Artikel

Mas Bari Sampaikan Pesan-Pesan Kiai Hasani

Muhammad Faqih, Kepala Bagian Ubudiyah saat melantik staf guru Pendidikan Salat (Diklat).

Bertempat di Ruang Auditorium Sekretariat, Pengurus Ubudiyah bersama stafnya melakukan koordinasi bulanan. Koordinasi ini dihadiri oleh salah satu keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Mas Abdul Bari HS, Ahad (05/08). Dalam kesempatan tersebut, Mas Abdul Bari membacakan 10 wasiat dari Kiai Hasani bin Nawawie bin Noerhasan berkenaan dengan aktifitas yang ada di Masjid Jami’ Sidogiri. Berikut wasiat tersebut:

  1. “Lek kesusu melebu masjid, mending gak usah salat tahiyatal masjid, eman. Gak onok tumaknina’e.” (Kalau terburu-buru masuk masjid, lebih baik tidak usah salat tahiyatal masjid. Percuma, tidak ada tumakninahnya.)”

Pernah suatu hari kiai melihat santri yang terburu-buru masuk masjid dan salat dengan cepat. Hal tersebut terlihat oleh Kiai Hasani. Beliau pun marah besar (duko, Jawa) melihat tingkah santri yang seperti itu.

  1. “Masjid itu baitullah, ojok sampek gawe turu.” (Masjid itu rumahnya Allah, jangan sampai dijadikan tempat tidur.)”

Beliau juga sangat marah ketika ada santri atau siapa saja tidur dalam masjid. Walau pun masih ada ikhtilaf perihal hukumnya, beliau melarangnya. Jika ada santri atau tamu yang tidur di masjid, beliau langsung memukulnya.

  1. “Santri iku kok rame, onok opo dek masjid?” (Santri itu kenapa ramai, ada apa di masjid?)”

Setiap dua pekan sekali di Masjid Jami’ Sidogiri ada kegiatan DKL (Dakwah Keliling). Ketika itu ceramah yang disampaikan berupa hal-hal yang lucu sehingga santri tertawa dan masjid menjadi ramai. Hal tersebut didengar oleh Kiai Hasani. Beliau menyuruh Mas Abdul Bari mengambil batu bata di sungai untuk kemudian dilemparkan ke masjid. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Mas Bari langsung menghubungi Kepala Bagian Ubudiyah agar menyuruh santri tidak ramai-ramai di masjid.

  1. “Lek kate lebu masjid disekno sekel kengen, lek metu sekel kacer.” (Kalau masuk masjid harud menggunakan kaki kanan, jika keluar menggunakan kaki kiri.)”
  2. “Lek wes gak dibutonno, pateni kipas karo lampu iku. Fasilitas masjid iku milik masyarakat umum,” (Setelah menggunakan kipas dan lampu harus dimatikan. Fasilitas masjid itu milik umum.)”
  3. “Lek dungo seng jelas, ojok karepe dewe,” (jika berdoa setelah salat yang jelas, jangan ambil seenaknya saja.)”

Menurut ceritanya, lumrahnya usai melakukan salat pasti ada wirid yang dibaca. Begitu juga beliau (Kiai Hasani). Beliau sangat tidak suka ketika bacaan wirid usai salat dibaca terlalu cepat. “Gak onok faedahe (tidak ada faedahnya),” dawuh Kiai Hasani.

  1. “Beduk iku ditabuh lek wes jam 12.00 pas, ojok melok jam, melok bincret ae,” (Beduk ditabuh pada jam 12.00 dan usahakan agar melihat di bincret, jangan ikut jam.)”
  2. “Salat itu kudu duwe himmah, ojok pokok salat. Salat iku ngadep pengeran, mosok sek ate dipantau terus,” (salat itu harus memiliki himmah, jangan asal salat. Salat itu menghadap tuhan, jangan minta dipantau terus.)”
  3. “Khidmah seng temenan, niatono ngawulo nang kiai, saiki atau besok,” (Dalam berkhidmah yang benar, nitkan jadi hamba, sabiqon aw lahiqon.)”
  4. “Opo’o speaker dek masjid iku, kok dengung ae. Mosok speaker dek masjid Sidogiri munine ngunu, kalah karo speaker musolla kampung,” (Kenapa speaker di masjid itu, kok berdengung. Masak speaker di masjid Sidogiri kayak gitu, kalah dengan speaker yang ada di musalla kampung saja.)”

Di akhir acara, Mas Abdul Bari HS mempertegas apa yang telah dibacakannya. Menurut beliau semua yang dibaca tersebut merupakan sesuatu yang diajarkan dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad. Hanya saja semua itu bersamaan dengan kejadian-kejadian di masa hidup Kiai Hasani.

Beliau juga mengatakan, KH. Abdul Adzim dan Kiai Hasani adalah sosok yang qolbuhu muallaqun bil masajid (hatinya bertaut dengan masjid) dan yang paling perhatian ke Masjid. Konon, ketika KH. Abdul Adzim melakukan perjalanan, ketika menemukan masjid pasti berhenti dan salat tahiyatal masjid (ta’dziman ke masjid.)

“Seluruh kegiatan di masjid beliau pantau sendiri. Pernah waktu itu KH. Abdul Adzim sakit selama empat bulan. Ketika itu beliau mengutarakan sangat rindu ke masjid, akhirnya beliau digotong menuju masjid.” Kenang Mas Abdul Bari.

===
Penulis: M. Afifur Rohman
Editor  : N Shalihin Damiri

Shares:
Show Comments (1)

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *