat, maka insya Allah hajatnya cepat terkabul. Riwayat lain menyebutkan, kalau ke pesarean Kiai Bahar, baca surat al-Ikhlas 11 kali.

Dan menurut sebagian riwayat lain, “Kalau mondok di Sidogiri ingin ilmu ladunni (ilmu tanpa belajar), maka tawasulnya kepada Kiai Bahar. Sedangkan kalau ingin mutabahhir (mendalam) ilmunya, maka tawasulnya kepada Kiai Nawawie.” Selesai.

Pesan buku

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *