“Adalah Muhammad, Nabi kita, Sang Kekasih Allah, putra dari pasangan Sayyidah Aminah dan Sayyid Abdullah Bin Abdul Muthalib yang lahir di hari Senin, tepatnya malam senin menjelang fajar Subuh, 12 Rabiul Awal, tahun Gajah.”
Beberapa hari lagi, 12 Rabiul Awal diberbagai penjuru dunia akan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Hingga, tak jarang kita temui, terpampang sejak jauh-jauh hari di pesantren ini, di setiap ruang, baik kamar (red. Bilik) ataupun kelas, angka-angka yang menghitung dan menyambut hari pulangan.
Konon saat-saat pertama Nabi melihat dunia, keluar dari rahim sang ibunda Aminah, Abu Lahab bahagia mendengar kelahiran keponakannya. Hingga, sebagai ungkapan kebahagiaannya tersebut, ia pun memerdekakan budaknya, yang bernama Tsuwaibah, dan menyuruhnya menyusui keponakannya tersebut.
Abu Lahab. Dia memang paman Nabi. Namun dia kafir, tidak mau mengakui kenabian keponakannya, Muhammad. Dia juga selalu menentang dakwah Nabi, mencemooh Nabi, menghina al-Quran dan selalu menyakiti Nabi. Dialah yang telah melempari Nabi dengan kotoran unta, saat Nabi sedang sholat. Dia juga yang mempunyai rencana ingin membunuh Nabi, namun tidak pernah berhasil.
Diceritakan dalam buku “Al-Fadho-il, Fadilah dan Amaliah Bulan-bulan Hijriyah” karangan Ibnu Marwa, yang dikutip dari kitab “Al-Anwarul Muhammadiyyah”, karangan as-Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabbani, bahwa Abu Lahab dalam mimpi ditanya “Bagaimana keadaanmu wahai Abu Lahab?”. Abu Lahab menjawab “Aku mengalami penderitaan di neraka, namun setiap Senin aku mendapat dispensasi. Aku dapat menghisap dan meminum air yang keluar dari kedua jariku. Sesungguhnya itu aku dapatkan karena saat Muhammad SAW lahir aku ikut berbahagia, hingga tsuwaibah aku merdekakan dan aku perintah menyusuinya.”
Jika Abu Lahab yang kafir, yang menentang Islam, yang suka menyakiti Nabi dan memnghina al-Quran, dibalas oleh Allah sedemikian rupa, karena pernah merasa gembira saat kelahiran Rasulullah. Bagaimana dengan orang muslim yang sepanjang hidupnya mencintai Rasulullah? Setidaknya cerita ini dapat membangkitkan cinta kita pada Rasulullah. Tidak hanya sekedar mengikuti tradisi perayaan Maulid Nabi, namun juga memahami maksud baik adanya tradisi tersebut.
/Z. Arif