Masyayikh SidogiriUnggulan

KH. Siradjul Millah Waddin Nawawie (Bagian III/Selesai)

kiai sirojul millah waddin
kiai sirojul millah waddin
kiai sirojul millah waddin

Pengasuh dan Majelis Keluarga Sidogiri 

Kiai Siradj pernah menjadi staf pengajar di madrasah PPS dan ikut serta menangani PPS pada periode kepengasuhan Kiai Cholil. Kemudian, beliau bemukim di Beujeng. Setelah Kiai Cholil meninggal dunia pada tahun 1978 M, beliau menggantikan Kiai Cholil sebagai Pengasuh PPS. Beliau sering ke Sidogiri, ke dalem Kiai Cholil di utara masjid Sidogiri. Beliau juga sering ke kantor, ikut menangani kepengurusan. Dalam urusan keluarga, semua keputusan berada di tangan Kiai Siradj, sebab beliau adalah yang tertua. Sedangkan urusan syariat atau masalah hukum Fikih dipasrahkan kepada Kiai Hasani. Namun beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian, Kiai Siradj menyerahkan jabatan pengasuh kepada KH. Abd. Alim bin Abd. Djalil, keponakannya. 

Sejak mangkatnya Kiai Cholil itu, bertahun-tahun Kiai Siradj meneliti tanah milik pondok yang statusnya belum jelas, apakah itu termasuk tanah ibahah atau tanah wakaf. Tujuannya untuk menghilangkan sengketa yang berhubungan dengan pondok. Tanah tersebut sekarang dibuat perpustakaan, surau G, daerah D, daerah E, sebagian daerah B, dan sebelah timur kantor PPS. 

Karena pada waktu itu anggota Panca Warga tinggal Kiai Siradj dan Kiai Hasani, maka Kiai Siradj mempunyai gagasan membentuk wadah permusyawaratan pengganti. Wadah itu diberi nama Majelis Musyawarah Keluarga, yang akhirnya diubah menjadi Majelis Keluarga sampai sekarang. Anggotanya adalah cucu-cucu lelaki KH. Nawawie bin Noerhasan, dan ketuanya adalah Kiai Abd. Alim. Sedangkan Kiai Siradj dan Kiai Hasani menjadi penasehatnya.  

Tujuan dibentuknya Majelis Keluarga adalah untuk menyatukan dan melibatkan semua keluarga dalam penanganan PPS. Juga untuk mengontrol gerak kepengurusan PPS dan memberi kebijakan-kebijakan yang baru dilakukan oleh santri, melalui pengurus yang ada. Majelis Keluarga ini adalah pembantu pemikiran pengasuh, seperti Dewan Syuro. Pertemuan Majelis Keluarga pada masa itu terlaksana dua kali. Yang pertama di aula Lama (atas koperasi), dan yang kedua di MMU I. Dalam pertemuan itu terjaring beberapa ide, di antaranya yang ada hubungannya dengan penugasan tamatan Tsanawiyah. 

Lalu siapa penggagas Panca Warga? Menurut satu catatan, penggagasnya adalah Kiai Hasani, lalu diterima oleh Kiai Sa’doellah dan putra-putra Kiai Nawawie lainnya. Dengan begitu keluarga besar PPS tetap solid dan pesantren salaf ini makin besar dan maju. 

Tutup Usia di Sidogiri 

KH. Siradjul Millah-Waddin tutup usia di Sidogiri pada hari Sabtu Kliwon, tanggal 18 R. Awal 1409 H. atau 29 Oktober 1988 M. Usia beliau 63 tahun. Pada waktu berumur 60 tahun, beliau sering mengatakan, “Kari batine (tinggal labanya)”. Soalnya beliau menarget umurya sampai 60 tahun. 

Kronologi wafatnya Kiai Siradj begini. Kamis dua hari sebelum mangkatnya, beliau dijemput orang suruhan Mas Abdullah ke Beujeng, guna mengisi pengajian Jumat pagi di dalem putranya itu, di desa Ngempit Kraton Pasuruan. Namun beliau menolak dan meminta dijemput Sendiri oleh putranya.

Maka keesokan harinya (hari Jumat) pagi-pagi benar Mas Abdullah pergi menjemput abahnya. Pengajian terlaksana seperti biasa. Setelah itu, pukul 11.00 Kiai Siradj pergi ke PPS, Jumatan lalu ke pesarean leluhur. Selanjutnya beliau pergi ke dalem Mas Fuad bin Noerhasan, menantunya. 

Ternyata Mas Fuad tak kunjung datang dari Jakarta, maka sore-sore beliau kembali ke Ngempit. Disana beliau melaksanakan salat Magrib bersama putranya, dan beliau tidak beranjak dari tempat salatnya sampai Isya. Usai salat Isya, Kiai Siradj mengeluh kepada putranya bahwa kakinya terasa nyeri dan meminta telur, setelah makan telur lalu makan malam. Tapi Kiai Siradj hanya memakan sedikit nasinya, lalu sisanya dimakan oleh putranya. 

Malam Sabtu pukul sepuluh, Mas Fuad datang dari Jakarta dan langsung ke rumah Mas Abdullah. Setelah itu Kiai Siradj ikut Mas Fuad ke dalemnya dan menginap di sana. Keesokan harinya setelah salat Subuh, beliau duduk berselonjor kaki di hadapan istrinya, Ny. Futhiyah yang masih wiridan dalam posisi menghadap kiblat. Kiai Siradj minta dipijatkan punggungnya setelah melepaskan baju taqwanya, beliau hanya mengenakan kaos dalam. Saat dipijat, tiba-tiba beliau rebah ke pangkuan Ny. Futhiyah. Ternyata beliau telah meninggal dunia, sekitar pukul 06. 30 pagi. 

Adalah KH. Hasani orang pertama yang mengetahui wafatnya Kiai Siradj selain orang-orang yang berada di dalemnya Mas Fuad. Hal ini terjadi secara kebetulan. Semasa hidupnya biasanya Kiai Siradj bertemu dengan Kiai Hasani tiap hari Jumat. Ketepatan pada hari Jumat itu, Kiai Hasani tidak keluar. Akhirnya pada Sabtu pagi beliau datang ke dalem Mas Fuad untuk menemui Kiai Siradj. Namun ternyata setelah sampai di sana, kakak seayah dan seibunya itu telah meninggal dunia. Ketika mengetahui hal itu, Kiai Hasani berkata, “Kakang iku wong ono ndek Bujeng mestine dikubur ndek Bujeng, dadi mole rene (Kakak itu tinggal di Beujeng, mestinya dikebumikan disana, eh malah pulang ke sini)”.  

Jenazah Kiai Siradj disalati di masjid jami’ Sidogiri setelah salat zuhur, kurang lebih jam dua siang. Lalu beliau dikebumikan di pesarean keluarga di belakang masjid tersebut. 

Tidak ada tanda-tanda yang jelas bahwa Kiai Siradj mengidap suatu penyakit. Tapi kata dokter belau menderita penyakit jantung koroner. Konon, setelah salat Subuh, sebelum wafat beliau sesak nafas. 

Sebelum wafat, sebelumnya sudah ada tanda-tanda bahwa beliau tidak lama lagi akan meninggalkan dunia fana ini. Terbukti 10 hari sebelum tutup usia beliau memasrahkan penuh kepengurusan pondok, madrasah, serta masjid yang ada di Beujeng kepada adik iparnya yang sampai sekarang ada di sana, yaitu Mas Munib. Bahkan sekitar 2 bulan sebelum wafatnya, Kiai Siradj mempunyai keinginan untuk pindah sedikit demi sedikit ke rumah putranya, Mas Abdullah, di desa Ngempit, Kraton Pasuruan. Beliau ingin menyerahkan madrasah dan pesantrennya kepada keturunan Kiai Sya’roni setelah mereka dewasa, lalu pindah ke dalem putranya. Hal ini menunjukkan betapa ikhlasnya beliau dalam mendirikan madrasah dan pesantren di Beujeng. 

Sebelum meninggal dunia, beliau juga sempat membangun masjid di desa Jambe, tetangga desa Beujeng. 

Pasca meninggalnya Kiai Siradj, ditemukan uang tunai sebanyak 3 juta di celah-celah kitabnya. Ada uang rupiah, dolar, dan riyal. ltu pun rupanya tidak terpikirkan oleh beliau. Hal ini tidak mengherankan, karena semasa hidupnya beliau selalu membawa uang yang dibungkus dengan sapu tangan dalam saku, tapi tidak pernah dihitung. 

Pesan-Pesan Kiai Siradj 

Banyak pesan-pesan dan hikmah berharga dari KH. Siradjul Millah-Waddin sebelum wafatnya, yang bisa dijadikan pijakan dan renungan dalam mengarungi samudera kehidupan. Di antaranya adalah pesan beliau yang disampaikan pada keluarganya yang juga menjadi peringatan bagi kita semua, “Janganlah kamu suka menampakkan dirimu”. Beliau juga pernah berkata kepada Mas Abdullah, “Jangan coba-coba kamu main Bank”.

Kira-kira satu tahun sebelum wafatnya, Kiai Siradj memaksa putranya, Mas Abdullah Syaukat, untuk pindah dari Beujeng. Karena beliau khawatir putra-putranya tidak berhasil. Dan sampai sekarang putra-putri beliau tidak ada yang menetap di Beujeng. Setelah Mas Abdullah menikah, Kiai Siradj berpesan, “Hijroho koen lek kepingin berhasil koyok Rasulullah hijrah teko Mekah nang Madinah “.  

Selain itu beliau juga berpesan pada keluarganya agar memperbanyak istighfar dan tidak melihat apa-apa, hanya karena Allah SWT. “Nyambut gaweho sing halal ojok ndelok ngene ojok ndelok iki (Bekerjalah dengan pekerjaan halal, jangan lihat ini itu),” katanya. Sedangkan pesan beliau yang sangat ditekankan pada Mas Munib, adik iparnya, adalah tentang masjid: jangan sampai membiarkan orang bergurau di dalam masjid, atau mengerjakan hal-hal yang tidak pantas dilakukan di masjid. 

Ketika masih menjabat sebagai Ketua Umum PPS, beliau pernah mengatakan, “Karo toat, ilmu manfaat (Dengan taat ilmu bisa manfaat)”. Kata mutiara ini akhirnya menjadi semboyan santri Sidogiri. Kalau secara umum, taushiyah beliau ada empat perkara “ojok riya’, ojo ujub, ojok sum’ah, ojo takabbur, lek kepingin slamet dunyo akherat (Jangan ingin dipuji, jangan besar kepala, jangan ingin terkenal, jangan sombong, kalau ingin selamat di dunia dan akhirat!)”.  

Ghafarallâhu lanâ wa lahu, wa nafa’anâ bihi wa bi’ulûmihi fî addâraini, Âmîn.

Disadur dari Buku Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri Jilid 1

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *