Masyayikh Sidogiri

KH. Noerhasan Nawawie (Bagian III/Selesai)

KH. Noerhasan Nawawie
KIAI NOERHASAN BIN KIAI NAWAWI
KIAI NOERHASAN BIN KIAI NAWAWI
KIAI NOERHASAN BIN KIAI NAWAWI

KH. Noerhasan Nawawie sebagai Ulama: Putra Tertua yang Tak Mau Jadi Pengasuh 

Salah satu keunikan Pondok Pesantren Sidogiri (PPS) yang mengagumkan adalah sifat tidak ambisius dan saling mengalah yang dimiliki kiai-kiainya. Ketika Pengasuh PPS KH. Nawawie bin Noerhasan, berpulang ke Rahmatullah pada 25 Syawal 1347 H, kepengasuhan PPS sempat kosong selama satu tahun lebih. 

Demikian itu dikarenakan kelima putra beliau masih kecil-kecil, dan menantu pertamanya, KH. Abd. Adzim bin Urip, tidak mau dijadikan Pengasuh. “Djalil iku entenono! (Tunggu datangnya Djalil!),kata beliau. Yang dimaksud adalah KH. Abd. Djalil bin Fadlil, yang juga menantu Kiai Nawawie, yang sedang berada di Mekah. Waktu itu, perjalanan Indonesia Mekah lama, sekitar 7 bulan, karena menunggu kapal. Kiai Abd. Adzim mengirim surat pada Kiai Abd. Djalil untuk segera pulang.  

Sesuai perintah Kiai Abd. Adzim, para santri dengan sabar menunggu datangnya Kiai Abd. Djalil. Mereka tidak boyong. Kalau pun ada yang pindah sementara, mereka kembali setelah datangnya Kiai Abd. Djalil. Tetapi ternyata Kiai Abd. Djalil bersikap sama dengan Kiai Abd. Adzim, beliau tidak mau menjadi Pengasuh. Namun karena Kiai Abd. Adzim tetap tidak bersedia, maka Kiai Abd. Djalil menerima amanat berat ini. Dan kepengasuhan PPS tak pernah dipegang dua orang, kecuali di masa kedua menantu Kiai Nawawie tersebut. 

Maka putra-putra Kiai Nawawie yang masih kecil diasuh oleh Kiai Abd. Djalil. Beliau mengajar mereka, dan memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari. Sehingga kelima putra Kiai Nawawie itu tumbuh dewasa.  Pada tahun 1947, Kiai Abd. Djalil syahid ditembak Belanda sebagai pejuang pembela Kemerdekaan Indonesia. Maka berembuglah lima putra Kiai Nawawie—yang saat itu telah dewasa—untuk menentukan pengganti Kiai Abd. Djalil. Mereka biasa disebut Panca Warga, yakni KH. Noerhasan, KH. Cholil, KH. Siradjul Millah-Waddin, KA Sa’doellah, dan KH. Hasani. Dalam rapat tersebut, yang dinginkan menjadi  Pengasuh PPS adalah Kiai Noerhasan, karena beliau yang tertua.  

Tapi beliau tidak berkenan menjadi Pengasuh, dengan alasan dalem beliau ada di timur, jauh dari pusat pesantren. Beliau berdalih tidak sanggup menjadi Pengasuh yang harus bolak-balik ke barat dan ke timur, untuk memberikan pengajian kitab pada santri di surau Daerah H, di barat. “Ojok aku sing dadi Pengasuh, omaku adhoh. Mosok aku kate wira-wiri bendino? Cholil ae, bhen enak, cidek omahe. (Jangan saya yang menjadi Pengasuh, rumah saya jauh. Masak saya akan bolak-balik ke barat-ke timur setiap hari? Cholil saja, biar enak, karena rumahnya dekat)”.  

Akhirnya diputuskan Kiai Cholil yang menjadi Pengasuh PPS. Sehingga dalam peralihan pucuk kepemimpinan PPS saat itu tidak terjadi kekosongan, sebagaimana terjadi sebelumnya saat peralihan kepengasuhan dari Kiai Nawawie bin Noerhasan pada Kiai Abd. Djalil. Dan memang setelah Kiai Djalil wafat, Kiai Cholil  mendapat isyarah untuk menjadi Pengasuh saat sowan pada KH. Hamim Podokaton. Saat itu Kiai Hamim mengatakan, “Kanjeng Nabi bintangono!”. Entah apa artinya, yang jelas ucapan tersebut adalah isyarah untuk menjadi Pengasuh. Demikian kesimpulan riwayat dari KH. Abd. Alim Abd. Djalil dan KH. Fuad Noerhasan.  

Dalam  riwayat lain dari KH. Nawawie Abd. Djalil dan Mas Bahruddin Thoyyib, disebutkan bahwa Kiai Noerhasan menolak menjadi Pengasuh, dan Kiai Abd. Djalil menyerahkan kepengasuhan pada Kiai Cholil setelah Kiai Cholil pulang dari belajar di Mekah. Jadi beliau menjadi Pengasuh sejak masa Kiai Abd. Djalil masih hidup, yakni sejak usia 17 tahun.    

Lepas dari itu semua, karakteristik Kiai Noerhasan Nawawie yang selalu bersikap tawaduk, khumul (low profile) dan bersahaja, rupanya telah mendorong beliau untuk menolak menjadi Pengasuh PPS. Kedudukan sebagai Pengasuh pesantren besar ternyata tidak menyilaukan mata beliau.  

Malahan pada awal-awal kepindahannya ke area Daerah I, beliau tak berkenan menjadi kiai yang mempunyai santri dan pondok. Namun KA Sa’doellah, adiknya, memerintahkan pada santri agar kamar cangkruk Daerah A yang dipugar, dipindah ke area dalem Kiai Noerhasan di timur. Dan Kiai Cholil, adiknya yang menjadi Pengasuh PPS, mendirikan surau untuk Kiai Noerhasan  di depan dalemnya. 

Oleh karena itu, tak berlebihanlah kiranya bila Kiai Noerhasan disebut sebagai Kiai Sufi tanpa ambisi. Atau Putra Mahkota yang tak mau jadi raja. Suatu sikap yang patut dibuat pelajaran oleh para calon pemimpin.     

Telaten dan Ikhlas 

Kendati tak ingin menjadi kiai, Kiai Noerhasan dengan penuh tanggung jawab tetap mengajar santri-santri yang ingin mengaji pada beliau. Setiap pagi, kira-kira pukul 8, beliau membacakan kitab pada mereka. Baik santri yang bermukim di Daerah I sendiri, maupun yang bermukim di Daerah-Daerah barat. Adapun kitab yang dibaca adalah Iqna’, Fathu al-Qorib; sedangkan yang Tasawuf kitab Bidayatu al-Hidayah. Tak cukup itu, beliau juga menyelenggarakan pengajian kitab setelah salat Subuh, Duhur dan Asar bagi santri Daerah I dengan kitab-kitab kecil, seperti Safinatu al-Najah, dan Jurmiah. Juga Kailani, Kafrawi, dan Mutammimah, yang diikuti oleh KH. Nawawi Abd. Djalil dan Mas Nawawi Ma’shum . Khusus jam 11 pagi, beliau membacakan kitab Ihya’ Ulumi al-Din, Fathu al-Mu’in dan Fathu al-Wahhab untuk para anggota keluarga dan Habaib dari Pasuruan.  

Ketelatenan dan keikhlasan beliau dalam mengajar santrinya tampak dengan jelas, bagi siapa pun yang melihatnya. Sebab beliau tak memandang banyak dan sedikitnya orang yang mengaji. Jadi walau pun santri yang mengaji hanya tiga atau empat orang, beliau tetap layani dengan baik. Setiap hari beliau seakan tak pernah lelah untuk beramal, utamanya dalam mengajar. 

Kiai Noerhasan tidak hanya mengajar kitab, beliau juga mengajar al-Quran. Setiap selesai salat Magrib, beliau mengajar al-Quran pada santri-santrinya. Caranya dengan bergilir satu persatu maju ke hadapan beliau. Beliau membacakan terlebih dahulu, lalu menyuruh santri yang mendapat giliran untuk membaca. Hal itu terus bergilir sampai selesai.  

Cikal Bakal Pembangunan Daerah I 

Dorongan sifat khumul (low profile) dan rasa tak ingin menampakkan diri yang dimiliki, rupanya memaksa Kiai Noerhasan setelah menikah, untuk memilih berpisah dari keramaian santri dan  suasana pondok. Tepatnya di selatan lapangan Desa Sidogiri. Di dalemnya itu, beliau mengadakan pengajian pada orang kampung setiap malam Selasa dan malam Jumat. Selain itu, setiap malamnya beliau juga mengajar mengaji al-Quran pada anggota keluarganya.

Hingga akhirnya, sekitar tahun 50-an, datang dua orang bersaudara dari Magelang Jawa Tengah bernama Nawawi dan Abd. Ghafur. Keduanya berkelana, berjalan dari Jawa Tengah tanpa tujuan sampai ke Pasuruan. Mendengar kesohoran Kiai Hamid Pasuruan, keduanya sowan pada beliau dan bermaksud mondok sekaligus menjadi khadam, karena mereka tak punya biaya. Namun oleh Kiai Hamid keduanya disuruh ke Sidogiri, untuk berguru pada Kiai Noerhasan Nawawie.  

Karena taraf ekonomi Kiai Noerhasan juga bisa dibilang miskin, beliau tak bisa menanggung keduanya. Maka dari itu, kedua santri Kiai Noerhasan ini kalau malam mengaji pada beliau, dan siangnya bekerja sebagai pandai besi, membuat alat pertanian seperti arit, pacul, lempak, dsb. Dengan hasil yang sedikit itu, mereka berdua membiayai hidupnya sendiri.

Bermula dari dua santri tersebut, lama-kelamaan banyak santri yang ngalong (mengaji dari rumah masing-masing) pada Kiai Noerhasan, sehingga Kiai Cholil mendirikan sebuah langgar kecil klenengan. Yakni langgar yang separuh bagian bawahnya berbahan batu bata, dan bagian atasnya terbuat dari gedek/anyaman bambu. 

Seiring perjalanan waktu, santri beliau makin hari makin bertambah. Langgar yang semula terbuat dari anyaman bambu terpaksa dipugar dan diganti bangunan tembok. Lalu dilengkapi dengan dua pondokan yang terbuat dari anyaman bambu di depan bagian utara langgar, tepat di bawah pohon mangga. Santri beliau yang menetap hanya berkisar 5 sampai 10 orang, yang beralaskan kelaras (daun pohon pisang yang sudah kering). Namun pada akhirnya, santri yang menetap mulai berdatangan, di antaranya dari Desa Karang Pandan, Kepuh, Cobanjoyo, Kejayan, dsb, hingga santri beliau mencapai kira-kira 40-an. 

Sesuai instruksi dari Kiai Sa’doellah, yang ketika itu menjabat Ketua Umum PPS, bekas Daerah A yang akan dipugar menjadi bangunan tembok dua tingkat—yang berupa cangkruk dari kayu—dipindah ke Daerah I.“Wis deleen ndik Kang ‘Mad ae,” ungkap beliau pada sebagian Pengurus. Maka resmilah mereka memindah kamar cangkrukan itu, dan diletakkan berjejer dari barat ke timur menghadap selatan.  

Sedangkan bangunan Daerah I bagian timur yang menghadap ke barat sekarang, adalah hasil pembangunan Kiai Noerhasan melalui dana yang dikumpulkan dari hasil ‘mengisi’ pecut dan rotan (penjalin) dengan ilmu tenaga dalam di masa meletusnya Gestapu PKI. Namun belum sampai ditempati, Kiai Noerhasan terlebih dahulu pulang ke Rahmatullah. 

‘Mengisi’ Pecut dan Penjalin di Masa PKI  

Selain terkenal akan sifat tawaduknya, Kiai Noerhasan juga termasyhur di kalangan masyarakat luas akan kemampuannya mengisi suatu barang dengan kekuatan magis. Pada awalnya, beliau tak dikenal mempunyai kemampuan supranatural seperti itu. Namun belakangan hari, saat meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), baru beliau dikenal oleh masyarakat luas memiliki kemampuan lebih tersebut.

Hal itu berawal dari sebuah kejadian. Suatu hari, saat suasana genting akibat pemberontakan yang dilakukan komplotan PKI dan pembunuhan para ulama, Kiai Noerhasan membuat pecut dari rotan yang diisi kekuatan tenaga dalam sebanyak 4 buah, lalu diserahkan pada santri yang mendapat giliran jaga.  

Selang seminggu dari pembuatan pecut itu, ternyata ada 4 orang PKI yang akan menyusup ke Sidogiri dan berencana menyerbu dan menculik Kiai Sidogiri. (Sebelum kejadian itu, semua kiai oleh pemerintah diperintah menyetorkan foto. Kiai kiai Sidogiri pun menyetorkan foto). Keempat PKI itu naik becak dari Warungdowo dengan membawa kotak besi, dan minta diturunkan di pertigaan Sidogiri. Anehnya, sesampainya di jembatan timur dekat langgar wakaf, mereka minta diturunkan di sana, yang saat itu suasananya sangat gelap. Keganjilan ini menimbulkan kecurigaan di benak tukang becak yang mengantarkan mereka, apalagi peti yang dibawa berat sekali.   

Akhirnya, tukang becak itu meninggalkan mereka dan terus mengayuh becaknya ke Sidogiri. Sesampainya di Sidogiri, ia langsung menuju dalem Kiai Noerhasan. Di sana ia dijumpai Mas Ghazi, putra Kiai Noerhasan, yang sedang tidur-tiduran di depan dalem sambil dipijat khadam bernama Anshari. Lalu ia menceritakan keganjilan dari keempat penumpangnya tadi pada Mas Ghazi. Mendengar penuturan tukang becak itu, Mas Ghazi langsung memanggil Keamanan Daerah I masa itu, yang bernama Mukhsin. Mukhsin diperintah untuk menggerakkan para santri menggerebek rumah salah seorang yang dicurigai sebagai antek PKI. 

Sedangkan Anshari, menemui Kiai Noerhasan yang sedang istirahat di dalemnya. Oleh Kiai Noerhasan, ia disuruh menemui yang bermukim di barat.  

Baru sekitar pukul 2 dini hari, para antek PKI tersebut bisa dilumpuhkan setelah melalui perlawanan sengit menggunakan berbagai senjata. Mereka pun digelandang ke sebuah rumah di timur lapangan Sidogiri. Tetapi walaupun tertangkap, mereka tak bisa dibunuh, karena kebal senjata.  Akhirnya, melihat keanehan itu, Mas Ghazi menyuruh Anshari mengambil sebuah tongkat milik Kiai Noerhasan yang ada di dalem. Dengan sekali kibasan, dari tubuh PKI yang dipukul dengan tongkat tersebut, terpercik api dan ia langsung roboh. Walhasil, setelah pemukulan itu, keempat orang itu pun mempan senjata tajam. Akhirnya mereka dihabisi oleh masyarakat setempat.   

Setelah kejadian itu, nama Kiai Noerhasan termasyhur. Banyak masyarakat berbondong-bondong datang untuk mengisikan rotan pada beliau, baik dari sekitar Sidogiri maupun dari luar. Bahkan sampai ada tamu dari Malang yang membawa rotan satu truk penuh, sehingga rotan di dalem beliau menumpuk sampai atap. Walau Kiai Noerhasan tak menarik upah pada mereka, mereka tetap saja memberikan sedikit uang sebagai penghormatan dan rasa terima kasih pada beliau.  

Akhirnya, hasil uang Jaza’an itu beliau kumpulkan untuk membangun pemukiman santri Daerah I. Bahkan beliau melarang istrinya mengambil uang tersebut sepeser pun. “Ojok ngame’ duwe’ iku, ngono gawe pondok,” kata Kiai Noerhasan. 

Afirmasi Karamah KH. Noerhasan Nawawie: Berwujud Dua, Berbicara dengan Izrail 

Kekuatan adikudrati karamah memiliki banyak bentuk, misalnya kemanjuran doa, menempuh perjalanan jauh dalam waktu sesaat, mengetahui masalah ghaib yang tak bisa diindra, hadir di beberapa tempat berbeda, dsb. Yang semuanya dikhususkan pada para wali kekasih Allah SWT.

Rupanya KH. Noerhasan bin Nawawie adalah salah satu kekasih Allah SWT, yang memiliki kekeramatan semacam itu. Syahdan, ada salah satu tetangga beliau yang rumahnya berada di timur dalem beliau. Mata pencaharian tetangga beliau ini adalah menambal ban di bengkel depan rumahnya setiap hari. Profesinya itu rupanya melalaikan dia, sampai-sampai setiap harinya tak pernah melaksanakan kewajiban salat lima waktu.  

Suatu hari saat berada di bengkel, ia melihat Kiai Noerhasan berjalan ke utara lapangan Sidogiri. Padahal waktu itu hari Jumat, hari di mana semua umat Islam wajib menunaikan ibadah salat Jumat berjamaah, apalagi saat itu jarum jam sudah menunjukkan tepat pukul 12 siang. Dalam hatinya, tetangga itu mengatakan, “Bagaimana Kiai Noerhasan ini? Orang Jumatan, kok jalan-jalan ke Ngempit! Katanya kiai, kok tidak Jumatan!” 

Selang beberapa lama, suatu keanehan terjadi. Saat semua jamaah Jumat pulang dari masjid di barat pesantren, Kiai Noerhasan malah ikut pulang bersama mereka. Kejadian itu membingungkan si tetangga, hingga ia bertanya pada salah seorang jamaah, “Kiai Noerhasan itu tidak  Jumatan tah?”. Ternyata jawaban tak terduga yang ia terima, “Lo, Kiai ada di depan!”. Tentu saja ia makin keheranan.   

Maka dengan kejadian tersebut, tetangga Kiai Noerhasan yang tak pernah salat itu langsung sadar dan merasa bersalah terhadap apa yang selama ini ia lakukan. Akhirnya ia bertaubat dan menjalankan ibadah dengan tekun. Sehingga di akhir hayatnya ia menjadi hamba yang tekun beribadah demi mencapai husnul khatimah. Kejadian serupa juga pernah terjadi ketika Kiai Noerhasan diundang ke dua tempat berbeda dan bersamaan waktunya. Ternyata beliau dapat menghadiri dua undangan tersebut. 

Jarak jauh yang harus ditempuh beberapa hari, bagi seseorang yang mempunyai kedudukan wali di sisi Allah , bukanlah hal yang sulit untuk ditempuh cepat dalam sekedip mata. Karena menurut pandangan wali, dunia tak ubahnya lempengan kecil yang bisa dijelajahi hanya dengan satu langkah. Pernah hal itu diungkapkan sendiri oleh Kiai Noerhasan pada khadamnya Anshari, “Lek wali niku ‘Shor, ndelok jagad kidul bolong, ndelok jagad wetan bolong, ndelok jagad lor bolong. Dadi niku dados sak loyang ngoten, lek segoro niku sak kemiren jerone. (Seorang wali itu ‘Shor, melihat bumi bagian selatan, bolong; melihat bumi bagian timur, bolong; melihat bumi bagian utara, bolong. Jadi, luas bumi itu seakan seperti loyang atau talam besar. Sedangkan dalamnya lautan seolah hanya setinggi mata kaki)”.   

Karamah beliau yang paling tampak adalah di hari wafatnya. Yakni dengan banyaknya pelayat yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Fenomena ini merupakan bukti nyata dawuh beliau pada salah satu santri di saat beliau sakit parah. Di sela-sela sakit yang dideritanya, Kiai Noerhasan mengungkapkan bahwa karamah seorang wali bisa dilihat dari kejadian di hari wafatnya. Ternyata hal itu terbukti pada hari wafat beliau sendiri, dengan membludaknya pelayat yang hadir pada saat itu, padahal beliau tak begitu dikenal. Hal ini adalah suatu tanda kewalian beliau. 

Suatu hari Kiai Noerhasan mengatakan pada khadamnya, Saya besok ingin (makan) ikan Lele”. Diluar dugaan, ternyata keesokan harinya saat salah satu santri beliau mandi di sungai, di tengah asyiknya mandi ia diloncati ikan Lele. Maka ikan Lele itu ia berikan pada Kiai Noerhasan. 

Dan suatu hari ada Habib dari Kota Pasuruan hendak sowan pada Kiai Noerhasan. Sesampainya di lapangan, Habib itu uluk salam pada Kiai Noerhasan. Sedangkan Kiai yang berada di dalem, menjawab salam itu. Kata khadamnya, Kiai menjawab salam sendirian tanpa terlihat ada orang yang beruluk salam.  

Kalau Belajar, Tambah Tak Bisa Mengajar 

Pengajian kitab Kiai Noerhasan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, beliau mengajar pada anggota keluarga dan Habaib dari Pasuruan. Pengajian ini ditempatkan di dalem, pada jam 11.00 WIS. Kitab yang beliau ajarkan pada pengajian tersebut adalah Ihya’ Ulumiddin, Fathu al-Muin, dan Fathu al-Wahhab. Kedua, beliau mengajar kitab pada santri. Untuk pengajian ini, beliau menempatkannya di surau depan dalem, waktunya malam hari. Kitab yang beliau baca untuk santri adalah kitab-kitab kecil, seperti Fathu al-Qarib, Sullamu al-Taufiq, dll. Kata beliau, “Lek ngaji ojok keh-akeh, engkok nggak muat (Kalau mengaji jangan banyak-banyak, nanti tidak muat).  

Ada keanehan pada diri beliau di saat mengajar. Sebab tak sejalan dengan kebiasaan yang ada. Kalau belajar terlebih dahulu sebelum mengajar, beliau malah tidak bisa mengajar. Pernah hal itu diungkapkan pada santri yang mengaji, di saat beliau membacakan kitab Taqrib. Kata beliau dengan bahasa Madura, “Engkok bennean ben Kiai Cholil. Mun Kiai Cholil a muthala’ah; engkok mun amothala’ah sajen tak taoh (Saya berbeda dengan Kiai Cholil, adik saya. Kalau Kiai Cholil, sebelum mengajar muthala’ah dulu. Kalau saya muthala’ah dulu, malah tambah tidak tahu!). 

Dan seperti diceritakan sebagian muridnya, ketika mengajar kitab pada santri, Kiai Noerhasan tidak memakai pengeras suara, padahal santri yang mengaji sangat banyak. Tapi anehnya, suara beliau terdengar lantang jauh sekali. Dari tempat beliau mengajar, yakni surau Daerah I selatan lapangan Desa Sidogiri, suara beliau terdengar jelas sampai ke pertigaan jalan. Jaraknya kira-kira 50m. Padahal dalam mengajar, beliau bersuara biasa, tidak mengeraskan suaranya.  

Bahkan lebih aneh lagi—sebagaimana diungkapkan salah satu santri yang mengikuti pengajian beliau—kitab yang diambil dari peti khususnya saat pengajian, dan diajarkan pada santri, ternyata kitab itu-itu saja, tidak berubah. Padahal yang diajarkan pada santri banyak macamnya, dari pagi sampai siang kitabnya selalu berganti, dari Tafsir Jalalain dan Iqna’, Durratu al-Nashihin dan Fathu al-Qarib. Dan ketika mengajar, Kiai Noerhasan seakan hafal pada apa yang ada di kitab, sehingga beliau cepat dalam memaknai, dan tidak pernah berhenti kecuali ada lafal yang butuh diterangkan. 

Salam pada Imam di Mekah 

Berikut kisah menarik lainnya tentang karamah Kiai Noerhasan Nawawie. Ada seorang tokoh masyarakat atau tepatnya kiai, bertamu ke dalem beliau. Tamu itu bercerita bahwa ia selalu berkunjung ke Mekah setiap hari Jumat, dan

Jumat depan ia berencana ke sana lagi. Kata Kiai Noerhasan, “Nanti kalau ke Mekah, tolong sampaikan salam saya pada yang ngimami di sana!”.   

Maka pada hari Jumat selanjutnya, ceritanya kiai itu berangkat lagi ke Mekah. Setelah salam salat Jumat, kiai itu menyampaikan salam yang dipesankan Kiai Noerhasan, “Syekh, saya menyampaikan salamnya Kiai Noerhasan bin Nawawie Sidogiri”. Tiba-tiba tempat berpijak kiai itu berubah menjadi pohon yang besar, bukan Mekah seperti yang ada dalam perasaannya. Ternyata, kiai itu telah dikelabui setan atau jin. Dan Kiai Noerhasan mengetahui hal itu lewat ketajaman Ainul bashirah (mata hati) yang beliau miliki.  

Ketajaman Ainul bashirah yang dimiliki Kiai Noerhasan seakan memang keluar dari aura kewaliannya. Selain terbukti dalam kisah salam di atas, hal itu juga terbukti pada saat putri beliau yang bernama Ning Luluk akan meninggal. Beliau sudah mengetahuinya sebelum terjadi.  

Hal itu diungkapkan Kiai Noerhasan pada khadamnya. Suatu hari, beliau berbicara sendiri saat duduk-duduk di kursi berukir yang menjadi kebiasaannya. Padahal di sampingnya tidak ada siapa-siapa. Selang tidak seberapa lama, khadamnya datang pada beliau. Lalu beliau menjelaskan bahwa yang datang barusan adalah Malaikat Izrail, yang katanya akan membawa pergi (mencabut nyawa) putrinya, Ning Luluk. Selain itu, beliau juga menyaksikan bagaimana Malaikat Izrail membawa putri beliau. Hal ini beliau tuturkan pada khadamnya yang lain, “Awakmu mau turu tok, ndak ngerti mau onok Malaikat Izrail gowo anakku” (Kamu tadi tidur terus, tidak tahu kalau tadi Malaikat Izrail datang membawa pergi anakku).  

Suatu hari, saat khadam bernama Anshari menyapu halaman depan dalem, tiba-tiba ada seorang pengemis memakai baju putih. Oleh dia, pengemis itu dihadang. Ternyata dari dalam rumah, Kiai Noerhasan berkata, ”Masukkan ‘Shor!”. Pengemis itu masuk dan disambut dengan begitu hormat oleh beliau. Setelah itu Anshari ditanya oleh Kiai Noerhasan, Lo, tidak ‘salaman dengan orang tadi?”.Tidak, kiai,” jawabnya. Ternyata pengemis itu adalah seorang yang sering menemui beliau, dan diyakini sebagai tokoh misterius Nabi Khidir AS. 

Wafatnya KH. Noerhasan Nawawie: Dihadiri Habaib Luar  Negeri, Makamnya Melebar 

Suatu hari, kira-kira jam 11 siang, KH. Noerhasan Nawawie minta dikupaskan buah mangga. Lalu khadamnya mengambilkan mangga dan mengupasnya, kemudian disuapkan pada beliau yang terbaring lemah karena sakit. Setelah itu si khadam kembali masuk sekolah. Tiba-tiba seluruh keluarga dalem menangis, Kiai Noerhasan wafat. 

Usia beliau genap 50 tahun, versi lain 58 tahun. Beliau dipanggil untuk pulang ke hadirat Allah  pada Ahad Pahing, 26 Shafar 1387 H/04 April 1967 M, setelah mengalami sakit selama 2 bulan dan sangat parah selama 11 hari.  

Dengan wafatnya Kiai Noerhasan, seluruh masyarakat Sidogiri merasa sangat kehilangan tokoh panutan yang amat dikagumi. Dunia serasa gelap, membuat perasaan orang trenyuh dan berduka. Saudara-saudara Kiai Noerhasan semuanya menangis, terutama Kiai Sa’doellah. KH. Khatib Banyuwangi saat itu mengatakan, membina santri sampai 25 tahun, belum tentu bisa mencetak yang seperti Kiai Noerhasan. Bukan alim lagi, namun beliau adalah seorang kiai yang `’allamah (sangat alim).

Keanehan tampak pada saat Kiai Noerhasan wafat. Yakni kendati beliau sehari-seharinya bersikap khumul dan jarang dikenal orang, ternyata para pelayat yang ingin memberikan penghormatan terakhir pada beliau meluber membanjiri Sidogiri. Sidogiri yang kala itu tak begitu penuh santri, berubah menjadi lautan manusia. Keranda yang membawa beliau dari kediamannya menuju Masjid Jami’—yang jaraknya ± 300 meter—berjalan lebih cepat dari arus para pelayat yang berduyun-duyun. Seakan keranda itu berjalan sendiri di atas kepala manusia. Prosesi penyolatan beliau pun sampai diulang berkali-kali, karena banyaknya orang yang melayat. 

Namun ada yang lebih aneh saat prosesi penyolatan jenazah beliau. Yakni hadirnya tiga Habaib yang berasal dari kota berlainan di luar negeri. Satu dari Madinah, satu dari Mekah dan satu lagi dari Hadramaut Yaman. Mereka datang bersama rombongan Kiai Hamid Pasuruan, dan menyempatkan diri berpidato setelah dilakukannya salat Jenazah, dengan menggunakan bahasa Arab yang diterjemahkan oleh santri yang terkenal alim di masa itu.  

Dalam pidatonya, Habib dari luar negeri itu bercerita bahwa setiap Jumat, mereka bertiga bersama Kiai Noerhasan melaksanakan salat Jumat di Mekah. Namun dua Jumat terakhir mereka tak bertemu Kiai Noerhasan. Mereka merasa sesuatu telah terjadi, sehingga beliau tidak bisa hadir. Akhirnya mereka memutuskan berangkat bersama-sama ke Sidogiri menemui Kiai Noerhasan. Ternyata selama dua minggu itu Kiai Noerhasan benar-benar sakit, yang menyebabkan beliau wafat.  

Keanehan terjadi pula saat penggalian makam beliau. Bumi yang akan digunakan memendam jasad beliau sangat sempit, Setelah digali, ternyata di dalamnya ada akar kayu besar yang menghalang. Di situlah keajaiban muncul, akar yang mengganggu tiba-tiba hilang, dan bumi tambah melebar, seakan mempersilakan Kiai Noerhasan untuk masuk ke dalam pangkuannya. Kiai Cholil–yang dikenal sebagai wali–yang  melihat kejadian itu mengatakan, “Yo ngene lek wali! (Beginilah yang terjadi, kalau yang dikebumikan adalah wali)”.  

Pesan-pesan 

Pesan Kiai Noerhasan pada santri-santrinya, biasanya menekankan pentingnya bangun dan salat malam. Menurut beliau, rahmat Allah  akan diturunkan di sepertiga akhir malam. Kalau seseorang tidur saat turunnya rahmat, otomatis ia tidak akan kebagian. Selain itu, beliau sering mewanti-wanti agar semua thâlibul-‘ilmi (pencari ilmu) tidak makan ikan laut. Karena semua ikan di laut senantiasa mendoakan orang yang mencari ilmu. Dan semua itu ternyata sesuai dengan apa yang digambarkan Syekh al-Zarnuji dalam kitab monumentalnya, Ta’lim al-Muta’allim. Sebuah kitab yang menerangkan tata cara mencari ilmu. 

Beliau juga menganjurkan makan belalang. Kata beliau pada salah satu putra dan cucunya, “Golek walang kecek sing endasi muncung! Iku panganen, iku nggarakno gangsar ngaji. Lek dek Mekah, iki didol kiloan. Payu onok dek pasar. Mergane dek kitab, walang iku halal” (Carilah belalang kecek, yang kepalanya lonjong! Makan itu, karena itu menyebabkan cepat bisa mengaji alQuran. Kalau di Mekah, belalang kecek ini dijual kiloan. Laris di pasar. Maka dari itu, dalam kitab Fikih, belalang dihukumi halal).  

Dan diantara pesan beliau adalah, “Kalaamun qaliil, dzikrun katsiir” (Sedikitlah berbicara, banyaklah berzikir). Beliau juga berpesan pada salah satu khadamnya, “Kalau ada di masyarakat, kamu harus hati-hati, jaga lisan kamu. Kalau terpelesetnya kaki bisa dipijatkan. Tapi kalau terpelesetnya lidah, tidak bisa dipijatkan”. Beliau mengatakan hal tersebut berulang-ulang. Sebab lidah lebih tajam daripada pedang, dan juga pesan ini sesuai sabda Rasulullah , “Siapa yang beriman pada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berbicara baik, atau diam saja!”.   

Pada putranya, Kiai Noerhasan juga menganjurkan agar sering sahirul layali, bangun malam. Pernah salah satu putranya tidak naik kelas dan meminta berhenti sekolah. Tapi beliau tidak memperbolehkan, kecuali dengan syarat tidak tidur malam. Putranya pun menyanggupi syarat itu. Ternyata, bangun malam itu memang punya dampak tersendiri bagi orang yang melakukannya. Ia akan mudah mengontrol hatinya dari segala penyakit hati. 

Sedang wiridan yang sering beliau ajarkan pada santri adalah, “Ya rahman ya rahim”. Dan wirid penolak bala, “Naruddu bikal a’da-a min kulli wijhatin, wa bil ismi narmihim minal bu’di bisy syataat”.

Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri jilid 1

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *