Artikel

Apa itu Haji Mabrur?

Artikel Akidah

Sumber Gambar: https://www.google.nl/searchq=haji+mabrur&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjMsafRqbbcAhWwrVkKHUsHBxQQ_AUICigB&biw=1366&bih=672#imgrc=7kGqwSBUhdXgAM:

Istilah Haji Mabrur sudah seringkali kita dengar, Setiap orang yang pergi berhaji pasti mencita-citakan hajinya bisa menjadi mabrur. Haji Mabrur bukan hanya sekedar haji yang menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah SWT.

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim: “Haji Mabrur ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, tidak rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi/bersetubuh),  dan tidak berbuat fasik.”

Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak.

Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan didalam al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang. Di antara tanda-tanda Haji Mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:

Pertama: Mengerjakan amalan haji dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi SAW. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dipenuhi, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika sampai terjadi kesalahan, maka hendaknya segera membayar Dam (tebusan yang telah ditentukan).

Kedua: Tidak berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan  jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan kemungkinian besar tidak akan tercapai. Allah SWT berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.”

Ketiga: Tanda terakhir diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah pulang dari haji. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.

Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah hajinya sebagai sarana untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridlo Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.

Kesimpulannya, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah. Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah, dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus memperbanyak istighfar dan memperbaiki amalan anda. Wallahu A’lam.

*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Tauiyah,
yang diterbitkan oleh Annajah Center Sidogiri.

Shares:
Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *