BeritaKetua III

Pelatihan Ubudiyah, Kriteria Legalitas Shalat Ma’dzur

Pelatihan shalat ma’dzur digelar oleh Bagian Ubudiyah Pondok Pesantren Sidogiri, malam Kamis (24/07). Bertempat di Lt. II Masjid Jamik Sidogiri, acara ini diikuti oleh wali kelas 4 Ibtidaiyah hingga kelas 1 Tsanawiyah. Ust. Maliji Ismail, staf pengajar MMU Aliyah hadir sebagai narasumber pada acara ini.

Pada sesi sambutan, Kabag Ubudiyah, Ust. Ach. Syaiful Furqon menyampaikan harapan untuk para wali kelas agar bisa memahami shalat ma’dzur dengan sempurna sesuai dengan ibarat yang ada dalam kitab. “Jika ada ibarat yang tidak dipahami, bisa langsung ditanyakan nantinya pada sesi tanya jawab,” imbuhnya.

Ust. Maliji menuturkan bahwa shalat tetap wajib dilakukan selagi sadar. Adapun cara melakukan shalatnya menyesuaikan kondisi dengan mempertimbangkan masyaqqah atau kesulitan saat menjalankan. “Apabila sampai menggangu kekhusyuan shalat maka kita bisa mendapatkan rukhsah seperti boleh shalat dengan selain berdiri,” jelas pria yang telah mengajar di Sidogiri 20 tahun lebih ini.

Ust. Maliji menjelaskan cara shalat ma’dzur yang benar

Menurut beliau, tingkat kekhusyuan terendah adalah dengan tidak melakukan gerakan selain gerakan shalat. “Jika setelah takbir kita tidak bergerak-gerak, maka itu bisa disebut khusyuk tingkat rendah,” lanjutnya.

Sebelum pembahasan berpindah pada cara shalat dalam posisi duduk, beliau menekankan dalam tata cara shalat ma’dzur ini agar tetap mengutamakan untuk melakukan rukun secara sempurna, seperti mengangkat tangan saat takbir.

Terdapat tiga macam posisi duduk yang dijelaskan. Pertama, adalah duduk iftirasy atau duduk di antara dua sujud. Kedua, adalah duduk tarabbu’, yaitu duduk bersila. Ketiga, ialah duduk iq’a atau menduduki kedua tumit kaki. “Posisi duduk yang dianjurkan adalah tiga macam itu, sedangkan duduk selonjoran tidak diperkenankan, kecuali sangat tidak bisa,” imbuh ustadz asal Pamekasan ini.

Narasumber sedang mempraktekan shalat duduk

Pada akhir acara, staf pengajar MMU Aliyah ini menegaskan, “Terkadang yang sembuh mengahalangi yang sakit dengan alasan nanti bisa diqada. Seharusnya dalam situasi tersebut dijadikan waktu mengharap rahmat Allah.”

Penulis: Dzaroril Faizi
Editor: Nur Hudarrohman

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *